Sekapur Sirih
Haji Ir. Hasan Basyarudin Nasution yang berdiam di jalan Belitung no.15 Baranangsiang Bogor, bernama kecil: Hasan Basyarudin. Karena ayahnya bermarga Nasution, maka sejalan Adat Batak di Mandailing, Tapanuli Selatan, yang menganut garis keturunan patrilenial, maka menja-dlah ia: Hasan Basyarudin Nasution. Karena terlahir di Mandailing, ketika baru lahir di tempat kelahirannya masyarakat menamakannya si Lian, artinya anak laki-laki; manakala yang lahir anak perempuan maka dinamakan si Taing.
Dalam persidangan Adat Batak digelar di Padang Sidempuan ketika menikah dengan Dorom, boru Harahap dari Pargarutan Gunung Manaon silam, kepadanya dianugerahkan gelar: “Sutan Borotan”. Dengan demikian sejalan Adat Batak, seorang yang telah bermah tangga nama kecil perlu digantikan dengan gelar, untuk mengingatkannya akan tanggungjawab yang diemban, karena panggilan nama kecil, menurut Hatobangon (Tetua Adat), hanya akan mengingatkannya kepada kehidupan masa muda. Dengan kelahiran putrinya si Rusmini, menurut kelaziman ma-syarakat Tapanuli, sebutan padanya harus pula diganti jadi “Amani Rusmini”. Dalam panda-ngan tetua Hatobangon di Bona Bulu, penyebutan nama kecil (teknonimi) seseorang yang telah menjadi ayah samalah halnya dengan mengingatkannya kepada hal-hal yang bercorak masa muda yang lampau lampau baginya. Pengingatan demikian menurut penilaian cendekiawan A-dat Batak, tidak akan mendukung kehidupan seorang ayah dalam perjalanan waktu. Dengan penyebutan “Amani Rusmini”, selain menghargainya sebagai seorang ayah, sekaligus juga me-ngingatkan akan tanggungjawab yang sedang diemban. Itulah sebabnya mengapa sapaan kepa-danya perlu berganti dengan nama putri sulungnya “Rusmini”, dengan awalan kata “Amangni”, yang secara keseluruhan berarti “ayahnya si Rusmini”.
Di rumah, oleh anak-anak ia disapa “ayah”, panggilan akrab anak kepada orang tua laki-laki yang juga dikenal luas dalam masyarakat Batak di Mandailaing, Tapanuli Selatan. Di lingkungan Masyarakat Kehutanan Bogor Ir. Haji Hasan Basyarudin Nasution dikenal dengan panggilan “Bapak Hasan”, karena beliau adalah salah seorang Rimbawan yang dikenal masyarakat di ling-kungan kehutanan Tanah-air.
Dan dengan kelahiran cucu tertua si Titik Darnila Siregar, maka dengan penalaran Batak yang dihemukakan di atas, sapaan padanya berganti lagi menjadi: “Ompuni Titik”, yang berarti “ka-kek si Titik”, untuk menggantikan panggilan “Amangni Rusmini” yang telah berakhir masa pe-makaiannya.
Usai menunaikan Ibadah Haji yang pertama di Tanah Suci, ketika masih berada di tengah-tengah kota Mekah, sapaan padanya bertambah satu lagi dengan “Haji”, menjadi: Haji Ir. Hasan Basysrudin Nasution.
Pendahuluan
Zaman Hindia Belanda
Desa Asal
Muara Botung adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan Kotanopan, tepatnya di perbatasan kecamatan Muara Sipongi dengan kecamatan Kotanopan Mandailing, Tapanuli Selatan. Muara Botung berada di pinggir JALINTENG (Jalan Lintas Tengah) Sumatera yang menghubungkan kota Bukit Tinggi di Sumatera Barat dengan kota Padang Sidempuan di Tapanuli Selatan yang melalui: Lubuk Sikaping, Panti, Muara Sipongi, Kotanopan, Panyabungan, Siabu, dan Pintu Pa-dang terdapat di Propinsi Sumatera Utara (SUMUT).
Ayah Ir. Haji Hasan Basyarudin Nasution adalah putra keempat Ompung Hadji Abdoel Gani, gelar Radja Moelia, lahir di Kotanopan pada tanggal 15 Mei 1915, berasal dari Muara Botung, Man-dailing. Ayah adalah anak keempa duabelas bersaudara banyak menghabiskan masa kecil-nya di kampung halaman bersama saudara dan kaum kerabat. Ketika itu Ompung Hadji Abdoel Gani yang bernama kecil Syarif Nasoetion dikenal sebagai saudagar hasil bumi di daerahnya, an-tara lain: kaaret, kopi, dan lainnya, acapkali mengantar sendiri barang dagangan ke Bukit Tinggi, bahkan sampai ke Singapura. Selain sebagai saudagar hasil bumi, beliau juga menjabat Kepala Kampung di Muara Botung, dan pada saat yang sama Ompung juga anggota PSI (Partai Syarikat Islam) di Mandailing di zamannya.
Ayah mengawali pendidikan dengan bersekolah HIS Kotanopan. Usai HIS ayah memutuskan untuk tidak menlanjutkan sekolah dan ingin bekerja. Ompung menyambut baik keinginan putra keempat ini, dan memberinya pekerjaan mengawal pengangkut hasil bumi dan sekaligus pekerja bongkarmuat dagangan. Setelah beberapa bulan mengikuti kendaraan, ayah kemudian melapor pada Ompung bahwa pekerjaan yang diberikan terlalu berat baginya untuk dilanjutkan, dan memutuskan untuk kembali melanjutkan sekolah lagi.
Awalnya ayah mengikuti sekolah MULO di Padang Sidempuan setahun, lalu memutuskan pin-dah ke HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) di Bukit Tinggi. Orang di kota itu menamakan HIK “Sekolah Rajo” (Sekolah Raja), karena pendidikan ini diperuntukkan bagi kaum bangsawan yang ingin menjadi guru, lalu memilih Onderbouw. Setahun kemudian, ke sekolah yang sama bergabung Abdul Harris Nasution dari Huta Pungkut yang terletak tidak jauh dari Kotanopan, juga untuk menjadi guru. Akan tetapi kemudian ia lebih dikenal dengan: Dr. A.H. Nasution, Jenderal TNI R.I. Bintang Lima.
Setelah menyelesaikan HIK, ayah tidak segera menjadi guru, tetapi ingin meneruskan sekolah, lalu memilih MLS (Middelbare Landbow School) di Bogor karena tertarik pada pekerjaan bos-wezen (kehutanan) yang digeluti tulangnya (saudara laki-laki ibunya) di Mandailing kala itu. Meski Abdul Harris Nasution tidak dapat menyelesaikan Sekolah Raja di Bukit Tinggi karena di-tutup oleh pemerintah Hindia Belanda yang kehabisan anggaran saat itu, namun ia berhasil me-nammatkan HIK di Bandung. Kini Sekolah Raja dimana ayah dan Jenderal Dr. A.H.Nasution pernah dahulu belajar telah berubah menjadi SMA-II Bukit Tinggi, terletak di jalan Jenderal Su-dirman kota itu tidak jauh dari Polres setempat.
Selama berdiam di Bogor menyelesaikan di MLS, ayah turut mencari keberadaan bou Mariam, anak perempuan paman ayah Zainal Abidin Nasution dari Muara Botung, yang selama ini dikh-abarkan merantau ke pulau Jawa mengikuti bujingnya (saudara perempuan ibu). Bujingnya ini menikah dengan seorang warga Belanda ketika itu menjadi seorang pejabat Belanda di Muara Si-pongi, lalu membawa serta bou Mariam saat kembali lagi ke Jawa. Lama Ompung Zainal Abidin dan sanak saudara di Muara Botung tidak mengetahui keberadaannya di tanah seberang. Akhir-nya ayah berhasil mendapat tempat keberadaan saudara sepupunya lewat korespondensi, dan keluarga Belanda yang diikuti bou ketika itu telah berada di Semarang.
Pada tahun 1937, ayah menyelesaikan MLS Bogor, dan terhitung tanggal 1 September 1937 ayah diangkat menjadi “Mantri Kehutanan” (Pejabat Menengah Kehutanan)pemerintah Hindia Belan-da di desa Ciparay, pedalaman Jawa Barat, Bumi Parahiyangan, Bandung Selatan.
Peta Sumatera-Jawa
Suka duka menjabat Mantri Kehutanan menurut ceritra ayah amat beragam. Salah satu darinya ketika bertugas di lapangan. Jalan dilalui bukan seperti yang terdapat di kota besar, akan tetapi penuh semak dan belukar bahkan hingga rimba. Tidak jarang harus menyeberang riam hingga sungai berair deras. Rombongan yang diberi tugas harus menuruni tebing curam untuk sampai ke sungai, lalu melangkahi bebatuan dan air deras, lalu kembali mendaki tebing untuk sampai di seberang. Kebiasaan yang ada ketika itu, seorang Mantri Kehutanan harus ditandu saat menye-berang sungai. Ayah terpaksa menurut, walau merasa dapat dengan mudah menuruni tebing, melangkahi bebatuan, mendaki tebing seberang, berkat pengalaman hidup di kampung Muara Botung silam. Ketika menuruni tebing, para penandu belakang terpaksa bungkuk untuk menjaga tandu agar selalu mendatar, sebaliknya ketika mendapatkan tebing seberang giliran para penandu depan melakukan pekerjaan yang sama.
Pada awal tahun 1941, dari Ciparay ayah merintis jalan pulang ke kampung untuk bertemu ibu yang berdiam di Padang Sidempuan. Semula ayah mengenal Guru Firman Rangkuti asal Man-dailing yang mengajar di ibukota Angkola ketika itu. Dengan perantaraan beliau ayah berkena-lan dengan keluarga Ompung Soetan Moelia, pensiunan Schoolopziener dari Kotanopan untuk bersua dengan ibu. Setelah kesepakatan antara keluarga kedua belah fihak tercapai, pernikahan menurut syariat agama Islam dilangsungkan, dan perhelatan adat Batak Angkola pun dilang-sungkankan.
Selesai melangsungkaan pernikahan, dan diizinkan sanak keluarga dari Angkola dan berziarah, ayah dan ibu lalu meninggalkan Padang Sidempuan, ibukota Afdeeling Tapanuli Selatan ketika itu, untuk menyeberang lautan merantau ke pulau Jawa, berdiam di desa, di pedalaman bumi Parahiyangan. Sebuah perubahan besar ketika itu bagi ibu, karena adat istiadat yang mengitari kehidupannya berganti cepat, di zaman penjajahan Hindia Belanda, di Nederlands Oost Indies (Hindia Belanda Timur). Selain dari itu bahasa Sunda, satusatunya alat berkomunikasi dengan masyarakat setempat di Ciparay sama-sekali belum diketahui ibu.
Kehadiran ibu ditengah masyarakat Ciparay masih menjadi hal langka untuk kebanyakan orang disana ketika itu, terlebih melihat ayah yang bersusah payah kembali ke kampung asal jauh dipe-dalaman pulau Sumatera hanya untuk memperoleh teman hidup. Bukankah yang demikian ba-nyak terdapat di tanah Parahiangan, mudah didapat tanpa perlu bepergian jauh dengan biaya yang mahal menghabiskan waktu berbilang hari. Karena itu, banyak warga desa yang tidak habis fikir datang ke rumah di Ciparay hanya untuk menjenguk ibu, ingin mengetahu seberapa hebatkah ibu sampai perlu didatangkan dari pulau Sumatera yang jauh menyita banyak biaya dan waktu. Jumlah para penjenguk datang berkunjung berkurang dalam perjalanan waktu, setelah menyadari bahwa ibu bukanlah wanita istimewa, dan samasekali tidak berbeda dari kebanyakan orang yang dapat dijumpai di desa Ciparay.
Zaman Penjajahan Jepang
Jambi
Mengetahui akan kedatangan Fascist Jepang yang akan menyerbu ke nusantara, banyak masya-rakat Batak dari Bona Bulu meminta kepada sanak saudara yang berada di perantauan untuk secepatnya pulang guna menyelamatkan diri. Itulah sebabnya mengapa timbul gelombang pe-ngungsian ketika itu yang berbondong-bondong masuk ke Tapanuli Selatan dari perantauan, se-perti: Sumatera Timur, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, sampai dengan dari pulau Jawa. Tidak seluruh pengungsi yang kembali menuju ke kampung halaman masing-masing, karena tidak sedi-kit pula dari mereka yang memutuskan berdiam di Padang Sidempuan untuk mengamati per-kembangan keadaan.
Ayah dan ibu tidak lama tinggal di Ciparay, karena dalam tahun 1941 ayah lalu dipindahkan ke Jambi. Pada zaman Hindia Belanda, propinsi Jambi masih menjadi bagian dari keresidenan “Su-den Sumatera” (Sumatera Selatan). Tidak ada yang mengira kepindahan ayah dan ibu telah di-warnai perubahan besar perjalanan sejarah dunia, dimulai dari Eropa di belahan bumi Barat sampai dengan Asia di belahan bumi Timur, kendati masih belum banyak anak bangsa di tanah jajahan Hindia Belanda saat itu yang menyadari, karena masih belum memperlihatkan pengaruh pada kehidupan masyarakat sehari-hari di kota Jambi.
a. Perkembangan Di Kawasan Eropa
Persetujuan Versailles dibidani: Perancis, Inggris dan Amerika Serikat pada penghujung Perang Dunia ke-I tidak lagi dapat mengedalikan perdamaian negara-negara di Eropa ketika, karena ti-dak lagi memenuhi aspirasi sejumlah fihak di kawasan itu. Perlucutan senjata untuk menghindar-kan perang diantara negara-negara besar di daratan Eropa yang disepakati guna menjaga perda-maian tidak lagi dapat berjalan. Konferensi ekonomi Locarno tahun 1925, begitu pula London tahun 1933, menemui kegagalan. Gagasan pembentukan Liga Bangsa-bangsa (League of Na-tions) guna mejaga perdamaian dunia, tidak cukup kuat kalau Amerika Serikat tidak disertakan, masih tinggal rencana yang belum terlaksana, apalagi lagi mempunyai kekuatan pemaksa.
Setelah berhasil menjadi pemimpin NSDAP (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiter Partei, atau Partai Pekerja Nasional Sosialis Jerman), disingkat NAZI, pada tahun 1921 Adolf Hitler berkampanye membangun Jerman kembali yang kalah dalam Perang Dunia ke-I silam. Ia menu-lis buku “Mein Kamph” (Perjuanganku) yang menjadi pegangan perjuangan bangsanya. Kini dibawah kepemimpinan Hitler Jerman bangkit kembali, lalu pada tahun 1933 Adolf Hitler me-nyatakan diri sebagai Pemimpin Tertinggi (Reich Chancellor) di negerinya.
Lalu pada tanggal 1 September 1939, Jerman menyerbu Polandia dengan theori perang modern usulan Jenderal muda Heinz Guderian. Diawali serangan udara jam 06.00 waktu setempat, Divisi-3 Jerman pimpinan Jenderal Fedor von Bock lalu menerobos dari Prusia Timur arah teng-gara. Ia dibantu Divisi-4 Jerman pimpinan Jenderal Günter von Kluge yang menjebol perbat-asan Jerman dengan Polandia. Pukulan dua kali lebih besar dilancarkan Divisi-8 Jerman pim-pinan Jenderal Johannes von Blaskowitz, dan Divisi-10 pimpinan Jenderal Siegmund List menerjang dari Utara Czekoslowakia, menyebabkan Polandia porakporanda dan pemerintah dan pim-pinan militernya melarikan diri.
Inggris bersama Perancis, dua negara adidaya Eropa ketika itu, segera mengetahui apa yang telah dilakukan Jerman di Polandia, dan marah besar. Keduanya langsung memberi ultimatum kepada Jerman untuk meninggalkan Polandia secepatnya. Akan tetapi ultimatum dua superpower Eropa saat itu samasekali tidak diindahkan Jerman. Maka pada tanggal 3 September 1939, dua hari setelah penyerbuan Polandia, dikumandangkanlah Perang Dunia kedua di daratan Eropa.
Jerman dengan cepat menduduki negeri-negeri kecil di pesisir Barat Laut Eropa yang menyata-kan diri mereka netral. Jerman lalu menyerbu dan menduduki negeri Belanda bulan Mei tahun 1940 menyebabkan Ratu Wilhelmina yang mengepalai negeri itu terpaksa hengkang meninggal-kan negeri dan mengungsi ke Inggris.
b. Perkembangan Di Kawasan Asia.
Pada tanggal 7 Desember 1941, Kaigun (Angkatan Laut) Jepang pimpinan Vice-Admiral Chui-chi Nagumo melaksanakan serangan mendadak ke pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, pulau Oahu, di gugusan kepulauan Hawai. Jepang berhasil melumpuhkan pangka-lan Angkatan Laut Amerika Serikat terbesar di Pasifik, tetapi tidak mendudukinya. Ada analist Jepang ketika itu yang mengibaratkan serangan Nagumo itu sebagai orang yang membangunkan harimau tidur, begitu terjaga akan menerkam langsung.
Dalam serangan itu Kaigun mengerahkan 6 buah kapal induk mengangkut 360 pesawatterbang dikawal: 2 kapal perang, 2 penjelajah berat, 11 kapal perusak (destroyer), dan lainnya. Di pangkalan Pearl Harbor, pada hari naas itu tengah bersandar 70 kapal perang Paman Sam berikut 24 kapal pendukung; kebanyakan masih tertambat karena sedang hari libur. Keesokan harinya Ame-rika Serikat lalu mengumumkan perang kepada Jepang, dan Perang Dunia kedua pun merambah di kawasan Asia.
Jepang tidak ingin kehilangan peluang dan ingin segera mewujudkan impiannya mendirikan: “The Greater East Asia Co-Prosperity” (Per-Semakmuran Asia Timur Raya) meliputi sejumlah wilayah Asia, terdiri dari negeri-negeri: Korea, Cina, Indocina (Vietnam, Laos, Kamboja), Ma-laya, Birma (Myanmar), Filipina, dan tanah jajahan Hindia Belanda; dibawah pimpinan Kaisar Hiro Hito dari Negeri Matahari Terbit.
Pasukan Jepang pimpinan Jenderal Yamashita lalu dengan cepat bergerak ke Selatan lewat pulau Hainan (Cina), lalu menerobos jajahan Perancis Indocina dan Thailand. Sebagian pasukan Je-pang memisahkan diri, dan bergerak ke Barat menuju Birma (Myanmar) sebuah tanah jajahan kerajaan Inggris. Lainnya. langsung menuju Selatan mengendarai sepeda menelusuri semenan-jung Malaya dan tiba di Kuala Lumpur dan Penang masih tahun yang sama, ialah tanah jajahan kerajaan Inggris lainnya. Kapal perang Inggris: Prince of Wales dan Repulse yang menghadang armada Jepang untuk melindungi kota Singapura dihancurkan dalam sekejap, membuat pemerin-tah Inggris yang berkedudukan di kota Singa itu terpaksa lari tunggang langgang untuk menyela-matkan diri.
Serangan airbah Dai Toa Senso (Perang Asia Timur Raya) pimpinan Jendral Imamura di kawa-san Pasifik Barat Daya atau Asia Tenggara, ketika itu menyebabkan gabungan pasukan ABDA-COM (Australian, British, Dutch, dan American Components) dari SEAC (South East Asia Command) pimpinan Jenderal Sir Archibald P. Wavell yang ditugaskan melindungi tanah Hindia Belanda hanya mampu bertahan 10 hari, kemudian dihancurkan tanggal 26 Februari 1942, membuat para pemimpin tiap pasukan yang berpangkat Jenderal terpaksa berlari menyelamat-kan diri ke India dan Australia ketika itu.
Tujuan Jenderal Imamura jelas, secepatnya menduduki dan menguasai nusantara, dan memaksa pemerintah Hindia Belanda yang kolonial dan tak berdaya di Batavia, ibukota Hindia Belanda kala itu, menyerah tidak bersyarat, dan menjalankan terus ladang-ladang minyak beserta kilang-kilangnya untuk menyediakan keperluan berjenis mesin perang dahaga bahan bakar dan minyak pelumas.
Jepang masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda diawali serangan udara terhadap sejumlah kota: Tarakan di Kalimantan Utara pada tanggal 11 Januari 1942, lalu Menado di Sulawesi Utara pada tanggal 17 Januari 1942, lalu Balikpapan di Kalimantan Timur tanggal 22 Januari 1942, Ponti-anak di Kalimantan Barat tanggal 1 Februari 1942, Palembang di Sumatera Selatan tanggal 14 Januari 1942, dan pulau Bali tanggal 26 Januari 1942.
Serdadu-serdadu Jepang menyerbu pulau Jawa tanggal 28 Februari 1942, dan melakukan pen-daratan serentak di tiga tempat, yaitu: Banten, Indramayu dan Rembang. Dari Banten mereka bergegas menuju Batavia lalu mematahkan perlawanan tentara Belanda dalam 4 hari. Yang dari Indramayu langsung menuju lapangan terbang Kalijati, tidak jauh dari Subang, untuk mencegat Gouverneur-Generaal (Gubernur-Jenderal) Hindia Belanda Tjarda van Starkenberg Stachhouer dan pimpinan tertinggi KNIL (Koninklijke Nederlads Indie Leger, yakni Angkatan Darat Kerajaan Belanda), Luitenant-Generaal (Letnan-Jenderal) ter Poorten yang melarikkan diri lewat u-dara ke Australia.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kedua pimpinan tertinggi pemerintah Hindia Belanda itu menyerah tidak bersyarat setelah melakukan perlawanan kurang dari 9 hari, lalu menandatangani perjanjian bertekuk lutut pada Jepang yang mempermalukan bangsa Belanda dihadapan anak-anak pribumi dan bangsa-bangsa Asia lainnya. Dengan demikian pemerintah Hindia Belanda yang kolonial dan berkusa di nusantara, dimulai kedatangan Cornellis de Houtman di Banten tahun 1596, di-lanjutkan Jan Pieterszoon Coon yang mendirikan benteng VOC di Batavia tahun 1619; setelah 346 tahun berkuasa, terpaksa berakhir dan masuk kedalam sejarah.
Keesokan harinya, Jenderal ter Poorten memerintahkan seluruh pasukan yang ada di tanah Hindia Belanda menghentikan perlawanan menyerah kepada Jepang lalu membubarkan KNIL. Di pulau Sumatera Generaal-Majoor (Mayor-Jenderal) Overtrakker dan rekannya Gozenson juga harus menyerah kepada Jepang di perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara tidak jauh dari Kotacane pada tanggal 28 Maret 1942.
Rakyat dimana-mana di seluruh nusantara dengan mata kepala sendiri menyaksikan bagaimana bangsa Belanda (orang Eropa dari Barat), penjajah nusantara berbilang abad, bertekuk lutut begitu saja kepada bala tentara Dai Nippon dari Jepang (orang Asia dari Timur), nyaris tidak me-nunjukkan perlawanan berarti. Orang-orang Belanda yang kalah perang dijadikan internir (tawan perang) Jepang, disuruh melakukan kerja kasar (koeli), melaksanakan rodi (kerja paksa). Mereka diperintah tentara Jepang: dihardik, dipukul, dicemeti, dan ditendang ketika tidak segera memperlihatkan kepatuhan. Kepada mereka yang bersalah: digantung, dipancung, dan ditembak mati oleh regu-regu pelaksana hukuman mati Jepang didepan orang banyak.
Kota-kota di pulau Sumatera lalu berjatuhan ke pangkuan pemerintah Facist Jepang pada tahun 1942, antara lain: Palembang 14 Februari, Jambi 26 Februari, Medan 12 Maret, dan Banda Aceh 13 Maret. Dengan berdiam di Jambi, ibu menemukan pula lingkungan hidup yang baru dengan adat istiadat dan bahasa daerah baru, yakni: adat-istiadat dan bahasa Jambi bercorak Melayu. Banyak kenangan yang ibu dapatkan dari berdiam di Jambi dari pergaulan dengan warga di kota itu.
Sidikalang
Dari Jambi, sejak tanggal 1 April 1942, ayah lalu dipindahkan ke Sidikalang, ibukota Tanah Da-iri, menjadi pegawai menengah pemerintah Jepang. Di kota yang terletak di Barat Danau Toba ketika itu administrasi pemerintah Hindia Belanda telah digantikan Jepang semuanya, setelah yang disebut terdahulu menyerah dengan tidak bersyarat. Masyarakat pribumi disana, termasuk ayah dan ibu, mulai merasakan kehidupan dibawah pemerintah Jepang, dan zaman Hindia Be-landa kemudian berganti menjadi zaman Jepang.
Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli lewat Rao tahun 1833, kawasan itu telah terlebih dahulu dikuasai sejumlah kerajaan Batak yang menguasai luhat, dan setiap dari padanya memiliki peme-rintahan berdiri sendiri yang bersifat otonom. Mereka belum mengenal kehadiran pemerintah pusat yang mengatur kehidupan dari luar wilayahnya. Diantara berbagai luhat yang terdapat di Tapanuli Selatan dapat dikemukakan ketika itu, ialah: Luhat Sipirok, Luhat Angkola, Luhat Marancar, Luhat Pa-dang Bolak, Luhat Barumun, Luhat Mandailing, Luhat Batang Natal, Luhat Natal, Luhat Sipiongot dan Luhat Pakantan. Semua luhat yang terdapat di Tanah Batak terletak di sebelah Utara pulau Sumatera: di Utara berbatasan dengan Tanah Aceh, di Timur dengan Ta-nah Melayu, di Selatan dengan Tanah Minang, dan di Barat dengan Samudera Hindia.
Luhat, juga dinamakan Banua, ketika itu masih berupa sebuah kesatuan genealogi wilayah atau territorial, dan berada dibawah pemerintahan yang dilaksanakan menurut Adat Batak berlandas-kan kekerabatan Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga) diajarkan leluhur sebagaimana yang ter-cantum dalam surat Tumbaga Holing. Sebuah luhat, atau banua, selain berdiri sendiri juga setara satu dengan lainnya. Pucuk pimpinan luhat/banua ialah Raja Panusunan Bulung (RPB), awalnya datang dari keluarga-keluarga Sisuan Haruaya (Sipenanam Beringin, yakni keluarga para pendiri Luhat) di kawasa itu. Didalam luhat terdapat berbagai huta (kampung), yang disebut “Bona Bu-lu” (pohon bambu), karena ketika itu huta memang dipagari rumpun bambu untuk melindungi-nya dari musuh yang datang menyerang. Terdapat juga Bona Bulu yang membawahi beberapa pagaran (anak kampung) saat itu.
Huta selain tempat berdiam, juga wilayah tempat mencari nafkah, dengan adanya: sawah, la-dang; perairan (sungai, danau, laut), padang, semak/belukar, hutan, lembah, dan gunung yang mengitari; dimana beragam keperluan hidup dapat ditemukan. Pucuk pimpinan huta atau bona bulu ialah Raja Pamusuk, awalnya datang dari keluarga sisuan bulu (si penanam bambu) di ka-wasan itu. Huta yang besar penghuninya karena subur tanahnya dan kaya lingkungan alamnya, juga dipimpin seorang Raja Pamusuk akan tetapi dibantu Kepala Ripe (Kepala Keluarga).
Raja dalam pemahaman masyarakat Batak bukanlah orang-orang ternama sebagaimana yang terdapat dalam buku sejarah Eropa zaman feodal dipelajari di sekolah menengah pertama, akan tetapi orang-orang yang sangat dihormati dalam masyarakat, juga dinamakan tetua Luhat atau Huta karena selain pandai, juga memiliki pengetahuan dan pengalaman luas dalam hidupnya; tepatnya seorang yang bijak diantara semua (primus interpares) datang dari keluarga pendiri Lu-hat atau Huta. Ia dijuluki sebutan: Haruaya Parsilaungan (Pohon Beringin Tempat Berteduh) dalam adat Batak; di Angkola dan Sipirok dikenal degan istilah Banir Parkolipkolipan, sedangkan di Mandailing dinamakan Banir Parondingondingan.
Pemerintahan sentralistis pertama kali diperkenalkan Belanda dengan menjadikan Tanah Batak bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang kolonial dengan mengangkat seorang Asistent Resi-dent Nederlads Indie (Asisten Residen Hindia Belanda) di Natal, lalu disusul menempatkan seorang Resident Nederlands Indie (Residen Hindia Belanda) di Sibolga. Pemerintah Belanda di Tapanuli saat itu adalah bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang menjajah nusantara berke-dudukan di Batavia, pulau Jawa, yang dipimpin seorang Gouverneur-Generaal Nederlads Indie (Gubernur-Jenderal Hindia Belanda). Gubernur-Jenderal Hindia Belanda di Batavia ketika itu adalah wakil Raja Belanda berkedudukan di Den Haag yang mengurus tanah jajahan seberang lautan bernama: Oost Nederlands Indie (ONI), atau Hindia Belanda Timur (HBT). Raja Belanda masih mempunyai tanah jajahan seberang lautan lain yang bernama: West Nederlands Indie (W-NI), atau Hindia Belanda Barat (HBB) yang dikenal dengan nama: Suriname di Amerika Selatan.
Semula, pemerintah Hindia Belanda menamakan afdeeling Batak Landen (bagian Tanah Batak) untuk kawasan yang terletak disekitar danau Toba dan menjadikan Tarutung sebagai ibukotanya. Bagian Tanah Batak lain dinamakan afdeeling Padang Sidempuan untuk Tapanuli Selatan, dan afdeeling Sibolga untuk Tapanuli Tengah. Penggabungan ketiga afdeeling menjadi sebuah kere-sidenan Tapanuli dalam lingkungan pemerintah Hindia Belanda muncul dari hasil penelitian Et-noloog (Belanda) atau Etnologist (Inggris); yakni ahli bangsa dengan suku-sukunya bangsa Be-landa yang menemukan kesatuan logat (bahasa) dan adat-istiadat yang tampak jelas di ketiga afdeeling itu; baik dalam kehidupan sehari-hari maupun upacara adat dalam masyarakat di ketiga tempat ini. Lingkungan alam yang memudahkan perhubungan, perkawinan, dan agama saat itu juga turut mempengaruhi. Pemerintahan Hindia Belanda lalu mengelompokkan ketiga suku bangsa Batak yang terdapat di daratan pulau Sumatera menurut logat dan kehidupan mereka ke-dalam sejumlah puak, masing-masing: Karo, Simalungun, Pakpak dan Dairi, Toba, Angkola, dan Mandailing, yang dikenal sampai saat ini.
Pada tahun 1867 Tanah Batak masih menjadi bagian dari Gouvernement van West Kust (Gu-bernemen Sumatera Barat) berkedudukan di Padang, Sumatera Barat, dengan ibukota Padang Sidempuan. Kemudian pada tahun 1906 ketiga afdeeling Tanah Batak ini memisahkan diri lalu membentuk keresidenan Tapanuli dengan ibukotanya Sibolga. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda memecah Keresidenan Tapanuli menjadi dua afdeeling, masing-masing: Afdeeling Ta-panuli Utara dipimpin Asisten Residen berkedudukan di Tarutung, dan afdeeling Tapanuli Sela-tan dipimpin Asisten Residen berkedudukan di Padang Sidempuan.
Oleh pemerintah Hindia Belanda tiap afdeeling kemudian dipecah menjadi 8 (delapan) Onder-afdeeling, masing-masing dipimpin seorang Controleur masing-masing berkedudukan di: Batang Toru, Angkola, Sipirok, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Ulu dan Pakantan, dan Natal. Di-bawah Onderafdeeling, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Distrik yang dikepalai seorang Demang. Lalu dibawahnya diperkenalkan Onderdistrik yang dipimpin seorang Asisten Demang. Dibawah asisten Demang pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Kuria untuk memimpin Hakuriaan (Kekuriaan) yang membawahi sejumlah kampung berikut sawah, ladang, dan lingkungannya.
Kata Kuria berasal dari Curia, yakni istilah pemerintahan yang digunakan Gereja Katholik di Va-tikan, Roma, Italia. Oleh pemerintah Hindia Belanda istilah ini diperkenalkan di Tanah Batak. Dari Kuria lahirlah Hakuriaan dalam bahasa Batak. Dengan Hakuriaan pemerintah Hindia Be-landa berusaha menghilangkan Luhat, atau Banua, yang dipimpin Raja Panusunan Bulung (RPB) kebanggaan daerah yang telah bersemayam dalam ingatan orang-orang Batak dari peredaran. Pemerintah Hindia Belanda tampaknya tidak ingin mencampuri urusan pemerintahan huta atau kampung yang ketika itu masih dijalankan menurut adat Batak setempat, akan tetapi dalam pelaksanaannya Belanda banyak mempengaruhi siapa yang sebaiknya menjadi Raja Pamusuk yang memimpin sebuah kampung.
Dengan semakin merosotnya anggaran pendapatan pemerintah Hindia Belanda menelang Perang Dunia ke-II, onderafdeeling yang delapan bilangannya di Tapanuli Selatan ketika itu lalu disu-sutkan menjadi 4 (empat), masing-masing: Angkola dan Sipirok, Mandailing Besar dan Kecil Ulu serta Pakantan, Natal dan Batang Natal, dan Padang Lawas. Dan menjelang bertekuk lutut-nya pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang, maka yang akhir ini menyusutkan lagi Onder-afdeeling yang empat buah buah menjadi 3 (tiga), masing-masing: Angkola dan Sipirok, Padang Lawas, dan Mandailing dan Natal.
Jepang yang menggantikan pemerintah Belanda di Tanah Batak lalu memindahkan kantor Residen Tapanuli dari Sibolga ke Tarutung, guna melindungi ibukota itu dari serangan sekutu yang datang dari laut. Saudara tua dari Negeri Matahari Terbit itu tak ayal lagi memperkenalkan sejumlah istilah di Tanah Batak dalam pemerintahan yang tergolong sentralistis di Tapanuli ke-tika itu. Residen digantinyanya dengan Cokan, Bupati menjadi Kenco, Wedana menjadi Gunco, Kepala kampung menjadi Kuco. Dalam lingkungan angkatan perangnya, Jepang menggunakan istilah: “Rikugun” untuk Angkatan Darat, yang ketika itu menjalankan pemerintahan atas pulau-pulau Jawa dan Madura. Untuk Angkatan Laut Jepang menggunakan istilah: “Kaigun”, dan pada ketika itu menjalankan pemerintahan di kepulauan nusantara lainnya termasuk pulau Sumatera. Untuk Polisi Militer Jepang menggunakan istilah “Kem Pei Tai”.
Selain dari itu ada pula istilah “Sendenbu” yang artinya Badan Penerangan Jepang. “Seinendan”, ialah organisasi pemuda yang mengikuti latihan militer yang bernama “Kyoren”. Ada lagi “Fuzinkai”, ialah aktifis wanita yang membantu Bala Tentara Jepang. “Keibodan” ialah badan membantu kepolisian untuk mematamatai penduduk pribumi. “Heiho” adalah para pemuda yang direkrut membantu bala tentara Jepang di medan perang: di pulau Jawa bernama “Kaigun-Heho” sedangkan di pulau Sumatera dinamakan “Rikugun-Heho”. Ada lagi istilah “Romusya”, untuk tenaga kerja yang dihimpun “Romukyoku” (Jawatan Tenaga Kerja Jepang) untuk berbagai keperluan termasuk perang yang tidak sedikit jumlahnya.
Di ibukota Tanah Dairi ini lahir anak ayah yang tertua, seorang putri, pada tanggal 7 Juli 1942, dan diberi nama si Rusmini.
Terusirnya pemerintah Hindia Belanda dari nusantara telah lama menjadi keinginan anak-anak bangsa di tanah-air. Dalam pemahaman anak-anak negeri ketika itu orang-orang Belanda sebagai pendatang dari Eropa memperlihatkan sikap dan prilaku angkuh. Dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Belanda ini tergolong jauh dari rakyat kebanyakan, manakala dibandingkan dengan orang-orang asing lain, antara lain orang-orang: Arab, Cina, Keling (India), yang adalah juga pendatang ke nusantara, bahkan lebih dahulu.
Keserakahan terhadap kekayaan alam berupa hasil bumi, seperti: perkebunan, pertambangan, juga perdagangan sampai industri, dan lainnya yang berada dibawah kekuasaan orang-orang Belanda, mereka tunjukkan kepada anak-anak bangsa sepanjang waktu berkuasa yang demikian panjang, nyaris tidak berbagi dengan anak-anak negeri untuk mensejahterakan kehidupan yang disebut akhir ini di tanah jajahan.
Orang-orang Belanda menghormati Jenderal van Heutz, yang dengan kecerdasan dan kerja kerasnya berhasil mengalahkan begitu banyak kerajaan besar dan kecil, menundukkan Raja-raja di seluruh nusantara, dalam menciptakan tanah jajahan Oost Nederlands Indie yang luas dari Sabang sampai ke Merauke, dibawah Raja Belanda dari Den Haag di Eropa, akan tetapi tanah jajahan yang luas itu tidak berbuat apa-apa kepada anak-anak negeri di tanah kelahirannya sendiri.
Dalam kurun waktu ratusan tahun anak-anak negeri membantu pemerintah kolonial dengan be-kerja rodi (kerja paksa) menguras tenaga tanpa imbalan berarti, mengabdi kepada pemerintah Hindia Belandal, membangun prasarana ekonomi berupa: jalan dan jembatan yang diperintah Dandels. Juga menjadi koeli di berbagai perkebunan yang diusahakan orang-orang Belanda degan imbalan segobang (dua setengah sen uang Belanda) sehari, bahkan ditransmigrasikan ke sejumlah tempat di luar pulau Jawa.
Tidak sedikit jumlah anakanak negeri yang dieksport ke luar negeri untuk menjadi pekerja rodi, seperti: Suriname di Amerika Selatan begitu juga New Caledonia di Timur Australia, untuk menjadi koeli di berbagai perkebunan yang dikuasai kerajaan Belanda dan perusahaan asing lain-nya. Dapat difahami apabila dalam masa penjajahan yang begitu panjang lalu timbul dimana-mana: rasa tidak puas, protes, pembangkangan, penolakan, sampai dengan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda yang kolonial ketika itu.
Dengan diperkenalkanya Pendidikan Barat, lahir gerakan nasional di tanah-air bentuk perkoempoelan, bernama: Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Cele-bes, dan Jong Bataks Bond. Ada pula Nederlandsch Indische Padvinderij Vereniging (NIPV) a-tau Persatuan Kepanduan Hindia Belanda. Selai dari itu, ada pula: Jong Islamieten Bond dan Jong Islamietiesche Meisjes Bond di Jakarta. Kemudian bermunculan berbagai partai: SDI (Sarikat Dagang Islam), PSI (Parteij Sarikat Islam); pada tanggal 24 Oktober 1943 lahir Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), kemudian menjadi Majelis Suro Muslimin Indonesia disingkat Masyumi, lalu pada tanggal 7 Nopember 1945 menjadi partai politik. Pada tahun 1909 di Negeri Belanda muncul Indische Vereniging (IV), atau Perhimpoenan Hindia, yang berubah menjadi Indonesische Vereniging (IV), kemudian Perhimpoenan Indonesia (PI). Semuanya digerakkan kaum intelektual muda anak-anak bangsa yang sadar akan penderitaan rakyat di tanah jajahan Hindia Belanda, untuk menuntut perbaikan nasib yang begitu lama terabaikan.
Hingga dengan kedatangan serbuan Jepang ke nusantara, semua kebijakan yang diambil kerajaan Belanda dari Eropa terhadap Oost Nederlands Indie atau Hindia Belanda Timur, telah menjadikan yang disebut akhir ini menjadi: pemerintahan kolonial terlemah di dunia, rakyat yang buta-huruf terbanyak di bumi, penduduk miskin terhina di muka bumi, dan militer terle-mah di wilayah Asia. Meski telah berlaku buruk terhadap anak-anak negeri di tanah Hindia Belanda, masih ada orang Belanda bernama Helfferich yang tega mengatakan anak-anak negeri :“Een Natie van Koelies, en een Koelie onder de Naties” (Bangsa Kuli, dan Kuli dibawah Bang-sa-bangsa). Luka lahir dan bathin yang mendera ditinggalkan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial terhadap anak-anak negeri sangat menyakitkan, sehingga tidak terdapat cukup kata da-lam perbendaharaan bahasa yang dapat mengungkapkan semuanya. Demikianlah kegetiran yang dirasakan anak-anak pribumi di tanah tumpah darahnya sendiri pada saat itu.
Jepang faham duka lahir-bathin yang dirasakan anak-anak negeri di tanah Hindia Belanda ketika itu, lalu dengan cerdik memanfaatkannya. Itulah sebabnya, Jepang dengan cepat menawarkan janji kemerdekaan kepada rakyat bersama kemakmuran bagi seluruh Asia, sebagaimana gagasan Greater East Asia Co-Prosperity yang dikumandangkannya, dan menyerukan gerakan 3A (Asia): “Nippon tjahaja Asia, Nippon pelindung Asia, Nippon pemimpin Asia”. Dengan sendirinya a-nak-anak negeri lalu bersuka cita di seluruh nusantara menyambut kedatangan serdadu-serdadu Jepang, apalagi diiriungi sikap ramah tamah dan hormat yang dipertontonkan saudara tua penda-tang baru. Pada tahap ini, keinginan rakyat di nusantara yang diwakili para pemimpinnya sejalan dengan keinginan Jepang, yakni secepatnya mengenyahkan pemerintah Hindia Belanda yang ko-lonial dari bumi pertiwi.
Setelah pemerintah Hindia Belanda tumbang, rakyat lalu menuntut janji kemerdekaan pada Jepang. Bahkan ada anak negeri ketika itu yang menyodorkan calon presiden pribumi berikut para menterinya sekali, akan tetapi saudara tua dari Timur itu terpaksa mengulur waktu. Baru setelah anak-anak negeri menyaksikan dengan mata kepala sendiri orang-orang Jepang menduduki ber-bagai jabatan yang ditinggalkan Belanda, mereka lalu sadar akan apa maksud kedatangan orang-orang yang mengaku sebagai saudara tua itu. Kini, keinginan rakyat di nusantara dengan ke-pentingan Jepang sudah berseberangan, bahkan telah menuju benturan kepentingan. Anak-anak negeri lalu membayangkan kedatangan penjajahan babak kedua nusantara, tetapi kini oleh yang orang bernama saudara tua dari Asia Timur.
Apa yang segera dibutuhkan Jepang ketika itu: tenaga kerja, puluhan bahkan ratusan ribu orang anak bangsa berkingrohoshi (melakukan kerja bhakti) menjadi heiho membantu perajurit Jepang di medan perang Dai Toa Senso untuk menghadapi sekutu. Begitu pula romusha yang akan mendirikan benteng-benteng pertahanan, menyiapkan lapangan terbang, membongkar/pasang rel kereta-api di: Tratak dan Petain, 170 km di Baratdaya Pekan Baru; membuat kubu-kubu per-tahanan, menyiapkan barisan tanggul, menyediakan tempat-tempat perlindungan bagi serdadu-serdadu Jepang, membuat terowongan dan gua tempat perlindungan psukan Jepang, dan masih banyak lainnya. Tenaga kerja diperlukan tidak hanya untuk tanah-air, tetapi yang juga dieksport ke luar negeri sebagaimana dilakukan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial silam, tetapi kini dilakukan pemerintah Fascis Jepang untuk memenangkan perang Dai Toa Senso.
Jepang tidak disangkal lagi juga memerlukan pangan: beras, sayur, daging, buah, dikumpulkan dari para petani, peternak, dibayar dengan uang Jepang. Jepang juga memerlukan anak-anak negeri dijadikan polisi untuk megamankan masyarakat di garis belakang. Kini serdadu-serdadu Je-pang telah menanggalkan semua keramah-tamahan yang diperlihatkan sebelumnya, lalu menu-karnya dengan kekerasan hingga kekejaman menggunakan senjata. Serdadu-serdadu Jepang lalu memperlakukan anak-anak pribumi dengan kasar, bengis, kejam, agar cepa mematuhi perintah. Jepang juga memerlukan bantuan aktif rakyat untuk mempertahankan nusantara dari serbuan pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat.
Karena serdadu-serdadu Dai-Nippon telah memperlihatkan keperkasaan mengusir pemerintah Hindia Belanda dari bumi nusantara, mengamati kecepatan perubahan prilaku Jepang mengambil alih jabatan-jabatan penting ditinggalkan Belanda, anak-anak negeri berikut para pemimpinnya di tanah-air harus mengalah. Mereka sadar, Jepang datang ke tanah jajahan yang ditinggalkan Belanda memang untuk merebutnya. Maka unuk menghindarkan pertumpahan darah sia-sia melawan pasukan pendudukan Jepang yang perkasa, kasar, bengis, kejam, dan tidak beradab itu anak-anak negeri terpaksa memilih jalan koopertif dengan mengikuti keinginan saudara tua itu.
Serangan bala tentara Jepang yang meluluhlantakkan pasukan SEAC dan pertahanan Hindia Be-landa di tanah jajahannya, lalu diarahkannya ke Australia. Dengan terlebih dahulu menduduki Rabaul yang terdapat dalam gugusan kepulauan Bismarck, Jepang melangkah ke semenanjung di bagian Utara benua kanguru, untuk memotong alur pengiriman senjata dari Amerika Serikat. Akan tetapi malang, dalam pertempuran Laut Coral (Laut Karang) pada tanggal 4 Mei tahun 1942, angkatan laut Jepang pimpinan Jenderal Hyakutake terpukul telak, dan terpaksa terdesak mun-dur, disusul jatuhnya Guadalkanal kepada sekutu tanggal 6 Nopember 1942. Sebelumnya, bulan Juni tahun yang sama, empat buah kapal induk Jepang sarat pesawat tempur berhasil ditengge-lamkan Amerika Serikat dekat Midway. Kekalahan terbesar dialami Jepang ketika itu ialah te-wasnya laksamana Yamamoto pada tanggal 1 Maret 1943.
Kendati Jepang berupaya terus menyerang, akan tetapi setelah Jenderal Hyakutake digantikan Jenderal Imamura di penghujung tahun 1942, pasukan Jepang terus saja terpukul mundur dari kawasan Australia Utara. Duet Jenderal Nimitz dari Pearl Harbor dengan Jenderal McArthur yang ditarik ke Australia dari Filipina oleh Amerika Serikat, dengan mudah melakukan gerakan “leap frog” (katak lompat) dari pulau ke pulau dari gugusan kepulauan: Marshall, Gilbert, Mariana, dan Carolina; memaksa serdadu-serdadu Jepang mengambil strategi perang mundur sambil bertahan cara bergantian.
Dalam periode waktu antara tahun 1942 hingga 1943, Jenderal McArthur berhasil memburu pa-ukan Jepang yang bergerak mundur dari Papua menuju Morotai, lalu Filipina, kemudian Tai-wan, akhirnya Okinawa, dan tanah-airnya Jepang sendiri. Dalam gerakan mundur sejak dari Fili-pina, Jepang benar-benar mempelihatkan perlawanan sengit mengerahkan gelombang squadron tempur Kamikaze (angin utusan Tuhan) dikemudikan penerbang-penerbang berani mati. Mereka menyerang armada kapal perang sekutu yang bergerak dalam formasi menuju perairan Jepang, membuat yang disebut akhir banyak terbakar dan tenggelam. Gerakan gunting yang dilakukan Jenderal McArthur mulai dari Australia menyebabkan bala tentara Jepang yang berada di pulau-pulau: Sumatera, Jawa, dan Kalimantan terpencil dari induk pasukannya di wilayah Pasifik Barat.
Banyak pertempuran yang mempertontonkan kehebatan mesin-mesin perang mutakhir buatan Amerika Serikat dengan sekutunya, demikian juga Jerman dan Jepang yang menjadi lawan ke-tika itu, telah diangkat ke layar perak untuk memuaskan dahaga orang banyak yang ingin tahu akan malapetaka dunia bikinaan manusia pada pertengahan abad ke-20 silam, untuk meramaikan panggung bioskop dunia dimanamana, dan gemanya terus bergaung menerobos abad-abad selanjutnya di berbagai bidang, seperti: politik, ekonomi, sosial, budaya, strategi, dan lain seba-gainya. Dan yang tidak kalah menarik perhatian ialah kepahlawanan yang dipertontonkan para perajurit kedua belah fihak berlawanan di berbagai medan laga di daratan Eropa dan Asia.
Keberhasilan Amerika Serikat dengan sekutunya di Pasifik, disusul keberhasilan tentara Inggris mengusir serdadu-serdadu Jepang meninggalkan Birma dari Asia Tenggara, yang memburu semuanya kembali semenanjung Malaya. Kedatangan pasukan dari Australia yang menduduki nusantara di bagian Timur, menyebabkan pasukan Jepang yang tergunting oleh gerakan Jenderal McArthur terkurung di pulau-pulau: Sumatera, Jawa, dan Kalimantan kian terjepit. Kejadian ini mebuat nasib anak-anak negeri di ketiga pulau dibawah kekuasaan Jepang memburuk, karena segala kebutuhan mereka menjadi tergantung dari pemerasan milik rakyat, mulai hasil bumi sampai dengan harta benda.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup di pulau-pulau disebutkan, seperti: pangan, tenaga kerja, dan lainnya, serdadu-serdadu Jepang mengandalkan senjata ditangan, prilaku kasar, dan kekejaman, agar anak-anak negeri cepat mematuhi perintah, dan menyerahkan segala apa yang dipinta sece-patnya. Dengan demikian Jepang mudah merekrut ratusan ribu pemuda, dari kota sampai desa yang dikuasai menjadi heiho dan romusha yang dikirim ke Singapura, Malaya, Siam (Thailand), Birma (Myanmar), Nikobar, dan Andaman, untuk menahan serangan sekutu. Banyak para heiho terbunuh sebagai umpan peluru karena tidak bersenjata, tenggelam dilaut, hilang tak tentu rim-banya, terlantar kurus kering di rantau orang, terluntalunta menjadi gelandangan di tanah seberang laut.
Banyak para romusya yang tidak diketahui lagi statusnya, karena samasekali tidak terdaftar. Ada kumpulan romusya penggali perlindungan serdadu-serdadu Jepang yang kemudian dibunuh setelah menyelesaikan pekerjaan untuk merahasiakan tempat. Tidak sedikit anak-anak negeri yang menanyakan nasib sanak saudara mereka yang direkrut Jepang, akan tetapi pemerintah yang akhir ini tidak terlalu menghiraukannya. Banyak kampung atau desa yang kemudian keku-rangan tenaga orang muda untuk mengolah tanah pertanian penghasil pangan yang menghidupi rakyat di berbagai daerah tanah-air.
Memasuki akhir penjajahan Jepang yang setahun jagung lamanya, banyak serdadu Jepang yang telah kehabisan bekal karena tidak memperoleh bantuan dari induk pasuknnya. Untuk tetap bertahan hidup, mereka menggantungkan diri kepada makanan pokok rakyat: beras, jagung, ketela dan lainnya. Dengan senjata ditangan dan sikap kasar, serdadu-serdadu Jepang krmudian menghimpun hasil pertanian lalu menimbun semuanya. Kepada mereka yang setia kepada Jepang diminta mengantri untuk meperoleh jatah distribusi pangan. Hal ini menyebabkan berbagai tempat di pulau-pulau: Sumatera, Jawa dan Kalimantan, rakyat menderita kekurangan pangan. Orang-orang yang kelaparan lalu mencari pengisi perut ke hutan dari buah pohon atau umbi yang mereka ketahui dari leluhur dapat dimakan. Keracunan pangan lalu terdengar dimana-mana, karena banyak yang tidak faham lagi bagaimana menyiapkannya untuk disantap.
Perlakuan pasukan Jepang yang terkurung terhadap para anak negeri tidak alang kepalang kasar dan menyakitkan. Kepada mereka yang tidak segera menghormat ketika bersua langsung ditempeleng. Kepada yang tak sudi atau ragu mengikuti perintah ditendang dan dipukuli gagang se-napan. Mereka yang diketahui bersalah lalu dicemeti lapangan. Musuh dan penghianat yang ter-tangkap serdadu Jepang langsung dipancung, atau tembak mati. Dalam zaman penjajahan Jepang yang Fascis, tidak ada pengadilan dimana orang dapat membuktikan kesalahan atas perkara yang dituduhkan kepada seseorang, konon lagi menegakkan kebenaran dan menghormatinya.
Dengan mempertontonkan kekerasan dan kekejaman, serdadu-serdadu Jepang berharap anak-anak negeri akan segera tunduk pada perintah tanpa perlu berfikir. Tujuan Jepang jelas, untuk membangun rasa takut guna memelihara keamanan dan ketenteraman di garis belakang selama masa pendudukannya. Berbeda pendekatan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial di zamannya untuk menjaga keamanan dan ketenteraman yang dikenal anak-anak negeri selama ini. Di fihak lain bahasa kekerasan dan kekejaman digunakan Fascis Jepang berdampak buruk terhadap anak-anak negeri, karena menimbulkan trauma berat pada jiwa putra dan putri pribumi, karena yang disebut akhir ini tidak dapat menemukan dalam perbendaharaan akal-budi mereka, kesalahan apa gerangan yang pernah mereka lakukan silam yang membuat nasib begitu buruk menghampiri kehidupan di alam fana ini.
Meski pasukan pendudukan Jepang telah berlaku kasar dan memperlihatkan kekejaman, akan te-tapi tidak berarti anak-anak pribumi urung memperlihatkan perlawanan. Rakyat Singaparna di Jawa Barat pimpinan K.H. Zaenal Mustafa ketika itu menolak seikeirei (menyembah) Tenno Heika ke arah Tokyo, karena akan menyalahi ajaran Darul Islam yang diyakini rakyat. Sang Kiayi mengatakan sembahyang hanya menuu Ka’bah di Mekah, Saudi Arabia, bukan Tokyo, Jepang, seperti yang diperintahkan para perajurit Jepang. Pemberontakan Indramayu lalu meletus ketika itu, setelah lebih dahulu dipicu kebencian rakyat atas kelakuan serdadu-serdadu Jepang yang melakukan pemerasan kekayaan rakyat yang melampaui batas.
Mendekati penghujung pendudukan Jepang, kehidupan yang dirasakan rakyat kian menghimpit dari hari ke hari, terlebih adanya blokade yang dilakukan sekutu. Beragam bahan makanan dan pakaian yang pada zaman Hindia Belanda mudah didapat karena banyak didatangkan dari luar negeri, dalam zaman pendudukan Jepang hilang dari pasaran. Kalau pun ada, akan sangat sukar didapat, tidak terkecuali obat-obatan. Yang pertama menderita anak-anak para pengungsi yang memerlukan makanan berbahan dasar susu. Kaum ibu harus mengusahakan makanan tambahan untuk anak-anak guna mencukupi gizi.
Demkian pula pakaian yang tidak dapat lagi dibeli dipasar, sehingga banyak dijumpai orang yang masih mengenakan pakaian yang dibeli pada zaman Hindia Belanda, dan terus dikenakan sampai cabik di badan. Manakala telah koyak dimakan usia, tambal sulam bukan halangan. Banyak pa-kaian dikenakan orang yang berlalulalang sudah bertambal sulam dimana-mana ketika itu. Beragam warna kain dijahitkan orang menghiasi baju atau celana dari luar. Orang-orang berpakaian compang-camping berkeliaran di jalan-raya dimanamana menjadi pemandangan sehari-hari di zaman Jepang. Ada sementara anak negeri yang mengenakan pakaian bahan goni (karung), bahan tenda, atau terpal yang dikupas dari selang air di berbagai kota; sedangkan di kampung-kampung diemukan rakyat yang mengenakan kulit kayu dan bagor (karet giling tipis) pengganti kain pembalut badan.
Yang juga lenyap dari pasar selama pendudukan Jepang mainan anak-anak yang sebelumnya banyak diperjualbelikan di pasar. Banyak orang tua yang harus membantu anak-anak mereka membuat mainan bagi anak-anak untuk merangsang berfikir dan berkreasi dari imajinasi masing-masing. Peralatan bemain dibuat dari bahan apa saja yang ditemukan di tempat berdiam. Dengan alat-alat bermain seadanya di zaman Jepang, orang-orang tua terus berupaya mencerdaskan putera puteri, sekaligus mengantarkan anak-anak ini hidup bermasyarakat dengan anak-anak lain di tempat mengungsi. Kaum ibu juga tidak ketinggalan menyiapkan mainan bagi anak-anak pe-rempuan agar mereka juga dapat bergaul dengan sebayanya di tempat berdiam.
Selama tinggal di Sidikalang, ayah dan ibu berkenalan dengan: dr. Li Ting Sioe dengan istrinya tante Erna, Patuan Sorimuda dari Baringin dengan istrinya, Muhammad Hasibuan dengan istri-nya tante Rata. Dan yang disebut terakhir adalah adik kandung Hadeli Hasibuan S.H., seorang pengacara ternama di Jakarta. Dengan pasukan Dai Nippon yang semakin terpukul dalam perang Dai Toa Senso di kawasan Pasifik, pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Jepang Koisho menyatakan dihadapan sidang parlemen di negaranya, akan dengan resmi memberikan kemerdekaan kepada bangsa In-donesia. Janji kemerdekaan ini lalu diulanginya kembali pada tanggal 29 April 1945, lewat pengumuman resmi pemerintah Kekaisaran Jepang ketika itu.
Zaman Perang Kemerdekaan
Tarutung
Dari Sidikalang, terhitung tanggal 17 Agustus 1945, oleh pemerintah Jepang ayah dipindahkan bertugas Tarutung, dan diangkat menjadi pejabat menengah bidang kehutanan. Di kota yang terletak si Selatan Danau Toba ini, lahir anak ayah kedua, putri, tanggal ….1944, dan diberi nama si Nurhasni. Kelahiran putri ayah kedua disusul lagi dengan kelahiran anak ayah ketiga, lagi putri, si Butet, tanggal 17 Mei 1945 dan diberi nama si Nilawati.
Tidak ada yang menyangka bahwa kepindahan ayah ketika itu diwarnai pula oleh perubahan besar perjalanan sejarah dunia, mulai Eropa di belahan bumi Barat hingga Asia di belahan bumi Timur, tetapi kini untuk arah yang sebaliknya.
a. Perkembangan Di Kawasan Eropa.
Dengan keterlibatan Amerika Serikat di daratan Eropa membantu: Inggris, Perancis, dan lainnya kedalam sekutu dari Eropa Barat, lalu Uni-Sovyet (sekarang Rusia) menyerang dari Eropa Timur, Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler menjadi terjepit di tengah medan perang sehingga dapat ditaklukkan; dan Perang Dunia ke-II di benua Eropa berakhir. Kemenangan pasukan sekutu di Eropa lalu dirayakan besar-besaran oleh masyarakat tanggal 8 Mei 1945. Perang dahsyat itu telah meluluhlantakkan Jerman berikut aliansinya oleh gempuran Sekutu yang lebih perkasa, me-nyebabkan pemerintah Fascist Jerman yang digerakkan Partai Nazi itu terpaksa bertekuk lutut tidak bersyarat, dan menandatangani perjanjian Potsdam (kota kecil dekat Berlin) yang menya-kitkan. Dalam perjanjian itu dikatakan bahwa seluruh negeri Jerman harus dibagi kedalam empat sektor sesuai banyaknya negara yang bersekutu untuk menaklukkannya, yakni: Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Uni-Sovyet.
b. Perkembangan Di Kawasan Asia.
Kendati Perang Dunia ke-II telah berakhir di daratan Eropa, akan tetapi hal itu samasekali belum berlaku di Asia, walau Jepang telah kehilangan aliansi perangnya di belahan bumi Barat. Kini Jepang terpaksa berperang sendirian dengan semua kemampuan militer yang dimiliki berhadapan langsung dengan Amerika Serikat yang dibantu sekutu perangnya dari Eropa: Inggris, dan Belan-da, yang mempunyai kepentingan besar di Asia Tenggara, karena memiliki tanah jajahan luas lagi kaya akan berbagai sumber daya alam yang belum lama dirampas Fascist Jepang. Seteru lain Jepang di Asia Pasifik ketika itu ialah Cina Nasionalis pimpinan Jenderal Chiang Kai Shek yang bukan komunis, dan Australia.
Dengan semakin dekat kedudukan Jenderal McArthur dan pasukannya memasuki perairan negeri Sakura, Jepang menampakkan perlawanan beragam di laut dan udara. Selain oleh angkatan laut dengan beragam kapal perang di laut, Jepang juga mengembangkan ribuan kapal motor jibaku (bunuh diri) pengantar bom: mulai kapal selam mini pembawa torpedo dijalankan perajurit berani mati sampai perahu cepat pengejar kapal perang; semuanya disebar ke seluruh laut dise-putar kepulauan Negeri Sakura, guna mengkaramkan armada sekutu yang berani mendekat. Pasukan sekutu yang menghampiri Jepang benar-benar kewalahan dan mendapat rintangan amat besar berhadapan dengan para perajurit jibaku yang beragam dan besar jumlahnya ketika itu, karena berhasil mengkaramkan banyak kapal. Sekutu terpaksa berpaling untuk menggunakan keunggulan teknologi senjata untuk memaksa Jepang segera bertekuk lutut. Pilihan yang kemudian diambil ialah dengan menjatuhkan bom atom yang diberi nama: “Little Boy”.
Dua kota industri di Jepang dibidik untuk menjadi sasaran, masing-masing: Hiroshima di pulau Honshu, dan Nagasaki di pulau Kyushu. Bom pertama dijatuhkan di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dilontarkan dari lambung pesawat pembom B-29 bernama: “Enola Gay”, pimpinan Kapten Penerbang Warfield Paul Tibbets Jr, dan merenggut nyawa sedikitnya 120.000 orang dalam sekejap, disusul 80.000 orang mati perlahan terkena badai radio-aktif. Melihat kengerian yang ditimbulkan bom atom pertama yang menghantam Jepang di tanah-airnya, maka pada hari itu juga kabinet Jepang langsung bersidang. Tiga hari kemudian, bom atom kedua dijatuhkan pula di Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, dan merenggut 80.000 jiwa dalam seketika. Tak pelak lagi, negeri Matahari Terbit itu mengibarkan bendera putih tanda menyerah, sekaligus ber-sedia mengikuti Jerman menerima perjajian Potsdam tidak bersyarat yang memilukan hati para samurai, dan mempermalukan semuanya.
Pada tangal 14 Agustus 1945 Presiden Amerika Serikat: Truman dan Perdana menteri Inggris: Lord Attlee mengumumkan ke seluruh penjuru dunia, bahwa Jepang telah bertekuk lutut tidak bersyarat. Kemudian Kaisar Hirohito memerintahkan semua pasukan Jepang yang berada di kawasan pasifik segera “menghentikan perlawanan”. Pilihan kata akhir diambil Kaisar, bukan “menyerah”, untuk tidak menyakiti hati bangsanya. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, Menteri Luar Negeri Jepang: Shigemitsu mengumumkan kekalahan Jepang terhadap sekutu ke seluruh penjuru dunia, maka Perang Dunia ke II atau Perang Dai Toa Senso, yang dimulai Jepang di kawasan Asia pun lalu berakhir.
Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia
Demokrasi Parlementer
Kabinet Sukarno-Hatta
Sejak dari tanggal 18 Agustus 1945, sejak saat tentara Dai Nippon menyerah kepada Sekutu di negerinya hingga dengan pasukan Sekutu memasuki nusantara tanggal 15 September 1945, telah timbul vakum kekuasaan di bekas tanah jajahan Hindia Belanda. Dalam masa kekosongan keku-asaan itu, lalu timbul keinginan anak-anak bangsa untuk menolak kembalinya pemerintah Hindia Belanda yang baru, ketika itu membonceng Sekutu dinamakan NICA. Orang-orang muda yang sudah bertang-jawab kepada tanah-airnya lalu mengorganisasi diri untuk menghimpun kekuatan yang akan menolak kedatangan pemerintah NICA buatan Balanda usai perang Dunia ke-II.
Negara Republik Indonesia (NRI) kemudian diproklamirkan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh anak-anak negeri, akan tetapi tidak diakui Belanda dan Sekutu. Propinsi Sumatera ke-tika itu masih sebuah pulau besar nusantara termasuk gugusan pulau berdampingan mengitari, lalu dijadikan bagian paling Barat NRI dengan ibukotanya Medan. Untuk memimpin propinsi paling Barat, diangkat Mr. Teukoe Moehammad Hasan sebagai Gubernur dengan wakilnya Dr. Amir. Dengan demikian kedaulatan NRI atas pulau Sumatera berikut semua gugusan kepulauan mengitari telah ditegakkan.
Pada awal masa kemerdekaan, propinsi Sumatera Utara yang dikenal saat masih merupakan dua keresidenan berdiri sendiri, masing-masing: Keresidenan Sumatera Timur dengan ibukotanya Medan, dan Keresidenan Tapanuli dengan ibukotanya Sibolga. Pembagian ini masih berasal dari zaman penjajahan Hindia Belanda sebelumnya.
Meski Gubernur dan Wakilnya propinsi Sumatera telah berada di Medan, akan tetapi pengambil-alihan kekuasaan dari Jepang oleh NRI berjalan lambat. Banyak warga masyarakat ketika itu yang belum mengetahui apa yang sesungguhnya berlangsung di muka bumi saat itu oleh keterbatasan komunikasi, transportasi, surat khabar, dan beragam sumber berita lainnya. Masih terlihat banyak keraguan dikalangan masyarakat tentang kemerdekaan, karena pasukan Jepang ketika itu masih secara defakto mengendalikan kekuasaan.
Di Keresidenan Tapanuli saat, beredar khabar dari para penyusup yang mengatakan akan kembalinya pemerintah Hindia Belanda pasca Perang Dunia ke-II, sedangkan dari kaum pergerakan yang berseberangan menuntut kemerdekaan segera dikumandangkan; yang akhir ini akan melawan Belanda yang kembali datang untuk menjajah tanah-air. Inisiatif merdeka kemudian ter-pulang pada keinginan rakyat banyak di daerah-daerah Sumatera Timur dan Tapanuli, yang pada masa itu digerakkan kaum pemuda beragam aliran yang ada dalam masyarakat termasuk unsur-unsur politik beraliran faham kanan dan kiri.
Baru pada tanggal 17 September 1945, sebulan kemudian, kemerdekaan NRI diproklamasikan u-lang di Medan oleh Panitia Kebangsaan. Lalu pada tanggal 30 September 1945 dibentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI), dan tanggal 2 Oktober 1945 dilangsungkan pawai besar di kota Medan yang mengibarkan spanduk-spanduk besar bertuliskan ”We are a Free Nation”, “Down with Im-perialism”, dan lain sebagainya. Latihan-latihan militer lalu mulai digiatkan dilaksanakan kaum muda beragam organisasi pasukan yang melahirkan lasykar partikelir. Aktivitas yang dimulai dari Sumatera Timur itu kemudian menyebar pula ke segala penjuru keresidenan Sumatera Timur, dan menyusup ke keresidenan Tapanuli di bagian Barat.
Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang, dilakukan anak-anak bangsa yang telah menya-takan berdaulat, diawali tanggal 2 September 1945 oleh NRI Sumatera Utara, semula berjalan lancar di sejumlah tempat, dengan menurunkan Hino-Maru (bendera Jepang) dan menaikkan sang Merah-Putih. Akan tetapi di berbagai tempat lainnya, antara lain Tebing Tinggi (Deli), hal itu menuntut pengorbanan jiwa. Masih banyak terdapat persekongkolan antara pasukan Jepang yang telah ditaklukkan dengan orang-orang Belanda didalangi pasukan komando yang diterjun-kan Belanda sebelumnya. Juga antara orang-orang Belanda bekas internir (tahanan) yang sudah bebas dengan para serdadu Jepang, yang memungkinkan mereka berkampanye untuk menegak-kan pemerintah Hindia Belanda yang baru di daerah Sumatera Timur.
Pada tanggal 3 September 1945 Komite Nasional Indonesia (KNI) terbentuk di Medan. Sadar akan tidak jelasnya sikap Sekutu terhadap NRI di Sumatera Timur ketika itu, lalu muncul perla-wanan anak-anak negeri di berbagai tempat di Sumatera Timur terhadap pelaksanaan serahterima kekuasaan daerah itu dari tangan Jepang. Berbagai usaha partikelir dilakukan anak-anak bangsa guna mempertahankan kemerdekaan yang belum lama diproklamirkan ulang.
Orang-orang Belanda yang membonceng Sekutu berusaha keras untuk mempertahankan kembali kedaulatan pemerintah Hindia Belanda yang baru, meski mendapat perlawanan masyarakat di Sumatera Timur. Peristiwa 13 Oktober 1945 di jalan Bali, Medan, merupakan awal pemicu ben-turan kepentingan antara orang-orang Belanda pendatang dengan anak-anak negeri di Sumatera Timur ketika itu. Begitu juga provokasi yang dilakukan penyusup-penyusup Belanda yang me-nembaki Merah-Putih yang tengah berkibar di halaman asrama BPKI (Badan Pelaksana Kemerdekaan Indonesia) Pematang Siantar. Rakyat yang marah lalu memburu kaum provokator ke tempat persembunyian di Hotel Siantar dan membakarnya sehingga para provokator terpaksa menyerah.
Pada tanggal 23 September 1945 dibentuk Barisan Indonesia Muda di Medan bersemboyan: “merdeka atau mati”. Untuk mempertahankan NRI di Sumaera Timur dan Tapanuli muncul or-ganisasi-organisasi kemasyarakatan pendukung kemerdekaan, antara lain: TRI (Tentara Republik Indonesia); Naga Terbang pimpinan Timur Pane, Harimau Liar dipimpin Saragih Ras, Halilintar pimpinan Slamet Ginting, Napindo PNI, Brigade Tapanuli, Pesindo PSI (Pemuda Sosialis Indo-nesia), Mujahidin dari Masyumi, dan banyak lagi lainnya. Kemudian dengan diizinkannya ber-diri partai politik yang baru oleh Wakil Presiden, disamping PSI, PSII, Masyumi, PNI, yang te-lah lama ada, muncul pula partai-partai politik baru, baik dari sayap kanan maupun sayap kiri di nusantara; semuanya bahu membahu berjuang untuk membela kemerdekaan NRI yang telah diproklamirkan kembali di Medan.
Derasnya arus informasi yang menyusup ke Tapanuli dari berbagai penjuru membuat kaum per-gerakan: pemuda, pemuka masyarakat, kaum terpelajar di Tarutung menuntut janji kemerdekaan dari Jepang, mengakibakan ibukota Tapanuli versi Jepang itu bergolak. Masyarakat ingin lebih tegas lagi menuntut kemerdekaan pada Jepang. Langkah baik semula diperkirakan berlangsung tanggal 8 September 1945, menjelang “Hari Raya Idulfitri 1365 H”, setelah pimpinan pergerakan sehari sebelumnya meminta rakyat dimana-mana mengibarkan bendera Merah-Putih pada setiap rumah. Akan tetapi anjuran diserukan belum ditanggapi merata. Baru pada tanggal 14 September 1945, ratusan pemuda dari berbagai pelosok Tapanuli dapat dikerahkan untuk berdemonstrasi di Tanah Lapang kota Tarutung.
Kaum demonstran dengan luapan emosi yang memuncak, lalu bergerak menuju kantor Cokan (Residen Tapanuli versi Jepang) dan menuntut kepada Jepang segera menyerahkan kekuasaan. Sanyo, seorang putra pribumi yang diangkat Jepang sebagai pejabat di kantor itu, langsung ambil bagian, dan segera melakukan serah terima kekuasaan dari Jepang ke NRI di Tarutung secara damai. Maka pada tanggal 3 Oktober 1945, surat keputusan pemerintah NRI dari Jakarta dikirim untuk mengangkat Dr. Ferdinand Lumban Tobing menjadi Residen NRI pertama di Tapanuli berikut wakilnya Abdul Hakim Harahap. Dengan demikian Keresidenan Tapanuli dengan resmi menjadi bagian dari NRI dengan ibukotanya Tarutung.
Pada tanggal 4 Oktober 1945 lalu dibentuk KNI (Komite Nasional Indonesia) Tarutung setelah terlebih dahulu BKR dibubarkan. Adapun susunan para anggota KNI Tarutung dari ketua hingga anggotanya, adalah sebagai berikut: Ketua M. Jakoeb Siregar, gelar Soetan Naga; dan anggota-nya: Soetan Koemala Pontas, G. Silitonga, Roefinoes L. Tobing, M. Simatoepang, A. Loebis, M. Siregar, Soetan Soemoeroeng, Radja Djoendjoengan, R. M. Sodjoeangon, Hasan Basjaroedin Nasoetion, dan F. Nasoetion. Lalu sidang pleno KNI Tapanuli diselenggarakan pada akhir tahun 1945.
Lalu pada tanggal 17 Oktober 1945, dua bulan kemudian kemerdekaan NRI diproklamasikan ulang pula di Tapanuli, di ibukota versi Jepang Tarutung, di Tanah Lapang, dan dibanjiri tidak kurang dari 15.000 orang beragam golongan masyarakat datang dari berbagai pelosok Tanah Batak. Pada kesempatan itu dibacakan pula ikrar Rakyat Tapanuli yang menyatakan setia pada Presiden dan Negara Republik Indonesia. Pemerintah NRI di Tapanuli dibentuk, dan anggotanya dihimpun dari orang-orang muda pergerakan, baik untuk Eksekutif maupun Legislatif yang ber- otonomi penuh telah disepakati ketika itu.
Maka tanggal 7 Januari 1946 berlangsung rapat Badan Eksekutif pemerintah NRI Tapanuli per-tama di Tarutung, sekaligus memperkenalkan para pejabat di daerah itu. Dalam rapat kedua ber-langsung di Sipoholon tanggal 16 Januari 1946, diatur hubungan kerja antara badan-badan Ek-sekutif dan Legislatif. Lalu pada tanggal 28 Januari 1946 oleh Badan Legislatif disusun pula aturan baru berkaitan dengan Dewan Negeri, sehingga segala ketentuan yang telah berlaku sebe-lumnya dengan demikian diperbaharui semua. Lalu pada tanggal 15 Mei 1946 ibukota NRI Kere-sidenan Tapanuli dipindahkan dari Tarutung kembali ke Sibolga, bekas ibukota Keresidenan Tapanuli pada zaman Hindia Belanda.
Padang Sidempuan Pertama
Dari Tarutung, ayah ditugaskan ke Padang Sidempuan, sebuah kota yang lebih ke Selatan le-taknya. Terhitung tanggal 1 Desember 1946, ayah diangkat menjadi guru “Sekolah Opseter Kehutanan” di kota besar tanah Angkola itu. Opseter kehutanan saat itu diperlukan untuk mengambil alih tanggung jawab pengawasan, pemeliharaan, dan pengelolaan hutan-huyan pulau Sumatera memasuki alam kemerdekaan.
Tidak banyak warga masyarakat di Tapanuli ketika itu yang tahu apa yang sesungguhnya sedang berlangsung di muka bumi, oleh miskinnya berita, terbatasnya sarana perhubungan dan peralatan komunikasi. Kebanyakan habar yang masuk ke Tanah Batak dibawa orang yang bepergian, baik yang disampaikan cara lisan maupun dengan surat yang dibawa. Keadaannya diperburuk lagi o-leh tingkat pengetahuan rakyat tentang dunia yang masih rendah oleh belum terdapat pendidikan masyarakat yang memadai.
Belum seberapa persen penduduk di Tapanuli yang pernah duduk di bangku sekolah ketika itu; dan kalau pun ada, kebanyakan baru keluaran Sekolah Gouvernement: Volks School 3 tahun, dengan lanjutan Vervog School 2 tahun bahasa Melajoe tulis Latin. Meski telah ada sejumlah sekolah yang diusahakan masyarakat setempat, antara lain madrasah, akan tetapi yang akhir ini lebih memusatkan perhatian pada pengajaran agama Islam ketimbang mengajarkan pengetahuan umum tentang bumi dimana manusia berdiam. Dengan latar belakang pendidikan demikian kebanyakan warga di Tanah Batak masih belum dapat mengikuti perjalanan sejarah dunia lewat berita yang disampaikan surat khabar.
Lebih sedikit lagi mereka yang pernah duduk di bangku: HIS, MULO, AMS, dan lain diatasnya berbahasa Belanda, maupun yang menyelesaikannya. Kebanyakan dari mereka tinggal di kota di Tapanuli ketika itu. Itulah sebabnya mengapa perkembangan dunia luput dari pemantauan keba-nyakan warga di Tanah Batak termasuk di kota Padang Sidempuan. Selain dari itu, pesawat radio milik masyarakat masih di tangan Jepang, menyebabkan perkembangan keadaan dunia tidak segera tercermin pada kehidupan orang banyak ketika itu.
Itulah sebabnya mengapa tidak banyak orang yang tahu di Tanah Batak, bahwa Perang Dunia ke-II telah bertukar haluan. Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler yang perkasa di Eropa telah ditaklukkan Sekutu pimpinan Amerika Serikat, begitu pula Fascist Jepang pimpinan Jenderal Tojo di Asia, telah bertekuk lutut kepada Sekutu dengan dijatuhkannya dua bom atom, masing-masing di Hiroshima dan Nagasaki oleh pesawat Amerika Serikat.
Tersiar khabar di Tapanuli yang dibawa orang mengabarkan, Belanda akan masuk lagi ke Suma-tera Timur untuk memulai penjajahan Hindia Belanda yang baru, dan serdadu-serdadu Belanda pun telah tiba di Medan, dan akan menuju Simalungun untuk menguasai Tapanuli. Masih banyak warga Tapanuli yang mengira bahwa pendudukan Jepang masih ada di Tarutung menjalankan mandat Sekutu. Dikhabarkan pula pemerintah peralihan Jepang tengah menanti timbangterima kepada Sekutu akan segera dilakukan, meski tanggalnya masih belum diketahui.
Khabar kedatangan serdadu-serdadu Belanda di Sumatera Timur, akhirnya sampai juga di Pa-dang Sidempuan di Angkola. Kaum pergerakan dimotori para pemuda Sumatera Timur dan Tapanuli tidak sudi lagi melihat kembalinya pemerintah Belanda baru yang membonceng Sekutu, terus membangun perlawanan. Lahirlah barisan-barisan pembela NRI berbagai bentuk dimana-mana di Sumatera Timur dan Tapanuli. Suhu politik di kedua kawasan pun lalu mening-kat mencapai puncak yang akan menyulut pecahnya perang.
Belanda memulai agresi militer pertama tanggal 21 Juli 1947, dan menamakan tindakan itu politionele actie (aksi polisionil) untuk memulihkan keamanan. Diawali dengan melanggar gencatan senjata Medan Area tanggal 14 Oktober 1946, Perjanjian Linggarjati tanggal 25 Maret 1947, Belanda memulai agresi diperintahkan van Mook dari Batavia. Tujuannya jelas, untuk merebut berbagai wilayah di Sumatera Timur dan Tapanuli yang secara ekonomi dan politik di-nilai amat penting ketika itu, antara lain: beragam perkebunan yang terpaksa ditinggalkan Be-landa saat Jepang masuk.
Belanda mengawali serangan dehgan melanggar garis van Mook mengitari Medan Area, dilakukan Brigade Z pimpinan Mayor Scholten. Belanda ingin menerapkan theori perang kilat Heinz Guderian dari Jerman yang berhasil meluluhlantakkan Polandia, tetapi kini dilakukan di Sumatera Timur. Belanda mengerahkan empat batalyon infantri kendaraan lapis baja dikawal dari udara. Agresi Belanda ini akan berhadapan dengan Divisi X NRI pimpinan Kolonel Hoesin Yoesoef bermarkas di Bahjambi, tidak jauh dari Pematang Siantar. Pasukan-pasukan Republik terdapat di empat sektor ketika itu, yakni: Medan Utara berpusat di Binjai, Medan Timur berpusat di Batang Kuwis, Medan Selatan berpusat di Tanjung Morawa, dan Medan Barat berpusat di Deli Tua. Se-tiap sektor pertahanan NRI terdiri dari gabungan berbagai organisasi perjuangan, anggota partai politik, seperti: Napindo (PNI), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Mujahidin (Masyumi) di-datangkan dari Aceh. Ada lagi Marechaussee (kepolisian), Tentara Republik Indonesia (TRI), TRIP (TRI Pelajar), Brigade Tapanuli, dan beragam lasykar rakyat, semuanya ditaksir berke-kuatan 20.000 orang yang dipersenjatai.
Tepat jam 05.30 pagi, Belanda memulai agresi militer dengan membuka serangan udara pada sektor pertahanan Medan Utara dengan menembaki kota Binjai dan markas Resimen I dengan senapan mesin lalu menjatuhkan bom. Serangan datang bertubitubi dan mematahkan perlawa-nan sektor yang dinilai terkuat dari semua yang dipersenjatai ketika itu. Setelah melumpuhkan sektor Medan Utara, Scholten dengan cepat menukar haluan ke Selatan, lalu Timur, dan balik ke Utara lalu menghantam pertahanan sektor Medan Barat dari belakang, setelah sebelumnya meng-hujani sektor itu dengan serangan udara bersama sektor Medan Timur. Melihat kedatangan ser-dadu-serdadu Belanda dari belakang yang tidak disangka-sangka, pertahanan sektor itu pun po-rak-poranda, maka pasukan NRI terdiri dari berbagai organisasi, kebanyakan masih partikelir, tidak berpengalaman, dan belum mengertahui strategi dan doktrin perang, menjadi kocar-kacir berlarian tunggang langgang menyelamatkan diri masing-masing.
Komunikasi pasukan dengan markas NRI di Bahjambi telah lebih dahulu diputus Belanda, se-hingga pasukan NRI yang ada di lapangan tidak lagi tahu apa yang harus diperbuat. Pada saat yang sama komandan Divisi X pun sedang bepergian ke Aceh, dan disana pun ia tidak menge- tahui apa yang terjadi di medan perang. Pasukan Belanda dengan cepat menduduki Binjai, Deli Tua, Pancur Batu, Tembung dan Tanjung Morawa termasuk wilayah yang mengitari. Serangan infantri Belanda dengan tembakan udara ke markas-markas TRI di Medan, termasuk pemboman ke sejumlah tempat yang strategis, menimbulkan banyak korban dan penderitaan warga masya-rakat di daerah Deli Timur ketika itu.
Agresi militer Belanda di Sumatera Timur menimbulkan gelombang arus penduduk yang me-ngungsi dari sejumlah daerah konflik di Sumatera Timur ke wilayah NRI atau Republik di Tapanuli. Dalam gelombang pengungsian yang bergerak kacau-balau, selain masyarakat sipil yang berusaha menyelamatkan diri, ternyata ikut pula sejumlah lasykar yang terpukul mundur, antara lain yang dipimpin Mayor Bejo dan Mayor Malao. Sampai tanggal 20 September 1947, jumlah pengungsi dari Sumatera Timur tidak kurang dari 150.000 orang. Mereka adalah orang-orang yang tidak sudi lagi berdiam di daerah-daerah pendudukan Belanda, lalu berbondong-bondong meninggalkan: Binjei, Tanjung Pura, Pancur Batu, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Rampah, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kabanjahe; beramai-ramai mengungsi menyelamatkan diri ke sejmlah daerah Republik untuk mendapatkan perlindungan.
Sejak ibukota keresidenan Tapanuli dipindahkan ke Sibolga dari Tarutung, terhitung tanggal 10 Oktober 1947 ayah diangkat menjadi Kepala Kehutanan Keresidenan Tapanuli berkedudukan di Sibolga. Melihat agresi militer Belanda yang telah melanda Sumatera Timur, ayah memutuskan untuk pergi seorang diri ke Sibolga melaksanakan tugas Kepala Kehutanan NRI, lalu menitipkan ibu dengan kedua anaknya di Padang Sidempuan kepada Ompung Maimunah di jalan Lubuk Raya no.2, Tanah Lapang.
Sibolga
Agresi militer Belanda pertama sebenarnya telah dimulai tanggal 12 Mei 1947, karena di pantai Barat pulau Sumatera, kapal perang JT-1 Angkatan Laut Belanda telah masuk ke teluk Sibolga dan menghujani ibukota keresidenan Tapanuli itu dengan tembakan meriam dari laut 45 menit lamanya yang menimbulkan kebakaran besar di kota itu. Penduduk Sibolga lalu berbon-dong-bondong meninggalkan ibukota Tapanuli itu lari ke pedalaman untuk menyelamatkan diri, mebuat kota pelabuhan itu berubah jadi kota mati.
Agresi militer Belanda bulan Juli menyebabkan daerah Tapanuli menghadapi persoala besar oleh aliran ratusan ribu pengungsi dari Sumatera Timur, termasuk lasykar dan tentara yang terusme-nerus terpukul mundur akibat tekanan Brigade Z pimpinan Mayor Scholten. Panitia penampung pengungsi lalu di bentuk di berbagai kota di Tapanuli, antara lain: Sipangan Bolon, Sidikalang, Tarutung, Balige, Padang Sidempuan dan lainnya, dengan mendirikan pos-pos Palang Merah, dan kantor-kantor pendaftaran, serta tempat-tempat penerimaan pengungsi gawat darurat.
Untuk memberi kebebasan bergerak kepada pemerintah NRI dalam keadaan darurat, maka oleh Dewan Pertahanan Daerah (DPD) Tapanuli, jumlah Kabupaten yang ada dalam Keresidenan Tapanuli ditingkatkan jumlahnya dari 4 (empat) menjadi menjadi 9 (sembilan), dan ibukota keresidenan dipindahkan dari Sibolga (Sibolga I) ke Aek Sitahuis atau Naga Timbul, sebelas kilometer dari kota Sibolga, dan dinamakan: Sibolga II. Langkah pemecahan wilayah diambil untuk menghindarkan lumpuhnya pemerintah NRI Tapanuli, apabila serdadu-serdadu Belanda dalam agresi militernya berhasil menduduki salah sebuah kabupaten NRI di Tapanuli.
Oleh derasnya arus pengungsi yang mengalir ke Keresidenan, maka pada tanggal 15 Agustus 1947, pemerintah NRI mencetak ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuli) pecahan Rp.5,- dan Rp.10,- sebagai penukar URIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Sementara) pecahan Rp.100,- keluaran Pematang Siantar yang terlalu besar untuk berbelanja, karena banyak dibawa para pe-ngungsi dari Sumatera Timur saat masuk ke Tapanuli. Sejalan kelahiran ORITA, beredar juga uang palsu dilakukan orang-orang yang ingin mengais kesempatan untuk mengacaukan jalannya perekonomian rakyat di pedalaman.
Ditengah keadaan yang masih belum menentu, begitu juga tekanan angkatan laut Belanda yang berusaha menduduki Sibolga di pantai Barat Sumatera, maka setelah beberapa lama bekerja di ibukota keresidenan Tapanuli, ayah memutuskan kembali ke Padang Sidempuan dan meneruskan pekerjaan sebelumnya sekaligus berkumpul dengan keluarga. Perjalanan kembali dari Sibolga terpaksa di tempuh dengan berjalan kaki dalam kelompok lewat hutan, untuk menghindarkan bertemu dengan patroli anggota badan intelijen Belanda yang sedang berkeliaran mengamati.
Padang Sidempuan Kedua
Dahaga berita amat dirasakan kaum intelektual dan anak-anak bangsa yang kembali dari peran-tauan, baik memilih tinggal di kota-kota maupun yang memilih tinggal di desa-desa di Tapanuli Selatan ketika itu, menjadi beban berat yang terasa dalam perjalanan waktu. Berbagai pesawat radio milik masyarakat yang disita Jepang sebelumnya belum juga dikembalikan, membuat per-kembangan dunia dan tanah-air ketika itu luput dari pantauan warga masyarakat yang bermukim di Tapanuli Selatan.
Tidak ada jalan masuk berita dari Sumatera Timur karena semuanya telah ditutup Belanda. Tidak banyak orang yang tahu di Tapanuli bahwa pada tanggal 25 Desember 1947 Negara Sumatera Timur telah terbentuk. Orang-orang Republik yang berdiam di sejumlah kota pendudukan ba-nyak memembantu warga masyarakat di pedalaman memperoleh khabar terbaru. Kurir Kantor Residen Sibolga II sering menyampaikan khabar terbaru kepada warga di pedalaman, antara lain: pertemuan Hoge Veluwe di Nederland, persetujuan Linggarjati, persetujuan di atas Kapal Perang Amerika Serikat Renville, berdirinya Komisi Tiga Negara (KTN) guna menengahi pertikaian In-donesia dengan Belanda di lapangan. Inggris dikhabarkan menyatakan kekecewaan pada Belan-da tanggal 21 Juli 1947 yang mengatakan tidak lagi terikat pada perjanian Linggarjati. Belanda melampiaskan kekecewaannya dengan menyerang Republik dari laut dan udara. Kaum buruh dan mahasiswa Australia melancarkan demonstrasi di negaranya pada kedutaan Belanda untuk menyampaikan protes. Dewan Keamanan PBB di New York kemudian membahas persoalan In-donesia di penghujung bulan Juli tahun yang sama.
Surat kabar Waspada pimpinan Mohammad Said terbit di Medan, diperdagangkan orang hingga Rantau Prapat. Semakin jauh selembar surat kabar dari tempat penerbitannya berada, akan sema-kin mahal harganya. Di Simangambat yang terletak di kecamatan Sipirok, koran Waspada yang sudah berusia tujuh hari ketika itu dihargai sekaleng beras. Banyak orang yang tidak peduli akan isi berita yang dimua dalam surat khabar, seperti keberhasilan Belanda menduduki berbagai wilayah Republik di Tapanuli atau tempat lain, akan tetapi bagi kebanyakan orang adanya berita saja seakan sudah mengikuti perkembangan dunia di tempat berdiam.
Ada pula khabar yang dibawa rombongan orang muda yang melaksanakan “Long March” dengan berjalan kaki dari Tanjung Karang (Lampung) menuju Kota Raja (Banda Aceh). Rom-bongan yang dipimpin Letnan I Kohar Chourmain saat itu tiba di Simangambat (Sipirok) tanggal 24 April 1946. Mereka menyampaikan khabar simpati dunia kepada perjuangan bangsa Indo-nesia melawan Belanda. Juga disampaikan berbagai kejadian penting di tanah-air yang menyita perhatian masyarakat ketika itu; disampaikan begitu saja ke tengah kerumunan orang banyak di lapangan kota atau halaman desa disinggahi sepanjang perjalanan Long March yang amat meletihkan itu.
Khabar kembalinya pemerintah Hndia Belanda di Sumatera Timur bernama NICA diketahui o-rang di Tapanuli dibawa orang berjalan kaki. Begitu juga tentang pemuda beragam organisasi yang berupaya menentangnya. Di fihak berseberangan ada pula kelompok anak-anak pribumi yang masih meragukan kemampuan anak bangsa untuk merdeka, apalagi harus berhadapan de-ngan Belanda yang telah menguasai nusantara selama berbilang abad. Terlebih mereka yang pernah bertugas di zaman Hindia Belanda silam dan masih setia, yang dikenal dengan “zaman normal” ketik aitu, antara lain: kaum pamong (Demang, Kuria, dan lainnya), para guru sekolah Melayoe, kaum ambtenar (pegawai) beragam pelayanan masyarakat di pulau-pulau: Jawa, Suma-tera, dan lain.
Begitu pula diatara segolongan terpelajar yang telah mengenyam pendidikan Barat mulai rendah hingga tinggi saat itu. Banyak yang mengetahui besarnya dukungan Belanda kepada Sekutu di Eropa dalam Perang Dunia ke-II silam, sebelum tanah jajahan Hindia Belanda di Asia Tenggara jatuh ke tangan Jepang. Mereka tampaknya masih tidak habis pikir bagaimana anak-anak negeri kebanyakan masih buta huruf karena belum bersekolah ini nanti akan dapat mengurus sebuah negara, lalu mempertahankannya dari serangan Belanda yang berpengalaman menjajah di nusan-tara didukung Sekutu bersenjata moderen pemenang Perang Dunia ke-II.
Anak-anak negeri berseberangan pandang terpolarisasi di Tapanuli, meski batas-batasnya tidak tampak jelas. Masing-masing kubu berusaha membangun kekuatan lalu mencoba merebut hati rakyat dari kota sampai ke desa, menimbulkan ketegangan sosial dalam masyarakat. Hal ini mempengaruhi kekerabatan yang sejauh ini diatur adat Batak. Gangguan kekerabatan juga mem-pengaruhi masyarakat memperoleh kebutuhan hidup sehari-hari, seperti: pangan, sandang, pa-pan, pekerjaan, keamanan, keadilan didepan hukum, dan masih banyak lagi lainnya. Desas-desus siapa yang membantu perjuangan NRI di Tapanuli; bisik-bisik siapa yang mendukung datangnya pemerintah Hindia Belanda yang baru tersebar dalam masyarakat dan menjadi rahasia umum. Ada pula desas-desus tentang siapa yang menjadi kakitangan NICA di daerah Republik; dan se-baliknya di daerah pendudukan, mengusik ketenteraman hidup rakyat ketika itu.
Tekanan militer Belanda yang didukung Sekutu dari luar di satu pihak ketika itu, dan perjuangan anak-anak negeri mendukung kemerdekaan dari dalam negeri di pihak lain, menyebabkan kehi-dupan rakyat di Tapanuli Selatan terhimpit beban politik. Tidak mudah orang menentukan pili-han pada ketika itu tidak terkecuali ibukota Tapanuli Selatan Padang Sidempuan. Memilih ikut pemerintah Hindia Belanda yang baru dijanjikan: pekerjaan, gaji menarik, pangan, sandang, pa-pan, dan lain sebagainya, atau memilih republik dengan dijanjikan hidup sejahtera setelah merdeka, namun harus hidup serba kekurangan sampai waktu yang masih belum dapat ditentu-kan; menyebabkan orang menentukan pilihan berangkat dari keyakinan sendiri, dan latar belakang hidup sebelumnya.
Dua kubu yang berseberangan kepentingan di Tapanuli Selatan saat itu, lalu menyusun kekuatan mulai tingkat daerah, lalu tingkat nasional, kemudian internasional, membuat suhu politik ketika meningkat itu dimana-mana. Belanda lalu memanfaatkan situasi dengan Politionele Actie (aksi polisionil) pertama bulan Juli tahun 1947, karena dari sudut pandangnya perlu diambil langkah untuk menertibkan kehidupan masyarakat di bekas tanah jajahan Hindia Belenda, agar NICA yang baru dibentuk dapat berjalan sebagaimana seharusnya. Akan tetapi anak-anak bangsa di fi-hak Republik yang berseberangan melihatnya dari sudut pandang sebaliknya, Belanda telah melakukan agresi militer terhadap NRI yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta; semakin menjlaskan sikap masing-masing kubu berseberangan dengan para simpatisan.
Mundurnya pasukan NRI dan berbagai lasykar ketika itu, selain terpukul oleh serangan serdadu-serdadu Belanda setelah yang akhir ini diperkuat dengan yang baru mendarat di pantai cermin kemudian menduduki Deli Serdang dan Simalungun; juga dalam mematuhi perintah PBB untuk melakukan gencatan senjata, dan menetapkan garis demarkasi di lapangan. Oleh lemahnya ko-ordinasi lapangan dan minimnya sarana komunikasi antar pasukan, mereka yang begerak mundur dan dipersenjatai menjadi amat berdekatan. Sebagai akibatnya muncul pertikaian diantara para pemanggul senjata memperebutkan supremasi, antara lain: territorial, harta, dan lainnya. Yang dikemukakan akhir ini menjadi alasan mengapa perang antar lasykar di Tapanuli Selatan tidak dapat dihindarkan ketika itu.
Selain oleh kurangnya koordinasi, komandan para lasykar yang bergerak mundur juga memperli-hatkan prilaku kurang terpuji, menyebabkan pertikaian yang timbul dalam wilayah operasi yang semakin menciut tidak berkesudahan. Sebagai akibatnya, di garis belakang banyak senjata digu-nakan menghadapi kawan seperjuangan, bahkan kerabat untuk kepeningan pribadi dan kelom-pok. Keadaan diperburuk lagi dengan keterlibatan sanak saudara pimpinan pasukan. Sikap tidak disiplin pemimpin-pemimpin pasukan di garis belakang, menjadi salah satu penyebab mengapa perang saudara di Tapanuli Selatan ketika itu tidak terelakkan, membuat perlawanan terhadap Belanda tidak menunjukkan kekompakan.
Sebagian Brigade A (bekas lasykar Brigade Naga Terbang pimpinan Mayor Timur Pane), yang terdesak mundur masuk ke Tapanuli Selatan lewat Asahan dan Labuhan Batu dan menetap di Gunung Tua. Brigade ini rupanya tidak mengabarkan kedatangannya pada Brigade B (Brigade Tapanuli) yang ketika itu bermarkas di Padang Sidempuan, dan menguasai daerah itu. Hal ini membuat kompi Brigade B pimpinan Letnan I Sutan Muda Harahap bermarkas di Gunung Tua terpaksa meninggalkan pos tempat bertugas, lalu melapor kepada pimpinan Batalyon di Padang Sidempuan: Kapten Koima Hasibuan. Di ibukota tanah Angkola itu pula bermarkas Brigade B pimpinan Mayor Bejo, dan salah satu resimennya dipimpin: Mayor Maraden Panggabean, sebu-ah batalyonnya dipimpin: Kapten Koima Hasibuan. Perbuatan Brigade A menimbulkan ketega-ngan militer di Angkola, dan perang saudara tidak dapat dihindarkan lalu berkecamuk di Sipirok tujuh hari lamanya. Banyak pasukan dari kedua belah fihak gugur, tertembaknya orang-orang tak bersalah, terbuangnya amunisi sia-sia, dan kerugian harta benda percuma yang amat disesalkan.
Agresi militer Belanda yang sama juga membuat pasukan Brigade A (bekas Harimau Liar pimpi-nan Jakub Siregar, Saragih Ras, dan Payung Bangun), mundur ke perbatasan Simalungun dan Karo. Karena mereka kurang disukai masyarakat setempat akibat politik divide et impera wari-san Hindia Belanda silam, maka oleh Mayjen Dr. Gindo Siregar selaku Gubernur Militer Daerah Tapanuli/Sumatera Timur, pasukan ini diizinkan pindah ke Sipirok. Padahal di kota ini Kapten Koima Hasibuan telah menempatkan satu kompinya yang dipimpin Letnan I August Marpaung. Kompi akhir ini, lebih disukai masyarakat Sipirok dalam pergaulan sehari-hari, ketimbang yang hijrah dari perbatasan Simalungun dan Karo, lalu menimbulkan perselisihan diantara para pe-manggul senjata. Para pendatang perbatasan Simalungun dan Karo rupanya kurang menghormati keluarga “si Pungka Huta” (Pendiri Kampung) di tempat berdiam yang amat dihargai di kala-ngan masyarakat Batak Angkola. Begitu juga adat setempat yang menghormati orang tua oleh yang muda, kurang mendapat perhatikan para pendatang bersenjata yang terpukul mundur.
Lalu mundur pula pasukan Naga Terbang pimpinan Habiaran Pane yang bergerak dari Tarutung dan Pahae untuk bergabung dengan induk pasukannya yang telah berada di Sipirok dan Padang Lawas. Berkat campur tangan Residen Tapanuli, Dr. Lumban Tobing ketika itu, perseteruan an-tar pasukan dapat dihindarkan. Dan dengan dinonaktifkannya Mayor Timur Pane, dan dibubarkannya Brigade Naga Terbang, lalu dilucuti persenjataan mereka oleh pasukan Kapten Koima Hasibuan, keamanan dan ketertiban di Tapanuli Selatan menjadi tanggungjawab Resimen Mayor Maraden Panggabean. Pada suatu hari, malam pertengahan tahun 1948, pasukan Mayor Malau bekas Brigade A yang pernah dibawah Mayor Bejo, melakukan serangan terhadap Batalyon VI dan menghalaunya meninggalkan Sipirok. Batalyon ini lalu mundur, dan melapor kepada induk pasukannya di Padang Sidempuan. Setelah beberapa hari Mayor Malau dan pasukannya mendu-duki Sipirok, Mayor Bejo bersama pasukannya datang dari Padang Sidempuan untuk membebas-kan kota itu. Setelah bertempur hampir seharian di tengah-tengah kota, pasukan Mayor Malau la-lu melarikan diri, dan meninggalkan kota dalam keadaan kacau balau.
Begitulah, pada suatu malam setelah berdiam di Sipirok empat bulan lamanya, pasukan Brigade A melangsungkan sebuah rapat rahasia untuk membuat makar di Padang Sidempuan. Rapat yang dihadiri pimpinan dan staf Brigade bermaksud menghancurkan Resimen Mayor Maraden Pang-gabean dan Batalyon Kapten Koima Hasibuan. Hasil pertemuan lalu dibocorkan seorang ibu ke-pada Wedana Sipirok. Menyadari malapetaka yang bakal ditimbulkan, sang pamong mengutus seorang kurir dalam jalur pemerintah untuk bertemu langsung dengan Mayjen Dr. Gindo Siregar (Gubernur Militer) dan Soetan Doli Siregar (Bupati Padang Sidempuan), agar berita segera men-dapat tanggapan kedua komandan. Laporan kurir tidak ditanggapi, karena dianggap tidak akan sampai hati melakukan makar.
Dua hari sesudah pertemuan rahasia di Sipirok berlangsung, pada tanggal 10 Februari 1948, pa-sukan Brigade A berangkat menembus keheningan malam menuju ibukota Angkola, dan men-jelang subuh mereka telah tiba di luar kota. Pada jam 05.00 , dengan diam mereka melancarkan seragan ke Batalyon Koima Hasibuan, dan karena pasukan tengah tidur lelap di tangsi militer, dengan sendirinya tidak dapat melakukan perlawanan. Kapten Koima Hasibuan sendiri tewas, dan anggota pasukan yang hidup lalu dilucuti. Begitu pula komandan Resimen Mayor Maraden Panggabean tidak dapat melakukan apa-apa, lalu ditawan Brigade A di Sipogu, kecamatan Sipi-rok. Kompi yang dipimpin Letnan I August Marpaung, anak buah Kapten Koima Hasibuan yang sedang bertugas di Sipirok, samasekali tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia pun kemudian ditawan pasukan Brigade A yang kembali dari Padang Sidempuan ke induk pasukan di Sipirok.
Dalam situasi menjelang agresi militer Belanda kedua, Gubernur Militer Mayjen Dr. Gindo Sire-gar yang mewakili pemerintah pusat dari Jakarta, mengeluarkan pegumuman yang mengatakan bahwa: Tapanuli Selatan kini berada dibawah Brigade A, dan seluruh anggota pasukan Resimen Mayor Maraden Panggabean termasuk Batalyon Kapten Koima Hasibuan dinonaktifkan. Kemu-dian wakil Presiden Drs. Muhammad Hatta, mengeluarkan surat keputusan melalui Panglima Sumatera Jenderal Soeharjo Hardjowardjo, memerintahkan semua tawanan Brigade A di Sipogu dipindah ke Bukit Tinggi. Dengan demikian telah terjadi pengambilalihan kekuasaan (coup d’etat) militer oleh Brigade A terhadap Brigade B di Tapanuli Selatan yang tidak dapat diperso-alkan lebih lanjut keabsahannya.
Diantara anggota pasukan Batalyon Koima Hasibuan yang gugur dalam makar di Padang Sidem-puan tulang Amir Samsi Harahap, kahanggi ibu dari Pargarutan Gunung Manaon, anak sulung Ompung Sutan Pamusuk. Ayah yang sedang berada di Padang Sidempuan ketika itu, lalu ber-sama ibu ambil bagian dalam menemukan kerabat yang tewas dalam kejadian berdarah tanggal 10 Februari 1948 di ibukota tanah Angkola, untuk diselesaikan menurut agama Islam dan adat Batak. Almarhum tulang lalu dimakamkan sebagaimana yang diinginkan kerabat yang tengah berduka ketika itu. Ompung Sutan Pamusuk sangat senang atas apa yang telah dilakukan ayah dan ibu terhadap mendiang putra sulungnya itu.
Kabinet Darurat
Agresi militer Belanda kedua timbul akibat perubahan sikap Amerika Serikat di PBB terhadap perjuangan rakyat Indonesia ketika itu. Awalnya negeri Paman Sam itu berpihak kepada Be-landa, dan belum bersedia mengakui kehadiran NRI yang dipimpin Presiden Sjafrudin Prawira-negara. Akan tetapi setelah mengetahui tindakan Wakil Presiden Dr. Mohammad Hatta, kala itu merangkap Perdana Menteri dalam Kabinet Darurat NRI (7 Desember 1948-13 Juli 1949), yang dengan tegas menolak pemberontakan PKI di Madiun, dan mengirim pasukan Siliwangi dari Jawa Barat dipimpin Kolonel Abdul Haris Nasution untuk menumpasnya dari tanggal 18 Septem-ber hingga 7 Desember 1948, menjadi yakin dan dengan cepat menukar haluan. Negara Paman Sam lalu meninggalkan Belanda dalam sidang PBB, beralih kepada perjuangan bangsa Indone-sia. Pemerintah Belanda yang kesal dan kecewa kepada Amerika Serikat ketika itu, lalu me-nyuruh Jenderal Spoor mengeluarkan perintah harian di Batavia tanggal 18 Desember 1948. Dan, pada keesokan harinya pasukan Belanda kembali bergerak menerobos garis perbatasan yang disepakati kedua pihak di Sumatera Timur.
Sekembali dari Sibolga, dua hari setelah agresi militer Belanda ke-II berjalan, ayah kembali mengajar, kini menjadi guru SMA Swasta di Padang Sidempuan, sekaligus menjabat di Sekre-tariat Front Republik Indonesia di kota itu. Ayah mengajar bersama para putra daerah yang me-ngungsi ke Padang Sidempuan dari perantauan karena datangnya Jepang, antara lain: Jawa, Sumatera Timur, dan tempat lain ketika itu. Semuanya berujuan mengisi waktu luang sekaligus menyiapkan generasi muda lewat pendidikan. Sekolah SMA itu terletak di Padang Balakka tidak jauh dari Tanah Lapang. Banyak anak-anak muda putus sekolah ketika itu yang menggunakan kesempatan melanjutkan pelajaran ke SMA Republik, termasuk anggota tentara pelajar yang se-dang tidak bertugas. Setelah kemerdekaan, banyak dari lulusan sekolah Padang Balakka itu yang melanjutkan pelajaran ke Jawa, memasuki berbagai perguruan tinggi, menekuni beragam bidang ilmu, antara lain: teknik, kedokteran, hukum, dan lainnya; mengantarkan mereka berkarir di berbagai bidang pemerintahan dan swasta.
Menjelang agresi militer Belanda kedua, pemerintah NRI di Jakarta lalu membebastugaskan Mayjen Dr. Gindo Siregar dan menggantikannya dengan Dr. F. Loemban Tobing, yang sekaligus merangkap Residen Tapanuli, untuk mengkonsolidasi kekuatan melawan Belanda. Dalam meng-hadapi agresi militer Belanda kedua yang akan menimbulkan banyak korban di daerah Republik, baik kota maupun desa, untuk selalu menghadirkan pemerintah NRI yang berdaulat, maka Tapanuli Selatan lalu dibagi menjadi tiga Kabupaten, masing-masing:
1. Kabupaten Padang Sidempuan, dengan ibukota: Padang Sidempuan,
terdiri dari kewedanaan Padang Sidempuan dan kewedanaan Sipirok.
2. Kabupaten Batang Gadis, dengan ibukota: Panyabungan,
terdiri dari seluruh Mandailing, Ulu, Pakantan dan Batang Natal.
3. Kabupaten Padang Lawas dan Barumun, dengan ibukota: Gunung Tua,
terdiri dari Padang Lawas dan Barumun.
Dengan demikian manakala sebuah Kabupaten jatuh ke tangan Belanda, maka Kabupaten lain yang belum jatuh akan dengan sendirinya menjadi pusat pemerintahan Republik di Tapanuli Se-latan.
Setelah mendapat gempuran bertubi-tubi dari laut, Sibolga akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 20 Desember 1948. Dengan kejatuhan ibukota Tapanuli itu, pemerintah NRI me-mutuskan melebur seluruh lasykar perjuangan yang ada di Tapanuli Selatan, dan menugaskan pasukan Republik pimpinan Mayor Bejo menahan serbuan serdadu Belanda yang datang dari arah Barat. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda telah sampai di jembatan Batang Toru, dan jembatan sepanjang hampir 100 meter itu telah terlebih dahulu diruntuhkan pasukan Republik pimpinan Kadiran supaya tidak dapat digunakan pasukan Belanda.
Guna menahan gerakan Belanda yang datang dari arah Barat, tentara NRI dan para lasykar di-perintahkan melakukan taktik bumi hangus. Dengan demikian, semua jembatan yang menuju ke ibukota Angkola harus diruntuhkan, pohon-pohon yang berdiri di sepanjang jalan-raya ditum-bangkan ke tengah jalan, jalan-raya yang rata dibuat berlubang-lubang dimana-mana agar ken-daraan militer Belanda tidak dapat melaluinya, bangunan dan gedung berdiri yang dapat digu-nakan Belanda sebagai markasnya dibakar atau diruntuhkan.
Seluruh langkah bumi hangus yang dilakukan pasukan Republik saat itu, hanya melambatkan ge-rakan serdadu-serdadu Belanda yang berpengalaman, lengkap dengan kendaraan dan persenja-taan, dan terlatih. Mereka selalu mengungguli pasukan Republik di beragam front di daerah Ta-panuli Selatan ketika itu. Maka pada tanggal 1 Januari 1949, serdadu-serdadu Belanda lalu ma-suk ke Padang Sidempuan dari Barat dan mendapati ibukota Angkola itu habis di bumi hangus dan ditinggalkan oleh warganya.
Pemerintah NRI Kabupaten Tapanuli Selatan pimpinan Bupati: Sutan Doli Siregar, Patih: Ayub Sulaiman Loebis, dan Wedana: Maraganti Siregar gelar Ompu Sahang, dan kepala persediaan makanan rakyat: Kalisati Siregar, telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok untuk melanjutkan perjalanan ke Panyabungan, ibukota Kabupaten Batang Gadis. Di Kecamatan Si-pirok, perlawanan terhadap Belanda selain dilakukan pasukan Republik pimpinan Mayor Bejo, juga oleh apa yang dinamakan AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Sahala Muda Pakp-han yang menjadi komandan dengan wakilnya Maskud Siregar. Adapun angkatan akhir ini baru saja dilantik Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok tanggal 3 Ja-nuari 1949. Banyak bekas para lasykar yang telah terpukul mundur dari Sumatera Timur dalam agresi militer Belanda pertama direkrut menjadi anggota AGS, antara lain: bekas pasukan Naga Terbang, bekas anak buah Kapten Koima Hasibuan, anggota kepolisian Sipirok; semuanya hanya dipersenjatai senapan locok ketika itu.
Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan Republik melancarkan serangan dari Sipirok kepada Belanda yang menduduki Padang Sidempuan, dan berhsil memasuk kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan serdadu-serdadu Belanda bukan imbangan bagi pasukan Republik. Yang akhir ini menyebabkan pasukan penyerang terpaksa mundur dan kembali ke Sipirok membawa mereka yang gugur dan luka-luka. Pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang serdadu-serdadu Belanda, dan pemerintah NRI di kota itu terpaksa mengungsi ke Arse, dan markas AGS lalu dipindahkan ke Bukit Maondang, 3 km dari Sipirok.
Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar, selaku Wakil Residen Tapanuli berkunjung ke Bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk melihat dari dekat pertahanan Republik di garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen dan Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan: “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa rakyat Indonesia lewat diplomasi telah berhasil di PBB. Juga tentang adanya penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlangsung di Den Haag.
Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar berangkat ke Angkola Jae guna melanjutkan perjalanan ke Mandailing. Keesokan harinya jalan yang sama dilalui juga oleh Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap, dan Maraganti Siregar untuk mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB di bidang diplomatik kepada masyarakat pedalaman. Mengetahui pemerintah NRI Tapanuli Selatan telah meninggalkan Sipirok, pada tanggal 17 Februari 1949 serdadu-serdadu Belanda meneruskan serangan ke Bunga Bondar, kampung yang selama ini menjadi salah satu lumbung intelektual di Tanah Batak.
Pada tahun 1847, seratus tahun silam, serdadu-serdadu Belanda datang ke Bunga Bondar untuk yang pertama kali, setelah berhasil masuk ke Tanah Batak lewat Rao (Mandailing) dalam Perang Paderi. Pada saat itu Belanda memperoleh perlawanan sengit dari Sutan Ulubalang yang menjadi Raja Pamusuk di Bunga Bondar, yang lalu digantikan adiknya Sutan Doli. Belanda memerlukan waktu 4 (empat) tahun lamanya berperang untuk mematahkan perlawanan Raja marga Siregar di sarangnya. Banyak para penentang Belanda dari kampung itu lalu dibuang meninggalkan Suma-tera ke pulau Jawa. Pada kedatangan Belanda yang kedua kali, kampung itu telah ditinggalkan warganya, khususnya para pemuda untuk pergi bergerilya, karena Belanda mengancam akan me-nembak mati setiap laki-laki yang ditemui.
Pada tanggal 8 Mei 1949, serdadu-serdadu Belanda demhan kendaraan lapis baja melanjutkan serangan ke Arse. Meski dalam setiap langkah agresi yang dilakukan serdadu-serdadu Belanda pasukan Republik memperlihatkan perlawanan, namun oleh timpangnya perimbangan kekuatan, seprti: persenjataan, latihan dan pengalaman perang, mengakibatkan strategi mundur sambil bertahan tidak dapat dielakkan, dan pemerintah NRI di Tapanuli Selatan lalu terpaksa mengungsi meninggalkan Arse.
Perjuangan bangsa Indonesia dalam perang kemerdekaan silam memang terdapat di dua front, masing-masing: front diplomatik di dunia internasional lewat PBB, dan front medan laga di tanah-air, dan yang disebut terakhir terlemah dari keduanya ketika itu. Dengan tewasnya pimpinan tertinggi KNIL Jenderal Spoor di Tapanuli Selatan, orang-orang Belanda di tanah-airnya tampaknya tidak menaruh banyak harapan lagi kepada kebijakan Politionele Actie yang diambil Belanda guna menegakkan pemerintah Hindia Belanda baru bernama NICA usai Perang Dunia ke-II di bekas tanah jajahan. Serangan serdadu-serdadu Belanda di Tapanuli Selatan terpaksa terhenti di Arse, karena dari Panyabungan telah datang khabar disampaikan utusan: Bupati Ba-tang Gadis Raja Junjungan Lubis, Gubernur Militer Tapanuli: Kolonel Kawilarang, dan Koman-dan Territorial VII: Ibrahim Adji yang mengatakan, bahwa perang melawan Belanda pada agresi militer (Politionele Actie) kedua telah dimenangkan NRI di front diplomatik.
Sebagai akibatnya serangan serdadu-serdadu Belanda terhadap wilayah-wilayah Republik di berbagai tempat di nusantara, termasuk Tapanuli Selatan, harus dihentikan. PBB memerintahkan pemerintah Belanda di Den Haag untuk mengembalikan semua wilayah Republik yang berhasil direbutnya pada agresi militer pertama dan kedua. Dan untuk Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli di Sumatera Utara, serah terima akan diawali dari Kewedanaan Sipirok di Tapanuli Selatan.
Pada tanggal 17 Desember 1948, Indonesia dan Belanda bersepakat menandatangani perjanjian Renville, lalu pada tanggal 23 Januari 1949 berlangsung konferensi 19 Negara Asia.di New Del-hi, India, yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 14 April 1949, U-NCI (United Nation Commission on Indonesia) yang menggantikan KTN (Komisi Tiga Negara) melakukan perundingan di Jakarta/Batavia, dipimpin Mr. Muhammad Rum dari Indonesia, dan Dr. van Royen dari Belanda, lalu persetujuan “Rum-Royen” disepakati pada tanggal 7 Mei 1949, yang mengantarkan Indonesia dan Belanda menuju ke “Ronde Tofel Conferentie” (RTC) atau Konferensi Meja Bundar (KMB). Menjelang dilangsungkannya KMB, dilakukan juga KAI (Konferensi Antar Indonesia) di Yogyakarta antara tanggal 19-22 Juli 1949 , disusul di Jakarta antara tanggal 31 Juli sampai 2 Agustus 1949.
KAI dihadiri oleh NRI juga diikuti sejumlah Negara-negara Bagian bentukan van Mook, dikenal dengan istilah BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), terdiri dari: Negara Indonesia Timur (NIT 1946), Negara Sumatera Timur (NST 1947), Negara Madura (NM 1948), Negara Pasundan (NP 1948), negara Sumatera Selatan (NSS 1948), dan Negara Jawa Timur (NJT 1948). Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung dari tanggal 23 Agustus hingga 2 September 1949 di Den Haag, Negeri Belanda. Adapun wakil delegasi NRI di KMB ialah: Drs. Mohammad Hatta, sedangkan wakil delegasi BFO: Sultan Hamid, dan wakil pemerintah Belanda: Maarseveen; se-mentara wakil-wakil PBB: Merle Cochran, Critchley dan Romanos.
Setelah penyerahan kedaulatan dilakukan Ratu Belanda, maka mulai bulan Agustus hingga No-pember tahun 1949 berlangsung pula serah terima bekas tanah jajahan Hindia Belanda dilapa-ngan, terkecuali Irian Barat. Dengan demikian berdirilah RIS (Republik Indonesia Serikat) yang berdaulat di bekas tanah jajahan Hindia Belanda sejak saat bersearah dengan Kepala Negara: Ir. Sukarno dan Perdana Menteri: Drs Mohammad Hatta. RIS adalah sebuah Negara Federasi yang beranggotakan NRI dan BFO, didirikan tanggal 2 Desember 1949, hasil kesepakatan tiga fihak dalam KMB di Den Haag, masing-masing: Negara Republik Indonesia (NRI), Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Kerajaan Belanda, yang disaksikan United Nation Commission for Indonesia.
Lalu pada tanggal 30 Nopember 1949, berlangsung serah terima Pemerintah Sipil Kewedanaan Sipirok dari pejabat Belanda: Kortoir selaku PBA (Plaatselijk Bestuurs Adviseur atau Penasehat Pemerintah Setempat) Belanda berkedudukan di Padang Sidempuan kepada: M. Diri Harahap se-laku Wedana NRI di Sipirok yang disambut gembira warganya. Di bidang keamanan PBA me-nyerahkannya pada Mayor Bedjo. Hadir pada serah terima pemerintahan dan keamanan itu wakil KTN (Komisi Tiga Negara). Puluhan ribu rakyat membanjiri halaman balai kota Sipirok menjadi saksi dan bersorak gembira. Kortoir tidak lupa mengucapkan: “Hidup Republik Indonesia”, usai penandatanganan dokumen yang bersejarah itu.
Ketika ayah dan ibu masih berdiam di rumah Ompung Maimunah jalan Lubuk Raya no.2, Tanah Lapang, Padang Sidempuan, putri ibu kedua terjangkit longonsteiking (radang paru-paru). Ketika itu masih belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit putri ibu kedua, sehingga jiwanya tidak dapat tertolong. Sejak saat itu, putri ayah ketiga beralih menjadi kedua. Dan di Padang Sidempuan lahir pula anak ayah keempat, putri, si Taing, tanggal 27 Juli 1947, dan diberi nama si Fatmasari.
Di Padang Sidempuan ayah, sekeluarga pernah tinggal di Aek Tampang serumah dengan Abdul Rachman Nasution, anak paman ayah dari Muara Botung. Dan dirumah itu lahir anak paman itu tanggal 1 Juni 1948, putri, dan diberi nama si Pulianna. Di Aek Tampang ayah juga bersebe-lahan rumah dengan keluarga Efendi Siregar dari Huraba, Batang Toru. Setelah kemerdekaan, keluarga akhir ini lalu pindah ke Jawa dan tinggal di jalan Martapura no.10 Menteng, Jakarta. Di ibukota Angkola ini lahir lagi anak ayah tanggal 18 Juni 1949, kelima, putri, setelah keluarga kembali tinggal di rumah Ompung Maimunah di Tanah Lapang, dan diberi nama si Penta Riris. (Penta, artinya lima bahasa Yunani, dan Riris ialah sesusun dalam bahasa Batak; jadilah ia sesusun kelima).
Perjuangan bangsa Indonesia saat itu memang menyengsarakan kehidupan rakyat dari kota hingga desa. Blokade yang dilancarkan Belanda terhadap NRI bertahun lamanya telah menghen-tikan eksport hasil bumi, begitu pula import barang kebutuhan hidup di Tapanuli dari luar negeri, membuat anak-anak bangsa tertinggal mengikuti perkembangan dunia di luar tanah tumpah da-rahnya. Besar kemungkinan terpuruknya kehidupan bangsa ketika itu telah mengantarkan anak-anak terlambat mengikuti pengalaman baru yang lebih maju. Karena dua orang putri ayah telah masuk usia sekolah, maka yang sulung disekolahkan ibu di SR (Sekolah Rakyat) Tanah Lapang, sedangkan adiknya mengikuti TK (Taman Kanak-kanak) Kebon Kelapa, di Padang Sidempuan.
Terhitung tanggal 29 Nopember 1949, ayah diangkat menjadi pejabat sipil Kantor Gubernur Militer Keresidenan Sumatera Timur/Keresidenan Tapanuli berkedudukan di Padang Sidempuan. Kantor yang awalnya dipimpin Mayor Jenderal Tituler Dr. Gindo Siregar itu, kemudian dipimpin Dr. F. Lumban Tobing merangkap Residen Tapanuli berkedudukan di Sibolga. Ayah lalu ditunjuk menjadi pejabat sipil pelaksana timbang terima Kehutanan Sumatera Timur/Kere-sidenan Tapanuli dari pemerintah Belanda ke pemerintah Republik Indonesia Serikat.
Kabinet Hatta
Meski anak-anak negeri gagal menaklukkan Belanda di medan laga, akan tetapi karena besarnya perhatian dan simpati dunia kepada perjuangan Bangsa Indonesia, antara lain dari: Amerika Serikat, Inggris, India, dan lainnya, membuat NRI berhasil menang dibidang diplomatik, lalu mengantarkan bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan. Dan, tanah jajahan Hindia Belanda Timur hasil kerja keras Jenderal van Heutz dengan serdadu-serdadunya silam, sejak proklamasi 17 Agustus 1945, benar-benar beralih menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui dunia Internasional di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kendati Uni-Sovyet (kini negara Rusia) ketika itu bersuara abstain dalam pemungutan suara di PBB pada tanggal 28 Januari 1949, akibat kegagalan pemberontakan PKI yang dilancarkan tang-gal 18 September 1948 di Madiun, akan tetapi sebahagian besar suara dalam sidang Dewan Kea-manan ketika itu memutuskan Belanda harus menyerahkan tanah jajahan Hindia Belanda kepada RIS, terkecuali Irian Barat.
Kemenangan diplomatik Indonesia di PBB tidak diragukan lagi juga akibat perlawanan bersen-jata yang ditunjukkan rakyat Indonesia dengan: tentara, para lasykar, organisasi perjuangan, dan lain sebagainya di medan laga dengan pengorbanan jiwa, raga, dan harta tidak sedikit jumlahnya, melahirkan Konferensi Meja Bundar (KMB) di ibukota negeri Belanda: Den Haag. Dalam RTC ditetapkan juga bahwa RIS harus memikul beban hutang pemerintah Hindia Belanda yang jumlahnya 6,1 Milyar Gulden, terdiri dari 3 Milyar hutang dalam negeri dan 3,1 Milyar hutang luar negeri. Pemerintah Belanda hanya bersedia menanggung 500 juta Gulden, menyebabkan yang lain harus dibayar pemerintah RIS.
Pada tanggal 30 Desember 1949 Ratu Yuliana, selaku wakil pemerintah kerajaan Belanda, menyerahkan kedaulatan bekas tanah Hindia Belanda kepada RIS (Republik Indonesia Serikat), dan diterima Drs. Mohammad Hatta, tidak termasuk Irian Barat (Papua). Langkah berikutnya pe-merintah kerajaan Belanda melaksanakan timbang terima oleh para wakil kerajaan Belanda ke-pada para wakil pemerintah RIS berbagai jabatan di bekas tanah jajahan Hindia Belanda dari pejabat Belanda ke para pejabat NRI. Menurut Anak Agung Gede Agung, dipilihnya RIS bentuk negara untuk menggantikan sifat sentralistis pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat kental saat itu, menimbulkan banyak ketegangan dalam pelaksanaan, agar berbagai kesalahan yang muncul di waktu silam tidak lagi terterulang setelah Indonesia merdeka.
Negara Republik Indonesia Serikat hasil kesepakatan Indonesia-Belanda di Den Haag, dipimpin Perdana Menteri Drs Mohammad Hatta. Kemudian Ir. Sukarno kembali ke Jakarta dari penga-singan-nya di Yogyakarta untuk menjabat Presiden RIS. Adapun program kerja Kabinet RIS pada saat itu ialah:
1. Peralihan kekuasaan oleh para pejabat Belanda ke para pejabat RIS di lapangan.
2. Melaksanakan ketenteraman umum, hak azazi manusia, demokrasi, dan kemerdekaan.
3. Pemilihan anggota konstituante.
4. Perbaikan ekonomi, keuangan, perhubungan, perumahan, kesehatan, dan kemakmuran.
5. Meningkatkan pendidikan tinggi dan pemberantasan buta huruf.
6. Menyelesaikan persengketaan Irian Barat.
7. Melaksanakan politik luar negeri, perdamaian dunia, dan kawasan Asia Tenggara.
Australia kemudian mengakui kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949.
Bersamaan lahirnya RIS, Pejabat Presiden Mr. Assaat Datuk Mudo yang masih memerintah NRI bersama Perdana Menteri Dr. Halim, menyebabkan bekas tanah Hindia Belanda dipimpin oleh dua buah Kabinet dengan dua orang Presiden dan dua orang Perdana Menteri. Tidak lama setelah serahterima kedaulatan di Den Haag berlangsung, lalu muncul berbagai pemberontakan yang menentang NRI dan lahirnya RIS di tanah-air.
Pada awal bulan Agustus 1949 timbul pemberontakan DI (Darul Islam) di Jawa Barat yang di-impin Sekar Maji Kartosuwiryo, yang kemudian berubah menjadi DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), lalu menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, serta A-ceh. Pemberontakan berjalan 13 tahun lamanya itu berasal dari sebuah tempat kecil tidak jauh dari Tasikmalaya, bermaksud untuk mendirikan Negara Islam di tanah-air.
Di Jawa Barat muncul pula pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin Kapten Raymond Pierre Westerling menolak berdirinya RIS lewat KMB di Den Haag. Wes-terling gagal sampai ke Jakarta tanggal 22 Januari 1950 silam, akan tetapi berhasil masuk ke Bandung pada keesokan harinya.
Pada tanggal 5 April 1950 timbul pemberontakan Andi Azis di Makassar. Lalau pada tanggal 25 April 1950 timbul pula pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) pimpinan Dr. Soumokil di Ambon dan juga menolak berdirinya RIS lewat KMB di Den Haag.
Di Kudus muncul pemberontakan Batalyon 426 meski dapat cepat ditumpas. Akan tetapi sebagian darinya berhasil melarikan diri ke Jawa Barat untuk bergabung dengan DI/TII. Adapun gangguan keamanan yang ditimbulkan meluas sampai ke Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian Barat.
Pada bulan Agustus 1951 Letkol Abdulkahar Muzakar merasa tidak puas dengan imbalan yang diterima, lalu memimpin pemberontakan pasukan di Sulawesi Selatan. Tahun berikutnya ia lalu bergabung dengan Darul Islam di Jawa Barat yang dipimpin S.M. Kartosuwiryo.
Di Kalimantan muncul pula pemberontakan gerombolan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar.
Pada tanggal 20 September 1953, saat PON ke III sedang berlangsung di kota Medan, muncul pemberonakan di Aceh. Awalnya Persatuan Ulama Seluruh Aceh, disingkat PUSA, pimpinan Daud Beureueh langsung berfihak kepada Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, karena ia merasa terlibat dalam usaha besar anak bangsa yang gemilang, lalu menyumbang kepada negara yang baru berdiri, antara lain maskapai “Indonesian Airways” memanfaatkan pesawat Dakota buatan Amerika Serikat. Perusahaan penerbangan Indonesian pertama ini saat itu beroperasi di Birma (Myanmar) guna mencari valuta asing yang diperlukan perjuangan melawan agresi militer Belanda. Akan tetapi Presiden Sukarno mengingkari janji yang sangat mengecewakan PUSA, karena Aceh tidak mendapat status propinsi berikut keistime-waan baginya, akan tetapi dimasukkan begitu saja kedalam Propinsi Sumatera Utara. Pemberon-takan mengakibatkan hubungan militer Aceh dengan Sumatera Utara lalu memburuk, dan meng-ganggu keamanan rehabilitasi ladang-ladang minyak Langkat dan Pangkalan Brandan saat itu. Pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat kemudian melebarkan kegiatan hingga merambah masuki tanah rencong.
Baru pada tahun 1962 beragam pemberontakan dapat diberantas dengan operasi militer mene-rapkan pagar betis guna menangkap para pemimpin masing-masing, mengadili dan menghukum mereka yang bersalah. Ternyata tidak semua pemberontakan dapat diselesaikan lewat operasi mi-liter, karena pemberontakan Daud Beureueh di Aceh ternyata diselesaikan dengan perundingan.
RIS tanpa Irian Barat yang baru berdiri ternyata tidak bertahan lama. Dalam waktu empat bulan, satu persatu negara-negara bagian BFO, ketika itu NRI masih dikepung Belanda, berguguran sa-tu persatu dan menyisakan Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah berlangsung perundingan berlarut-larut antara berbagai negara bagian tergabung kedalam RIS dan NRI, akhirnya Mosi Integral Mohammad Natsir diterima juga. Pada tanggal 16 Agustus 1950, RIS yang baru berusia antara: 20 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, masih mempu-nyai ketergantungan pada Belanda oleh Presiden Sukarno dibubarkan, dan mengatakan Indone-sia menjadi NKRI (Negara kesatuan Republik Indonesia) yang sentralistis, sebagaimana dalam zaman pemerintahan Hindia Belanda yang kolonial silam, berlandaskan UUDS (Undang Undang Dasar Sementara) tahun 1950, dan dibawah pemerintah sistim Demokrasi Parlementer.
Zaman Demokrasi Parlementer
Tanjung Pinang
Usaha Belanda untuk menegakkan kembali pemerintah Hindia Belanda baru bernama NICA pas-ca Perang Dunia ke-II ternyata menemui kegagalan, karena Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat, pada tahun 1949 memutuskan agar negeri Kincir Angin itu menyerahkan kedaulatan bekas tanah jajahan Hindia Belanda kepada RIS; maka anak-anak pribumi berhasil memerdekakan tanah tumpah darah dari penjajahan bangsa Belanda.
Tidak lama setelah penyerahan kedaulatan, maka terhitung tanggal 1 Januari 1950, ayah diangkat menjadi Kepala Kehutanan Keresidenan Tapanuli berkedudukan di Sibolga, lalu menjadi pelaksana serah terima Kehutanan NRI dari pemerintah Hindia Belanda, lalu menjadi Kepala Kehutanan NRI berpusat di Tanjung Pinang, kepulauan Riau. Ayah, ibu dan anak-anak berangkat me-ninggalkan Padang Sidempuan untuk pindah ke Tanjung Pinang, ibukota kepulauan Riau yang kemudian disingkat Kepri.
Perjalanan ayah sekeluarga menuju tempat bertugas dari Padang Sidempuan ditempuh lewat jalan darat sampai Pekanbaru, kemudian dilanjutkan naik kapal sungai menelusuri sungai Siak sampai ke muara. Dari muara sungai Siak ayah sekeluarga dijemput kapal kehutanan untuk dian-tarkan ke Tanjung Pinang yang terdapat di pulau Bintan dalam gugusan Kepri. Di tempat tinggal yang baru, keluarga menemukan lingkungan hidup baru pula, dari yang serba darat berubah menjadi seluruhnya air. Di kepulauan Riau orang bepergian dengan kendaraan air, karena airlah yang menjadi jalan-raya yang menghubungkan berbagai tempat di kawasan itu, sekaligus men-jadi uratnadi perhubungan di Kepri.
Pada saat itu pejabat kehutanan Kepri mendapat dua kapal motor dinas, masing-masing: Sem-pinur dan Mentangar bertanda lambung BO58, untuk angkutan di kepulauan itu. Kedua kapal mengantarkan petugas kehutanan meninjau keadaan hutan dalam lingkungan Kepri. Ayah kerap dalam dinas mengunjungi pulau-pulau di kawasan Kepri dan menemukan hutan alam dari gugusan kepulauan tersebut. Pada hari libur ayah mengizinkan anak-anak berkunjung ke sejumlah pulau berdekatan, seperti: pulau Bintan, pulau Penyengat, pulau Terkulai, pantai Pasir Putih.
Rumah dinas Kepala Kehutanan Kepri ketika itu terletak di jalan Hang Tuah, Tanjung Pinang. Di jalan itu terdapat lima rumah dinas sebaris, masing-masing ditempati: Bupati, Kepala Kehutanan, yah Bandar, Kepala Polisi, dan Kantor Kehutanan. Kelima bangunan langsung menghadap selat Riau, dan hanya dipisahkan oleh jalan Hang Tuah dari pantai dihadapan kelima bangunan. Meski perumahan dinas terpencil dari pemukiman kebanyakan warga di Tanjung Pinang ketika itu, akan tetapi terasa nyaman berdiam disana karena letaknya yang tidak terlalu jauh.
Kendati perumahan dinas di Tanjung Pinang dibuat seragam, akan tetapi terdapat juga keunikan bagunannya. Selain bangunan induk dengan beberapa kamar terletak didepan, masih ada lagi se-jumlah bilik jauh di belakang. Sebuah lorong panjang dibuat menghubungkan kedua bagian ba-ngunan pemukiman itu. Tiga kamar belakang digunakan ibu untuk: dapur, kamar mandi, dan gu-dang. Kamar lainnya diberikan ayah kepada kerabat dan kenalan yang saat itu membutuhkan tempat tinggal di Tanjung Pinang.
Masyarakat di Tanjung Pinang umumnya Kepri berbeda dari mereka yang berdiam di Riau daratan. Kebanyakan warga di Kepri adalah keturunan Tionghoa yang telah tinggal disana ber-bilang generasi. Selain dari itu hampir semuanya pemakai berdialek Kanton, salah satu rumpun bahasa Cina. Orang-orang Tionghoa yang berdiam di Tanjung Pinang merayakan hari Tai Pei Kong. Aneka sesaji dan persembahan pada para dewa dapat ditemukan dalam kelenteng-kelenteng pada hari perayaan keagamaan. Ada pula kebiasaan masyarakat Tanjung Pinang ketika itu untuk menempatkan pangan saji di bawah pohon rindang pada hari tertentu setiap tahun.
Pedagang Tionghoa disapa apek (paman), kerap mendatangi perumahan menawarkan beragam kebutuhan hidup sehari-hari yang dapat dilunasi pada akhir bulan. Juga amoy-amoy (gadis Tionghoa) dari pemukiman Pelantar Goyang datang menawarkan jasa, seperti: pembantu rumah, mencuci pakaian, menyeterika, dan lainnya; dikerjakan dengan amat bersungguh-sungguh. Kehi-dupan masyarakat Tionghoa di Tanjung Pinang ketika itu bersahaja, dan tempat tinggal mereka juga sederhana sekali.
Dengan tidak disangka-sangka, pada tanggal 19 Maret 1950 terjadi sanering (penyehatan) mata uang Rupiah pertama setelah Indonesia merdeka. Pemerintah RIS ketika itu melakukan pengguntingan mata uang Rupiah yang sedang beredar. Setiap uang kertas pecahan Rp.5,- keatas, dipotong dengan gunting menjadi dua bagian. Bagian kiri mata uang dapat dibelanjakan dengan jumlah 50% dari angka tertulis, adapun bagian kanan tidak dapat dibelanjakan, akan tetapi harus dikembalikan kepada pemerintah lewat Bank, menjadi pinjaman obligasi (wajib) negara kepada rakyat yang akan dikembalikan kelak.
Langkah moneter drastis yang diambil pemerintah ini dinamakan orang “gunting Sjafruddin”, karena diperintahkan Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat Menteri Keuangan Kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri Drs. Mohammad Hatta. Devaluasi Rupiah pertama ini langsung menggelisahkan rakyat, karena kualitas hidup mereka jadi merosot, terutama mereka yang berpenghasilan tetap, karena pendapatan para pekerja yang menghidupi keluarga tinggal separoh dari pendapatan sebelumnya.
Selama berdiam di Tanjung Pinang, ayah sekeluarga menggunakan libur tahunan melawat ke semenanjung Tanah Malaya, kini Malaysia, untuk berjumpa uak Abdul Rani Nasution. Uak ini adalah saudara kandung diatas ayah, sejak zaman Hindia Belanda telah merantau ke Tanah Me-layu. Awalnya uak merntau untuk mengikuti pendidikan di English School di Ipoh. Ia kemudian melanjutkan pelajaran ke Junior Cambridge School di Perak. Usai pendidikan, uak bekerja pada Custom Excise Office (Kantor Pabean) di Grik. Lalu pindah ke Parit Buntar, dari sana ke Bagan Serai, dan terakhir di Butterworth, di negara bagian Pulau Pinang. Setelah pensiun, uak kembali ke Perak dan menetap di Pusing, tidak jauh dari Ipoh, dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Sejak merantau ke Malaya, uak tidak pernah pulang menjenguk kampung halaman di Muara Botung, Mandailing. Anak-anak uak kini seluruhnya menjadi Warga Negara Malaysia (WNM), dan mereka telah berkali-kali pulang ke kampung halaman di Muara Botung, untuk mewakili orang tua mereka. Mereka juga melaksanakan kunjungan silaturrahmi kepada ayah dan ibu di Bogor, dan kaum kerabat yang tinggal di Jakarta.
Pada kesempatan berkunjung ke negeri jiran lain, ayah sekeluarga berkunjung pula ke Mak Lung (Mak Sulung) Fatimah, kakak ompung Maimunah dari Sialagundi. Maklung berdiam di Singa-pura, ketika itu kota ini masih bagian dari tanah jajahan Inggris di semenanjung tanah Melayu. Kini, seluruh keturunanya telah menjadi Warga Negara Singapura (WNS). Mereka kerap meng-gunakan kesempatan berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan ayah dan ibu di Bogor, dan kerabat lain di Jakarta.
Dengan kepindahan ayah ke Tanjung Pinang, putri sulung ayah meneruskan pelajaran ke Sekolah Rakyat di jalan Bukit ibukota Kepri dan duduk di kelas II, sedangkan adiknya mulai masuk TK. Selama sekeluarga berdiam di Tanjung Pinang, datang bergabung dari kampung tulang Gulbachri (biasa disapa tulang Uncok) dari Padang Sidempuan untuk melanjutkan pe-lajaran ke SMP. Juga datang melanjutkan pelajaran ke SMP di Tanjung Pinang abang Lukman, anak Uak Sutan Batara Parlaungan dari Muara Botung.
Pada tahun 1951 tulang Soritaon Harahap menikah dengan Roslina Lubis. Ayah sebagai anakboru marga Harahap dari Pargarutan Gunung Manaon berangkat dari Tanjung Pinang me-nuju Padang Sidempuan untuk menhadiri. Boru Kuria Tambangan yang rupawan dari Mandai-ling rupanya pantas mendampingi tulang Soritaon sebagai nantulang. Di Tanjung Pinang, di ibukota Kabupaten Kepri ini, lahir anak ibu keenam, putri, tanggal 2 Mei 1951, si Adek, dan di-namakan si Nurhayati.
Bogor Pertama
Kurang lebih dua tahun lamanya ayah bertugas di Tanjung Pinang, maka pada tahun 1952 turun surat tugas yang menugaskan ayah mengikuti Akademi Kehutanan di Bogor. Tugas belajar kedinasan berlangsung antara tahun 1952 hingga 1954. Selama mengikuti pendidikan di Akademi Kehutanan, ayah mendapat rumah dinas di Bosbouw Complex (Komplek Kehutanan), di jalan Pasir Kuda, Gunung Batu, Bogor. Adapun para peserta angkatan pertama Akademi Kehutanan Bogor bersama ayah ketika itu, ialah:
1. Partomoean Rakoen Lubis 19. Ko Giok In
2. Ardiwinata 20. Somadikarta
3. 21. Ardikoesoema
4. 22. Djoeber
5. Poespowardojo 23. Soedarsono
6. Nizar Kamil 24. Salim
7. Herinomo 25. Soemitro
8. 26. Jap Kong Djoen
9. 27. Mardikoen Tardan
10. Soetomo 28. Soejono
11. Soetopo 29. Soedarmo
12. Goeltom 30. Goenari
13. Karsoedjono 31. Banjaran Sari
14. Soekiman 32. Kadaroesman
15. Priono 33. Harjono
16. David Manoepoeti 34. Walman Sinaga
17. Hasan Basjaroedin Nasoetion 35. Anda Gandahidajat
18. Moehamad Wijs 36. Bonjol Siregar
Selaim para mahasiswa Akademi Kehutanan Bogor angkatan perama, di Bosbouw Complex juga berdiam ktika itu pengurus asrama SKMA dijabat ibunda Ny. Fadil, dan Bapak Abdul Rachman yang menjadi kepala SKMA.
Pada tahun kepindahan ayah mengkuti Akademi Kehutanan di Bogor, timbul peristiwa 17 Ok-tober 1952 di Jakarta, dan para demonstran ketika itu menuntut Presiden Soekarno membubarkan Parlemen. Berawal dari rencana mengirim Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution belajar ke luar negeri, seorang perwira PETA (Pembela Tanah Air) yang dekat dengan Istana mengirim surat kepada Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan, tentang ketidak perca-yaan kepada Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), khususnya Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ketika itu. Perwira itu kemudian diberhentikan, karena telah melangkahi hierarki ten-tara. Merasa tidak puas, ia melapor ke Parlemen, atau Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), dan pertikaian politik antara Angkatan Perang dan Parlemen pun berlangsung.
Lalu tanggal 17 Oktober 1952 Letkol Kemal Idris mengarahkan empat meriam Howitzer ke-depan Istana di jalan Merdeka Utara, dan sejumlah tank ke gedung Parlemen di Pejambon, Jakarta Pusat. Ribuan preman dan jagoan dari: Pulogadung, Pasar Minggu, Kebayoran-Ciputat, Cileduk-Tangerang, dan Tanjung Priok diangkut kendaraan militer diterjunkan di Stadion Ikada dan Lapangan Banteng. Mereka lalu menyerbu gedung Parlemen di seberang Lapangan Banteng, menjungkirbalikkan kursi-kursi, memecahkan jendela kaca, dan menuntut dibubarkannya Parle-men. Kobra (Komando Organisasi Barisan Rakyat) pimpinan Kol. Dr. Mustopo yang tersohor saat itu juga turut ambil bagian mengepung ibukota.
Peristiwa ini agaknya juga dilatarbelakangi upaya Kabinet yang didukung Parlemen melaksana-kan demobilisasi milier setelah kemerdekaan. Para pejuang yang merasa ikut mempertahankan negara dengan jiwa dan raga terancam disingkirkan. Dilibatkannya penasehat militer Belanda un-tuk membentuk pasukan yang kecil tetapi profesional tidak disukai oleh mantan para lasykar menimbulkan keretakan dalam tubuh militer. Masuknya anasir kiri dalam angkatan bersenjata ketika itu turut memicu kecemasan kalangan militer yang tidak menginginkannya.
Sepekan setelah perdebatan di Parlemen, di Teritorium V/Brawijaya berlangsung pengambilali-han pimpinan dari kelompok anti-peristiwa 17 Oktober terhadap kelompok pro-peristiwa 17 Ok-tober di Jakarta. Begitu pula di Teritorium VII Sulawesi Selatan, dan Teritorium II Sumatera Se-latan. Perpecahan berlanjut antara kubu yang kontra dengan kubu yang pro dalam tubuh Angka-tan Perang. Kudeta tanggal 3 Desember 1952 yang gagal menyebabkan Perdana Menteri Ali Sas-troamidjojo untuk kedua memberhentikan KSAD Kolonel A.H. Nasution dan menggantikannya dengan Bambang Sugeng. Dan, tanggal 13 Maret 1957 malam, Perdana Menteri Ali Sastroa-midjojo dan wakilnya Idhan Chalid lalu mengundurkan diri, dan mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno.
Keamanan di dalam negeri memburuk dengan munculnya pemberontakan di daerah-daerah, me-maksa Presiden Sukarno dan Perdana Mentari demisioner Ali Sastroamidjojo untuk kedua me-ngeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 14 Maret 1957, lalu mengumumkan SOB (Staat van Oorlog en Beleg atau Keadaan Darurat Perang) di seluruh Indonesia. Dengan diberla-kukannya SOB, Sistim Demokrasi Parlementer yang liberal lalu disingkirkan, dan digantikan de-ngan Sistim Demokrasi Terpimpin yang menjadi keinginan pemerintah. Sejak dari saat itu Ang-katan Perang, khususnya Angkatan Darat menjadi sangat berkuasa di seluruh nusantara.
Dengan kepindahan ayah dari Tanjung Pinang ke Bogor, anak-anak harus meneruskan sekolah mereka. Anak sulung diterima belajar di Regina Pacis, sebuah Perguruan Katolik yang terletak di jalan Ir. Haji Djuanda tidak jauh dari Kebun Raya, dan duduk di kelas IV SR, sedangkan adiknya dierima duduk di kelas I perguruan yang sama. Karena para mahasiswa Akademi Kehutanan semuanya tinggal di Bosbouw Complex, maka anak-anak mereka dapat berangkat ke sekolah de-ngan berjalan kaki bersama dari tempat kediaman di Gunung Batu, begitu juga saat kembali pulang ke rumah masing-masing.
Perguruan Katolik saat itu masih memisahkan anak perempuan dari anak laki-laki. Anak-anak perempuan bersekolah di perguruan Regina Pacis, sedangkan anak laki-laki belajar di perguruan Santo Yosef di komplek Bruderan di jalan Kapten Muslihat. Anak-anak ayah ketiga dan keempat masih bersekolah di TK Kutilang dalam Bosbouw Complex. Turut pindah ke Bogor, abang Lukman yang melanjutkan ke SMP Santo Yosef perguruan Katolik Bogor.
Kurang lebih satu setengah tahun setelah ayah pindah ke Bogor, hasil pemeriksaan Klinik dokter Hans tidak jauh dari Kebon Raya, menemukan ibu menderia flek di paru-paru. Karena itu ibu harus menjalani perawatan enam bulan tinggal di rumah sakit. Satu-satunya rumah sakit yang dapat dirujuk untuk memulihkan kesehatan ibu saat itu ialah CBZ (Central Batavia Ziekenhuis) Jakarta, kini bernama RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Menjelang ibu masuk rumah sakit, namboru Huta Padang iboto ayah dari Muara Botung perlu didatangkan ke Bogor untuk mengurus anak-anak yang masih kecil di rumah. Karena perawatan ibu memerlukan waktu yang panjang, guna memudahkan pengurusan diputuskan membiarkan anak-anak yang bersekolah te-tap bersama ayah di Bogor, sedangkan tiga orang yang belum bersekolah dikirim dahulu ke Me-dan untuk tinggal dengan bujing di kota itu.
Adapun bujing ini ialah adik kandung ibu bernama Chadidjah Harahap, ketika itu menjadi guru SMP di kota tanah Deli itu. Ia mendiami rumah tulang Soritaon Harahap yang terletak di jalan jalan Iskandarmuda (Sungai Ular) no.91 di ibukota Sumatera Utara saat itu. Ompung Sidimpuan (Ompung Maimunah) kerap berkunjung ke Medan dari Padang Sidempuan untuk bertemu bujing dan cucu-cucunya yang tengah berdiam di rumah tulang Soritaon Harahap di kota Medan ketika itu.
Pematang Siantar
Setelah menyelesaikan Akademi Kehutanan di Bogor, ayah tidak lagi kembali ke Tanjung Pi-nang, akan tetapi terhitung tanggal 1 September 1954 dipindahkan ke Pematang Siantar menjadi Kepala Brigade Planologi Kehutanan di ibukota Kabupaten Simalungun. Hingga dengan saat ayah menyelesaikan Akademi Kehutanan di Bogor, kesehatan ibu belum kembali pulih sepe-nuhnya, dan masih harus menjalani masa perawatan lebih lanjut. Karena itu, ibu masih belum di-perkenankan bergabung dengan keluarga di Pematang Siantar, lalu melanjutkan sisa masa pemu-lihan kesehatan di Rumah Sakit Perkebunan Tanjung Morawa tiga bulan berikutnya.
Saat ayah sekeluarga dipindahkan ke Pematang Siantar dari Bogor, bou Mariam sekeluarga telah berada di Medan. Rupanya namboru ini menikah dengan Oom Soepardi dari Kutoardjo yang saat itu bekerja di kantor pos Semarang. Dari sana mereka pindah ke Makassar kemudian Medan. Di kota besar tanah Deli itu mereka tinggal di jalan Cokroaminoto no… , dan itulah sebabnya mengapa namboru ini mendapat nama: “bou Cokro”. Dalam masyarakat Batak, baik yang berdiam di Bona Bulu maupun yang berada di perantauan, penyebutan nama kecil orang yang sudah tua, atau lebih dahulu generasinya dari si pembicara, dipantangkan orang. Sebagai gantinya digu-nakan nama jalan tempatnya berdiam, untuk menghormatinya.
Adapun anak-anak Bou Mariam dengan Om Soepardi ini ialah: Santoso (si Tos) dan Miriam (si Mieke).
Selama berdiam di Pematang Siantar, ayah dan ibu mendapat banyak kesempatan pulang ke Muara Botung untuk bertemu Ompung Haji Abdul Gani, gelar Raja Mulia, dan bersilaturrahmi dengan kaum kerabat lain di kampung. Pada tahun 1955, ayah dan ibu, serta anak-anak merayakan Idul Fitri, 1 Syawal 1376 H, di Muara Botung. Lalu tahun 1957, ayah sekeluarga kembali merayakan Hari Raya 1 Syawal 1378 H di Muara Botung. Dari Medan turut bergabung uda Pa-nusunan dengan keluarganya meramaikan Hari Raya Idul Fitri di Muara Botung bersama Om-pung Raja Mulia.
Sejak pertengahan dasawarsa 1950, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan sekutunya menjadi renggang. Dua faktor yang menyebabkan keadaan ini: pertama, sikap Amerika Serikat yang semakin agresif membendung penyebaran Komunisme di kawasan Asia Tenggara, lalu pada tanggal 8 September 1954 mendirikan SETO (South East Asia Treaty Organization) berpusat di Manila, Filipina, beranggotakan: Thailand, Pakistan, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru; kedua, sikap Indonesia yang tidak mau berpihak kepada salah satu kubu, dan tetap ingin berada dalam Non-Blok, meski Perang Dingin telah menjalar ke kawasan Asia Tenggara.
Selama ayah sekeluarga berdiam di ibukota kabupaten Simalungun tujuh tahun lamanya, dari 1954 hingga 1961, pemerintahan Sistim Demokrasi Parlementer yang liberal yang mengatur ne-gara memerlihatkan ketidak stabilannya, dan ini ditandai oleh jatuh bangunnya kabinet yang memerintah. Setelah Indonesia meninggalkan RIS lalu berganti menjadi NKRI dengan Sistim Demokrasi Parlementer, Perdana Menteri kemudian dipercayakan kepada Mohammad Natsir da-ri partai Masyumi.
Pada bulan pertama pemerintahannya, Indonesia diterima menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang ke 60. Lalu muncul Perang Korea yang mendatangkan rezeki tak terduga (windfall profit) kepada Indonesia karena pendapatan eksport yang meningkat hingga tahun 1951. Perdana Menteri Natsir berpegang teguh kepada konstitusi dalam pemerintahannya, dan menganggap Kepala Negara hanya lambang, dan ini tidak menyenangkan Presiden Sukarno. Yang akhir ini menilai Natsir lebih menaruh perhatian pada ekonomi ketimbang kedaulatan NKRI atas Irian Bara (Papua). Sebagai akibatnya Mohammad Natsir akhirnya terjungkal bulan September 1950 karena tidak mempunyai basis pendukung ekonomi yang kuat di Parlemen, juga politik retorika yang melandanya di luar ketika itu.
Natsir kemudian digantikan Sukirman Wirosandjojo (April 1951-Feb.1952), lalu Wilopo (April 1952-Juni 1953). Kabinet Sistim Demokrasi Parlementer yang liberal lalu silih berganti. Pada bulan Juli 1953 Ali Sastroamidjojo dari PNI diangkat menjadi Perdana Menteri memimpin ka-binetnya yang pertama. Karena Masyumi, Partai Sosialis, dan partai-partai lainnya memilih men-jadi oposisi ketika itu, PNI yang berkuasa meminta bantuan PKI. Dalam pidatonya yang mem-pesona publik tanggal 9 Nopember 1954 di Palembang, Kepala Negara tidak memperlihatkan si-kap netral terhadap semua partai. Ia menunjukkan dengan jelas keberpihakan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo dari PNI, dan berkampanye mendukung salah satu partai menjelang diselenggarakannya pemilu.
Pada tanggal 28 April 1954, lima orang Perdana Menteri, masing-masing: Indonesia, India, Pa-kistan, Birma (Myanmar), dan Srilangka, melangsungkan Konferensi Colombo di Srilangka (Ce-ylon) membicarakan perdamaian dunia. Lalu pada tanggal 29 Desember 1954, kelima Negara peserta Konferensi Colombo ini melakukan pula pertemuan Bogor. Dalam konferensi akhir ini dibahas juga persiapan Afro-Asian Conference (Konferensi Asia-Afrika) gagasan Sir John Kote-lawala dari Srilangka.
Pada tanggal 18 hingga 24 April 1954 berlangsung Konferensi Asia-Afrika di kota Bandung, Indonesia. Konferensi yang dihadiri 25 negara Asia dan Afrika kekuatan Non-Blok ini, ternyata dihadiri oleh sejumlah utusan negara Blok Timur, antara lain: Vietnam Utara dan RRT.
Kabinet Ali Sastroamidjojo pertama kemudian tumbang bulan Juli 1955, dan digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Kabinet ini dilantik tanggal 12 Agustus 1955 dan mela-kukan Pemilihan Umum (Pemilu) yang pertama setelah Indonesia merdeka. Pemilu yang bertuju-an memilih anggota Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar) berlangsung tang-gal 29 September 1955 ini sebelumnya telah dipersiapkan Kabinet Ali Sastroamidjojo. PKI, meski telah melaksanakan pemberontakan Madiun tujuh tahun silam, tenyata berhasil mendu-duki tempat keempat dalam pengumpulan suara, setelah partai-partai: Masyumi, NU, dan PNI.
Keberhasilan PNI dan PKI menghimpun suara dalam pemilu saat itu tidak diragukan lagi dise-babkan keberpihakan Kepala Negara pada keduanya. Untuk menangani permasalahan internal Angkatan Darat, maka pada tanggal 7 Nopember 1955, Presiden Sukarno melantik kembali Ko-lonel A.H. Nasution menjadi KSAD lalu menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. De-ngan hubungan Indonesia dengan Blok-Barat yang semakin renggang, Perdana Menteri Burha-nuddin Harahap lalu membatalkan semua isi perjanjian KMB yang membidani berdirinya RIS, untuk membersihkan semua unsur yang berbau hubungan Indonesia-Belanda, guna mewujudkan perjuangan pembebasan Irian Barat yang lebih independen.
Pada tanggal 20 Agustus 1955 Kabinet Burhanuddin Harahap mengusulkan Rancangan Undang-Undang Darurat Anti-Korupsi (RUUDAK). “Banyak orang yang kaya mendadak harus membuktikan bahwa dirinya tidak korupsi”, demikian ucapan Burhanuddin yang dikutip Harian Indonesia Raya ketika itu. Menteri kehakiman yang dijabat Lukman Wiriadinata juga menimpali, bahwa rancangan undang-undang ini akan menganut pembuktian terbalik dan berlaku surut. Ditambahkannya pula, bahwa Pengadilan Khusus Anti-korupsi akan dibentuk di: Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Akan tetapi sayang, RUUDAK usulan Kabinet ini ditolak oleh Presiden Sukarno. Kabinet Burhanuddin Harahap pun kemudian tumbang dan terpaksa mengembalikan mandat pada tanggal 24 Maret 1956.
Ali Sastroamidjojo lalu kembali diangkat menjadi Perdana Menteri untuk kedua kalinya bulan Maret 1956. Akan tetapi Kabinet ini pun tidak dapat bertahan lama, dan harus mengembalikan mandat pada bulan Maret 1957. Keenam Kabinet sistim Demokrasi Parlementer yang liberal ternyata hanya dapat bertahan tidak lebih dari 6 (enam) tahun.
Untuk mengatasi vakum kekuasaan, pada tanggal 9 April 1957 Presiden Sukarno menunjuk seorang politikus bukan dari partai: Ir. Djuanda Kartawidjaja menjadi Perdana Menteri, yang menyebabkan timbulnya protes masyarakat. Sejakan “budaya trias politika” yang berlku ketika itu, Presiden hanyalah menunjuk seorang formatur untuk menyusun Kabinet, dan bukan menun-juk dirinya sendiri. Ini merupakan perbuatan inkonstitusional yang telah diambil Kepala Negara dalam Sistim Demokrasi Parlementer yang berlaku ketika itu, dan akan membuat preseden buruk di tanah-air. Akan tetapi Kepala Negara meneruskan perbuatannya dan menamakan “Kabinet Karya” pada pemerintah bentukannya. Adapun menteri-menteri dihimpun dari para wakil berbagai golongan karya di tanah-air. Selain dari itu, kedalam Kabinet dimasukkan pula tiga orang perwira militer aktif untuk memimpin beberapa departemen.
Pada tanggal 10 Nopember 1956, di Bandung berlangsung Sidang Dewan Konstituante untuk menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUDRI) menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 yang sedang digunakan. Dengan diterapkannya Sistim Pers Terpimpin (SPT) oleh Kabinet Djuanda, maka sampai akhir tahun 1957 telah dilaksanakan 125 tindakan terhadap pers di tanah-air, tahun berikutnya 95, dan selanjutnya 73; sejalan dengan ketentuan larangan berpolitik yang diberlakukan pemerintah saat itu untuk mengebiri aktifitas partai-partai politik di tanah-air. Dewan Konstituante lalu mendapatkan lonceng kematian.
Dalam sidang perdebatan Dewan Konstituante tanggal 2 Juni 1959 tentang UUDRI, baru tidak berhasil dicapai kata sepakat tentang Piagam Jakarta. Kubu Islam terdiri dari: Masyumi, NU, PSII, dan partai berazaskan Islam lainnya menghendaki dicantumkannya kalimat: ”.… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Akan tetapi kubu Pancasila terdiri dari: PNI, PKI, Murba, Partindo, dan Partai Katolik, menolaknya. Usul yang disampaikan Kabinet Djuanda Kartawidjaja dalam sidang untuk: “kembali ke UUD 1945” juga ditolak sidang. Walau demikian, Sidang Dewan Konstituante berhasil menyusun: bentuk negara, sistim pemerin-tahan, sistim perwakilan, hak azasi manusia, dan dasar Negara Republik Indonesia.
Pada tanggal 19 Februari 1959, Presiden Sukarno mengusulkan: “Kabinet kaki empat” berangkat dari perolehan suara pemilu agar terbentuk pemerintah yang stabil. Akan tetapi usul Kepala Ne-gara itu ditolak para pimpinan partai: Masyumi, NU, PNI, dan PKI. Lalu pada bulan Oktober 1959, Brigjen A. H. Nasution meresmikan istilah baru di lingkungan Angkatan Darat. Kata “Te-ritorium” diganti dengan “Komando Daerah Militer”, disingkat “Kodam” dan dipimpin oleh seorang “Panglima Kodam”, disingkat “Pangdam”. Dengan demikian ke 7 (tujuh) Teritorium terdapat dalam lingkungan Angkatan Darat diresmikan tanggal 20 Juli 1950, lalu diubah dan ditingkatkan menjadi 16 (enam belas) Kodam yang akan terdapat di setiap Propinsi. Selain dari itu dalam tiap Propinsi akan terdapat: “Komando Resort Militer”, disingkat “Korem” untuk tiap Keresidenan; “Komando Daerah Militer”, disingkat “Kodim”untuk tiap Kabupaten; “Komando Rayon Militer”, disingkat “Koramil” untuk tiap Kecamatan; Bintara Pembina Desa”, disingkat “Babinsa” untuk tiap Desa atau Kampung; seluruhnya menjadi bagian Doktrin Perang Wilayah Republik Indonesia. Setiap jenjang lingkungan Angkatan Darat akan tergabung kedalam “Mu-syawarah Pimpinan Daerah”, disingkat “Muspida”, bersama Pemerintah, Kejaksaan, Kepolisian, yang terdapat dari masing-masing daerah.
Memerahnya warna perpolitikan tanah-air tampak sejak PKI menduduki posisi keempat dalam pemilihan umum, yang memberi peluang kepada aliran kiri mengembangkan pengaruhnya. Simpati pada kaum kiri juga datang dari Presiden Sukarno yang mengaku sebagai seorang “revo-lusioner”, dan mengemukakan dalam bukunya: “Dibawah Bendera Revolusi”, yang disusun Cindy Adams tentang hukum revolusi: ”pukul musuh kamu, bunuh atau dibunuh; penjarakan atau dipenjarakan”. Hukum revolusi itu juga turut mencoraki kepemimpinannya.
Ajaran Sosialisme dan Komunisme masuk ke nusantara dibawa orang Belanda dan anak-anak bangsa yang belajar di Eropa, dan tiba di tanah-air masih dalam zaman Hindia Belanda. Henk Sneevliet, seorang Marxist Belanda, datang ke Hindia Belanda untuk mencari pekerjaan, awalnya tinggal di Semarang. Orang kelahiran Rotterdam turut mendirikan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereinigung, atau Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia) tahun 1914, beranggotakan warga Belanda dan putra Pribumi, yang antikapitalis dan menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial dan berkuasa saat itu.
Adapun yang disebut kaum buruh di tanah Hindia Belanda ketika itu ialah mereka yang terga-bung kedalam Serikat-serikat Sekerja: Staat Spoor Bond (Serikat Sekerja Kereta Api), Post Bond (Serikat Sekerja Pos), Cultuur Bond (Serikat Sekerja Budaya), Suiker Bond (Serikat Sekerja Gula), Vereniging van Spoor en Tram Personeel (Persatuan Pegawai Kereta Api dan Trem), lain sejenisnya, terbentuk masih dalam dasawarsa pertama abad ke-20. ISDV lalu berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada tahun 1920 Sneevliet menjadi utusan Hindia Belanda ke kongres kedua Komunis Internasional (Komintern) di Moskow. Semaun dan Darsono serta ka-wan-kawannya, awalnya adalah anggota Serikat Dagang Islam (SDI) berdiri tahun 1911 di ibukota Jawa Tengah itu, lalu oleh pengaruh Sneevliet keduanya meninggalkan SDI dan berga-bung dengan PKI tahun 1920.
Partai berhaluan Marxis Leninis di Hindia Belanda ketika itu sedang tergoda keberhasilan rekan-nya di ibukota Kekaisaran Rusia Petrograd tahun 1917 silam, dan menirukan tatacara kaum Bol-shevik merebut kekuasaan. Maka pada tanggal 13 Nopember 1926, PKI melakukan pemberon-takan melawan pemerintah Hindia Belanda di Batavia, namun gagal. Pada tanggal 18 September 1948, dibawah pimpinan Muso, PKI mencoba mendirikan Negara Sovyet Sosialis Indonesia (NSSI) yang menelan banyak korban di Madiun, juga kembali gagal. Setelah diberlakukan lara-ngan terhadap kegiatan partai ini, Tan Malaka kemudian mendirikan Partai Murba untuk mengisi kekosongan partai beraliran kiri pasca pemberontakan Madiun.
Marxisme ialah sebuah pandangan hidup “historis dialektik materialisme” yang diperkenalkan Karl Marx (1818-1883), orang Jerman pengikut G.W.F. Hegel. Menurut pendapat Marx, Kapita-lisme akan runtuh dengan sendirinya dan berubah menjadi Sosialisme oleh berbagai kontradiksi terdapat didalamnya. Di pertengahan abad ke-19 silam, saat industri mulai berkembang di Eropa, hanya segelintir orang yang memiliki kapital atau modal (Kaum Kapitalis); sebaliknya sebagian besar masyarakat ketika itu hanya pekerja (Kaum Buruh) yang tidak mempunyai apa-apa ter- kecuali dirinya. Pertentangan kepentingan antara Kaum Borjuis, nama lain untuk Kaum Kapitalis yang hidup berkelebihan, dengan Kaum Proletar, nama lain Kaum Buruh yang serba kekurangan di masyarakat saat itu tidak dapat dihindarkan, melahirkan dalam benak Karl Marx sebuah pan-dangan (theori) pertentangan kelas yang tersohor itu. Masih ada theori lain berkembang dari pandangan ini, antara lain: teori nilai lebih dan lain sebagainya, hingga dengan ajaran moral kaum sosialis dan komunis.
Setelah Karl Marx meninggal di Inggris, pengikutnya lalu terpecah dua, masing-masing: kaum Revisionisme Sosialis E. Bernstein, dan kaum Marxisme Ortodox K. Kautsky. Kelompok per-tama berkembang di Jerman dan meninggalkan ajaran revolusi sosial, lalu mencari cara-cara da-mai untuk memperbaiki nasib kaum buruh lewat reformasi. Akan tetapi kelompok kedua yang hijrah ke Rusia pimpinan Vladimir Ilich Uliyanov Lenin, menumbangkan Kekaisaran Ramanov di negeri itu dari bulan Februari 1905 hingga Oktober 1917 dengan revolusi sosial yang meng-gerakkan kaum buruh, mendirikan Kaum Bolshevik yang berpandangan Marxisme Leninisme.
Pasca Perang Dunia ke-II, di Asia Timur, Kung Chang Tang (Cina Marxis) pimpinan Mao Tze Tung pada tahun 1949 berhasil mengusir Kuo Min Tang (Cina Nasionalis) pimpinan Chang Kai Sek dari daratan Cina yang luas itu, lalu mendirikan RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Awalnya partai Komunis Cina dipimpin Li Li San yang beraliran Marxisme Leninisme sebagaimana re-kannya kaum Bolshevik di Rusia. Akan tetapi Mao Tse Tung yang ketika itu sedang terasing di pedalaman, lalul menggerakkan kaum tani dan melaksanakan “long marsh” menjuju ke Beijing, lalu menyingkirkan Li Li San dengan para pengikut kaum Bolshevik dari negeri itu. Mao Tze Tung kemudian memodifikasi ajaran Marx dengan revolusi yang digerakkan kaum tani dan men-dirikan Negara Sosialis Cina (NSC) beraliran Marxisme-Maoisme.
Muncul dengan demikian dua raksasa Marxis dengan latar belakang revolusi berbeda di muka bumi ketika itu, masig-masing: Uni Sovyet dengan tirai besinya, dan RRC dengan tirai bam-bunya; keduanya memisahkan diri dari masyarakat dunia lain di muka bumi. Dengan jumlah penduduk melampau satu milyar, mendiami lahan yang begitu luas di muka bumi, kedua raksasa Marxis ini menimbulkan ketakutan besar bagi umat manusia, khususnya yang berpandangan: li-beral, demokratis, religius, dan lain sebagainya; termasuk masyarakat yang bermukim di Asia Tenggara, mulai darat hingga dengan gugusan kepulauannya.
Pada tahun 1950 Amerika Serikat melontarkan theori domino di kawasan ini. Menurut ajaran ini, satu persatu negara-negara di Asia Tenggara yang bertetangga dengan kedua raksasa komunis akan jatuh ke pangkuan mereka seperti robohnya deretan kartu domino. Lalu dilontarkan juga theori leap frog (katak lompat) yang mengatakan, bahwa ajaran Marxis tidak hanya menular ke negara tetangga, tetapi juga dapat melompat langsung ke Indonesia. Umat beragama di tanah-air yang sebagian besar beragama Islam, sudah tentu tidak senang melihat kenyataan yang ada di bagian bumi ini. Begitu juga Amerika Serikat, ketika itu dipimpin Presiden Eisenhower dengan Menteri Luar Negeri John Foster Dulles, dan sekutu Perang Dunia ke-II negara Paman Sam silam.
Dunia kemudian terpolarisasi kedalam dua ajaran kemasyarakatan besar yang tidak mudah untuk didamaikan, yang semakin meruncing dalam perjalanan waktu, yakni: aliran “Liberal/Kapitalis dan demokratis Blok Barat” dengan aliran “Sosialis/Komunis totaliter dari Blok Timur”. Dunia kemudian terjerumus kedalam Perang Dingin (Cold War) setelah Perang Dunia ke-II; artinya meski perseteruan antara Blok Barat dan Blok Timur terus meningkat dan semakin panas me-nelusuri waktu, akan tetapi masing-masing fihak masih dapat menahan diri untuk tidak menggu-nakan senjata yang dapat memicu Perang Dunia ke-III.
Pada tahun 1950 Korea Utara pimpinan Kim Il Sung menyerang Korea Selatan pimpinan Syng-man Rhee di semenanjung Korea. Uni-Sovyet dan China dari Blok-Timur membantu Korea Uta-ra, sedangkan Amerika Serikat dan sekutu perangnya dari Blok-Barat membantu Korea Selatan. Perang dingin lalu berubah menjadi perang panas di tanah semenanjung itu, mengerahkan per-senjataan mutakhir setiap blok, sekaligus menguji keampuhan teknologi persenjataan yang diku-asai untuk menaklukkan lawan. Perang Korea berlangsung 3 tahun, merenggut tidak kurang dari 2 juta orang, kerugian harta benda yang tak terhitung jumlahnya hingga dicapainya persetujuan gencatan senjata, menyebabkan semenanjung Korea itu terbagi dua pada lintang 38° Utara sampai saat ini.
Munculnya Perang Korea menyebabkan Amerika Serikat dengan sekutunya membangun Ling-kar Pertahanan Timur, meliputi: Amerika Serikat, kepulauan Aleutina di Utara Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, termasuk Filipina untuk membendung penyebaran Komunisme. Di belahan bumi Selatan diwujudkan pula untuk tujuan yang sama perjanjian antara: Australia, New Zea-land, dan United States, disingkat ANZUS, dengan Amerika Serikat berikut dua sekutunya di A-sia Tenggara, yakni: Thailand dan Persekutuan Tanah Melayu.
Pada tanggal 16 September 1963, lahir negara federasi “Persekutuan Tanah Melayu”, di bekas tanah jajahan Inggris yang berstatus protektorat, terdiri dari: semenanjung Malaya, Sarawak, Sabah, Brunei, dan Singapura. Pada tanggal 31 Agustus 1957 berdiri Kerajaan Malaysia di bekas protektorat Inggris tadi terdiri dari: semenanjung Malaya, Sarawak, Sabah, dan Singapura; setelah gagasan berdirinya negara federasi itu mendapat persetujuan Inggris tanggal 9 Juli 1963. Negara Federasi yang memperoleh kemerdekaan secara damai dari Inggris dipimpin oleh seorang Raja, bergelar: Yang Dipertuan Agung: Sultan…….. dengan Perdana Menteri Tunku Abdul Rachman Putra Al-Haj.
Indonesia dipimpin Presiden Sukarno ketika itu menganggap Kerajaan Malaysia berdiri tidak melalui revolusi rakyat adalah boneka Inggris dan Amerika di Asia Tenggara, lalu pada tanggal 17 September 1963 memutuskan hubungan diplomatik dengan negeri jiran itu. Dalam konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Manila berlangsung tanggal 31 Juli hingga Agustus 1963, Presiden Sukarno menuntut agar dilakukan plebisit untuk mengetahui keinginan rakyat Kalimantan Utara yang sebenarnya. Akan tetapi tim dipimpin Michelmore dari Amerika Serikat yang dilantik Sekretaris Jenderal PBB: U Thant dari Birma (Myanmar), rupanya tidak memuaskan Indonesia saat itu. Maka tahun berikutnya Presiden Sukarno mencanangkan konfrontasi Dwikora terhadap Malaysia, bertujuan ganda: memperhebat ketahanan revolusi bangsa Indonesia, dan membantu perjua-ngan revolusioner rakyat di Malaya, Singapura, Sabah, Sarawak dan Brunei. Kerajaan Malaysia ketika itu terdiri dari 13 negara bagian, sembilan diantaranya dipimpin para Sultan, dengan cepat membangun ekonomi untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya.
Pada tanggal 9 Agustus 1965, dengan tidak disangka-sangka pulau Singapura dengan rakyatnya dikeluarkan dari Kerajaan Malaysia. Sejak saat itu, pulau kecil itu berubah menjadi Negara Si-ngapura yang berdaulat dan dipimpin Presiden ………dengan Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Negara kecil itu juga dengan cepat membangun perekonomian negeri itu guna mensejahterakan kehidupan rakyatnya.
Dalam era 1950-an, telah tampak jelas dua corak kepemimpinan yang tampil di Indonesia. Perta-ma, kepemimpinan administratif (pragmatic minded), dilakukan orang-orang yang mempunyai keahlian dalam beragam bidang, antara lain: hukum, pemerintahan, ekonomi, managemen, pembangunan, dan lain sebagainya, tidak terkecuali kecakapan bahasa asing. Kelompok ini menitik-beratkan pada pembangunan sosial dan ekonomi menyimak keadaan bangsa Indonesia saat itu, dan dapat menerima kedatangan tenaga dan modal asing guna mewujudkannya. Kedua, kepe-mimpinan massa (solidarity maker) yaitu orang-orang yang pandai menghimpun massa lalu membakar semangat orang banyak. Selain membakar semangat, mereka juga pandai menebar janji dan harapan muluk akan hari depan bangsa, meski samasekali tidak tahu bagaimana cara merealisasikannya. Yang akhir ini juga terampil mencari kambing hitam, andaikata kelak diba-wah kepemimpinan mereka berbagai janji dan harapan yang telah dilontarkan tidak menjadi ke-nyataan yang mensejahterakan kehidupan rakyat.
Kepemimpinan pertama melahirkan: kaum teknokrat yang berfikir cerdas dan pragmatis bertu-juan mensejahterakan kehidupan rakyat, akan tetapi kepemimpinan kedua memunculkan kaum demagog, yakni kaum orator penyulut emosi penuh janji yang hanya membodohi rakyat. Oleh luapan emosi kemerdekaan yang terus menerus dikobarkan sepanjang sepanjang era 1950-an, ke-pemimpinan pertama dikalahkan oleh kepemimpinan kedua, membuat semua kebijakan politik industri yang berpihak pada penanaman modal asing di tanah-air dengan pesyaratan ditetapkan, tidak mendapat dukungan Presiden Sukarno, menimbulkan sentimen anti-modal asing berlebi-han di Indonesia ketika itu. Lebih dari 160 perusahaan milik Belanda di Indonesia termasuk ru-mah, tanah, perusahaan, dan lainnya kemudian dinasionalisasi pemerintah dengan pengawasan diserahkan begitu saja kepada militer.
Lalu lahirlah kumpulan orang bersenjata menamakan diri “lasykar minyak” di sejumlah ladang minyak tanah-air. Mereka termasuk bekas pekerja lapangan dan kilang minyak zaman Hindia Belanda silam. Pada tahun 1956 ladang minyak Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Sumatera Utara: Langkat dan Pangkalan Brandan berganti nama jadi Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU), lalu jadi P.T. Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (ETMSU), kemudian P.T. Permina (Perusahaan Minyak Nasional), akhirnya tanggal 20 Agustus 1968 menjadi P.T. Pertamina (Pertambangan Minyak Nasional). Di Sumatera Selatan, ladang BPM juga diganti menjadi Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI), di Jawa Tengah ladang minyak Nederlandsche Indische Aardolie (NIAM) berubah jadi Tambang Minyak Nasional (PTMN). Namun euforia nasionalisasi tambang minyak saat itu terpaksa berakhir buntung, karena orang-orang pribumi yang menguasai ladang-ladang ini tidak mempunyai keahlian yang diperlukan un-tuk melola tambang bermodal besar. Prokontra kemudian mencuat antara kubu yang propengembalian perusahaan minyak kepada Belanda sejalan perjanjian KMB, dengan kubu yang menolak dan tetap menghendaki nasionalisasi.
Belanda kemudian bersedia membagi kepemilikan perusahaan minyak kepada Indonesia dan mengutamakan tenaga kerja lokal. Akan tetapi pada tahun 1955 Belanda mengganti nama ladang minyak Nederlansche Koloniale Petroleum Mij (NKPM) di Sumatera Selatan termasuk kilang Sungai Gerong menjadi Stanvac Petroleum milik Amerika Serikat. Begitu pula ladang minyak Nederlansche Pacific Petroleum Mij (NPPM) Riau menjadi Caltex Pacific, dan ladang minyak BPM di Sumatera Selatan dan kilang Pelaju menjadi Shell Petroleum. Dengan demikian ketiga perusahaan minyak Belanda itu mendapat perlindungan hukum Amerika Serikat, salah satu bidan KMB yang melahirkan RIS menjelang penyerahan kedaulatan. Ketiga perusahaan minyak Belanda yang dilindungi hukum Amerika Serikat itu lalu berkembang menjadi raksasa-raksasa minyak dunia meninggalkan P.T. Pertamina jauh dibelakang.
Koninkleijke Paketvaart Maatschapeij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda lalu direbut kaum buruh Marhaen untuk dinasionalisasikan menjadi PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia). Akan tetapi keadaan perusahaan setelah dinasionalisasi juga tidak jauh berbeda dari nasib P.T. Pertamina.
Ketika Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memimpin kabinet yang pertama tahun 1954, Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Uni-Sovyet. Negara yang dalam bahasa Rusia diberi singkatan CCCP artinya SSSR (Soyuz Sovietskih Sotsialisticheskih Respublik) ini, bersu-ara abstain dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949, menje-lang dilangsungkannya RTC (KMB) di Den Haag, ibukota negeri Belanda. Langkah yang diambil Indonesia ini mebuat Amerika Serikat dan sekutunya berpaling dari Indonesia, lalu men-dukung berbagai gerakan yang memperjuangkan otonomi daerah di nusantara.
Tanggal 19 Maret 1956 Mr. Assaat Datuk Mudo menyampaikan pidato dalam Kongres Importir Nasional di Surabaya. Ia mengatakan bahhwa: “Orang-orang Cina telah menjadi golongan eks-klusif yang menentang masuknya orang-orang lain….terutama di bidang ekonomi. Mereka begitu eksklusif sehingga dalam praktek lalu bertindak monopolistis…”. Pidato yang menimbul-kan sentimen anti-perusahaan asing lainnya, berujung dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 1959 oleh Departemen Perdagangan. Langkah yang ketika itu dinamakan: “Gerakan Assaat”, atau Pribumisasi, mendapat sambutan luas di seluruh penjuru tanah-air, terlebih lagi di pulau-pulau: Jawa, Sumatera, Lombok, dan Sulawesi.
Peraturan yang berakibat dikeluarkannya larangan kepada orang-orang asing melakukan perda-gangan eceran mulai kabupaten kebawah. Mereka juga diharuskan mengalihkan perdagangan e-ceran kepada orang-orang Indonesia asli. Yang dimaksud deengan orang asing dalam PP 10 ini ialah orang-orang Tionghoa, karena lebih dari 90% pedagang kecil yang terdaftar di kantor Departemen Perdagangan saat itu ialah pedagang Cina. Terhitung tanggal 1 Januari 1960, para pe-dagang ini harus sudah menutup perdagangan eceran mereka.
Peraturan dilaksanakan dengan mengerahkan kekuatan militer menyebabkan masyarakat Cina dan keturunannya di tanah-air harus hengkang dari Indonesia dan pulang ke tanah leluhur. Pemerintah RRT (Republik Rakyar Tiongkok) kemudian mengutus kapal laut untuk menjemput ratusan ribu orang Hoakiau yang akan meninggalkan tanah-air untuk kembali ke tanah asalnya. Banyak dari mereka yang telah lahir dan dibesarkan di berbagai tempat nusantara terlanjur pu-lang ke Cina, kemudian kecewa karena setibanya disana mereka tidak memperoleh yang mereka harapkan sebelumnya, dan ingin kembali lagi ke Indonesia.
Pada tanggal 20 Juli 1956 Dr. Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI. Surat Khabar PKI, Harian Rakyat, menurunkan tanggapan dalam pojok beritanya sebuah tuli-san: “Dwi Tunggal, tanggal tunggal tinggal tunggal”.
Pada tanggal 19 Nopember 1956, tujuh orang delegasi Teritorium Korps Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) melaksanakan reuni perwira TNI AD di Bandung, yang menampilkan suasana Angkatan Darat yang telah terpecah kedalam sejumlah kubu. Dalam reuni itu, banyak perwira yang memperlihatkan ketidak senangan melihat ketimpangan ekonomi pusat dan daerah, defisit anggaran belanja negara, inflasi menerobos angka 33%, dan daya beli Rupiah yang se-makin melemah. Keretakan dalam tubuh AD periode 1956-1957 melahirkan polarisasi keku-asaan antara pusat dan daerah. Diangkatnya Mayor Jenderal A.H.Nasution kembali memimpin Angkatan Darat oleh Presiden setelah lebih dahulu diberhentikan, tidak mendapa dukungan para perwira sebagaimana pada peristiwa 17 Oktober 1952 lalu, karena dianggap tidak berhasil mem-perbaiki kesejahteraan para perajurit yang menghuni tangsi-tangsi kumuh. Bahkan ia mengutus pasukan untuk menangkap para panglima melakukan barter dan smokkel (penyeludupan) guna memperbaiki nasib prajurit ketika itu.
Lima hari pasca reuni, sekelompok opsir telah berkumpul di Padang. Letnan Kolonel Ventje Sumual harus terbang ke Singapura, dan dengan speedboat ke Pakanbaru untuk bergabung. Ia disambut Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Muhammad Natsir, Su-mitro Djojohadikusumo; tiba di Sungai Dareh, di perbatasan Sumatera Barat dengan Jambi tang-gal 10 Desember 1957. Bergabung juga Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap. Dewan Perjuangan kemudian dibentuk tanggal 10 Januari 1958. CIA dari Amerika Serikat dan Singapura kemudian mengirim paket senjata lewat air menuju ke Padang.
Dewan Perjuangan lalu menyiapkan Piagam Perjuangan, dan menuntut Kabinet Ir. Haji Djuanda di Ibukaota dibubarkan dalam waktu 5 x 24 jam. Dewan menuduh Presiden Sukarno telah bertindak inkonstitutional menunjuk dirinya sebagai formatur Kabinet, kemudian memecat: Kol. Maludin Simbolon dan Let. Kol. Ahmad Husein dari jabatan mereka. Dewan Perjuangan selan-jutnya membentuk: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai pemerintah tandingan, dangan kabinet dipimpin Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara, dan panglima Herman Nicholas Ventje Sumual.
Lahir egan demikian Dewan Banteng pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Husein, Komandan Resi-men Sumatera Tengah, di Teritorium I/Bukit Barisan. Dewan-dewan lain lalu bermunculan mewakili Teritorium masing-masing, seperti: Dewan Garuda di Sumatera Selatan pimpinan Kol. Barlian, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Dewan Man-guni di Sulawesi Utara, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan, guna menyatukan perjua-ngan daerah-daerah bergolak dari Sumatera hingga Sulawesi. Mereka lalu mengambil alih biro-kasi pemerintah pusat di daerah masing-masing yang tidak lagi dapat mengatasi keadaan.
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Kantor Gubernur Makassar, Sulawesi Selatan, H.N. Ventje Sumual selaku Panglima PRRI memproklamirkan berdirinya Permesta (Perjuangan Semesta) yang anti-komunis bertujuan membangun daerah dengan otonomi luas untuk kesejahteraan rak-yat. Ia mengumumkan keadaan darurat perang, dan menyerukan kepada semua daerah otonomi untuk mempercepat pembangunan. Piagam proklamasi kemudian ditandatangani 52 orang tokoh-tokoh sipil dan militer saat itu. Lalu di Bukit Tinggi, pada tanggal 15 Februari 1958 dikuman-dangkan berdirinya pemerintah PRRI berhaluan anti-komunis, dengan desentralisasi, berotonomi luas dipimpin Kolonel Maludin Simbolon. Pemerintah PRRI bertujuan mensejahterakan kehidu-pan rakyat di nusantara yang telah begitu lama terlantar sejak revolusi tahun 1945 silam.
Pemberontakan daerah-daerah terhadap pemerintah pusat di Jakarta, selain dipicu ketidak puasan terhadap Kabinet Ali Sastroamidjojo yang sentralistis dan mementingkan pulau Jawa ketimbang pulau-pulau nusantara lainnya ketika itu, juga sikap pemerintah pusat yang membiarkan rakyat di daerah-daerah berpotensi ekonomi baik tetap miskin. Minimnya anggaran pembangunan yang dialokasikan peerintah pusat kepada berbagai daerah menyebabkan yang akhir ini melegalkan peraktek-peraktek barter dan penyeludupan. Selain dari itu, juga ketidak senangan daerah-daerah kepada PKI yang semakin berhasil mendekati pusat kekuasaan di Ibukota.
Ketegangan antara pusat dan daerah diwarnai lagi kian mengerasnya tuntutan kaum regionalis (penguasa daerah) terhadap kaum sentralis (penguasa pusat), lalu mengajukan tuntutan sebagai-mana yang tercantum dalam Piagam Palembang tanggal 7 – 8 September 1957. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Maludin Simbolon, Ahmad Husein, Zulkifli Lubis, Barlian, dan Ventje Su-mual, dilancarkan pula tuntutan: 1. Dikembalikannya dwitunggal Sukarno-Hatta, dan mengang-kat Hatta kembali menjadi Perdana Menteri. 2. Menurunkan KSAD A.H. Nasution dan para staf-nya diganti. 3 Perkembangan kaum komunis harus dibatasi dengan undang-undang. 4. Pemben-tukan Komando daerah Sumatera berpusat di Padang. 5. Menjalin hubungan politik-ekonomi yang lebih erat dengan Permesta.
Pada tanggal 30 Nopember 1957 malam, muncul usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di jalan Cikini Raya 74/76 Jakarta, ketika menghadiri pertemuan orangtua Sekolah Dasar yang menimbulkan banyak korban anak sekolah, akan tetapi gagal. Ketegangan yang semakin merun-cing antara pusat dan daerah ketika itu menyebaban Perdana Menteri Ir. H. Djuanda turun tangan untuk menengahi perbedaan, namun tidak membawa hasil.
Perang saudara antara pusat dan daerah di tanah-air ketika itu tidak lagi dapat dihindarkan. Pada tanggal 17 April 1958 pusat mengirim angkatan perang ke pantai Barat pulau Sumatera, lalu me-nyerang Padang dari laut dan udara, lalu berhasil menduduki kota itu. Lalu ada tanggal 4 Mei, masih pada tahun yang sama, pasukan pusat memasuki Bukit Tinggi, ibukota PRRI, menyebabkan para pemimpinnya melarikan diri ke hutan untuk bergerilya. Terdapat 30.000 orang anggota pasukan yang gugur sampai dengan PRRI ditaklukkan. Sejumlah pemimpin daerah berasil ditangkap, tidak sedikit pula yang menyerahkan diri, kemudian memperoleh amnesti dan abolisi.
Pada tahun 1958, atas perintah Jaksa Agung, lima orang anggota Dewan Konstituante dari partai Masyumi ditahan karena mengeritik konsep Demokrasi Terpimpin yang diperkenalkan Presiden Sukarno. Menurut pendapat mereka Demokrasi Terpimpin hanya akan menjadi langkah Kepala Negara menuju pemerintahan diktator. Perintah ini mengawali senjakala penegakan hukum di Indonesia, karena Jaksa Agung telah berubah sikap dari independen menjadi alat pemerintah yang berkuasa.
Dewan Nasional, disingkat Denas, lalu dibentuk dan dipimpin secara kolektif oleh Presiden Sukarno dengan Ruslan Abdulgani yang ketika itu menjabat Menteri Penerangan. Denas diran-cang untuk mengimbangi Dewan Kontituante, dan para anggotanya ialah keempat kepala staf angkatan bersenjata ditabah para wakil golongan fungsionaris dan utusan daerah. Denas lantas berubah menjadi “Golongan Karya” untuk menandingi Dewan Konstituante. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit untuk membubarkan Dewan Konstituante. Indonesia lalu kembali ke UUD 1945 dan era zaman Demokrasi Parlementer pun berakhir di tanah-air.
Pada tanggal 4 Oktober 1957, umat manusia dikejutkan keberhasilan Uni-Sovyet (Rusia) melun-curkan sebuah satelit ke angkasa bernama “Sputnik I”. Benda angkasa pertama bikinan manusia itu berhasil mengalahkan medan gravitasi bumi, dan mengorbit bumi pada ketinggian 480 km. Satelit ini melaju dengan kecepatan 7,5 km per detik dan menyiarkan isyarat-radio nada pendek.
Perang Dingin antara Blok-Barat dan Blok-Timur memasuki usaha Amerika Serikat dengan se-kutunya membendung penyebaran ajaran komunis ke seluruh penjuru dunia. Di Eropa: Jerman Timur, Polandia, Cekoslovakia (kini Ceko dan Slovakia), Rumania, dan negara-negara Baltik (Estonia, Latvia, Lituania) yang dibebaskan Uni-Sovyet dari cengkraman Nazi Jerman pada Pe-rang Dunia ke-II, dengan sendirinya menjadi anggota Blok-Timur dipimpin Uni-Sovyet. Diluar negara-negara yang disebutkan diatas, dengan sendirinya menjadi sekutu Amerika Serikat, ka-rena telah bekerjasama dengan negara Paman Sam dalam Perang Dunia ke-II silam, menjadi jaja-ran benteng anti-komunisme di belahan bumi Barat tergabung dalam persekutuan NATO (North Atlantic Treaty Organization), sekaligus perisai penyebaran komunisme di belahan bumi itu. A-dapun yang menjadi sekutu negara Paman Sam di kawasan laut tengah ialah: Turki dan Yunani.
Gagasan parameter pertahanan Asia Tenggara juga tidak lupa dibangun. Pada tahun 1956 Viet-nam Utara (Tonkin) dengan ibukota Hanoi dipimpin Ho Chi-Minh giat mendukung gerilyawan Vietcong sekitar Annam (Cochin Cina) menyusup ke Vietnam Selatan yang beribukota Saigon. Hal ini menyebabkan Vietnam Utara berseteru dengan Vietnam Selatan dipimpin Ngo Dinh Di-em. Awalnya kedua negeri ini tidak ubahnya semenanjung Korea, terbelah di lintang 17° Utara sesuai kesepakatan Geneva. Akan tetapi setelah 19 tahun berperang, Vietnam Utara akhirnya berhasil menaklukkan Vietnam Selatan dan masuk ke Saigon. Pasukan Vietnam Utara mengusir serdadu-serdadu Amerika Serikat pimpinan Presiden Nixon dengan angkat kaki memalukan meninggalkan negeri itu. Republik Sosislis Vietnam (RSV) lalu diproklamirkan tahun 1976, terdiri dari Vietnam Utara dan Vietnam Selatan dengan ibukota Hanoi. Seiring kejatuhan Vietnam Selatan, menurut teori domino, Laos akan jatuh ke pangkuan aliran Marxis. Keberhasilan Vietnam Utara memembebaskan Vietnam Selatan, menyebabkan negeri Paman Ho lalu latah dan menyerang kerajaan Kamboja, membuat tanah Khmer bertekuk lutut kepada Vietnam tahun 1979, dan menjadikannya negara boneka.
Pada tahun 1972, Ne Win memproklamirkan Myanmar (Birma) menjadi Republik Sosialis Uni Birma (RSUB) dibawah kepemimpinanya, setelah terlebih dahulu mengkudeta (coup d’état) pe-merintah yang dipimpin Perdana Menteri U Nu. Negeri Pagoda yang awalnya menerapkan sistim Demokrasi Parlementer lalu beralih menjadi negara otoriter yang dipimpin militer berkepanja-ngan. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang belum jatuh ke pangkuan aliran Marxis ketika, baik aliran Marxis-Leninis model Uni-Sovyet maupun aliran Marxis-Maois model RRT di kawasan itu menurut theori domino tinggal hanya: Thailand dan Malaysia. Adapun Singapura ketika itu masih menjadi bagian dari Malaysia.
Zaman Demokrasi Terpimpin
Sejak dekrit 5 Juli 1959 dikumandangkan di Jakarta untuk kembali ke UUD 45 oleh Presiden Su-karno, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kemudian berpindah dari Sistim Demokrasi Parlementer (SDP) menjadi Sistim Demokrasi Terpimpin (SDT). Istilah lain kerap yang juga di-gunakan Kepala Negara ialah: Guided Democracy System (GDS). Adapun maksud kembali ke UUD 45 menurut Presiden Sukarno, ialah untuk melenyapkan sifat liberal ajaran Demokrasi Ba-rat yang telah mewrnai pemerintahan ketika itu yang oleh Kepala Negara dianggap bertentangan dengan azas “permusyawaratan untuk mufakat” yang terkandung dalam ideologi Pancasila dan “kepribadian bangsa” Indonesia.
Dalam Sistim Demokrasi Terpimpin, “Presiden” adalah juga “Perdana Menteri” sekaligus men-jadi “Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia” dan “Pemimpin Besar Revo-lusi Bangsa Indonesia”, menyebabkan semua kekuasaan yang ada dalam negara menjdi terpusat pada satu ditangan, yakni di tangan Kepala Negara.
Kabinet Kerja I
Pemerintah Sistim Demokrasi Terpimpin pertama kemudian diberi nama: Kabinet Kerja I, me-mulai pemerintahannya dari tanggal 10 Juli 1959 hingga 18 Februari 1960, juga bercorak Presi-densial. Kekuasaan negara ada di tangan Kepala Negara: Presiden Sukarno. Adapun program kerja kabinet Sistim Demokrasi Terpimpin ini ialah:
1. Menyediakan sandang dan pangan untuk rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya,
2. Menyelenggarakan keamanan rakyat dan desa, serta
3. Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik.
Dalam kongres pemuda bulan Februari 1960 yang berlangsung di kota Bandung, Kepala Negara menyampaikan sebuah orasi Manifesto Politik, disingkat Manipol, dan bersarikan USDEK, berikut ini:
U – Kembali ke Undang Undang Dasar 1945,
S – Sosislisme Indonesia,
D – Demokrasi Terpimpin,
E – Ekonomi Terpimpin,
K- Kepribadian Nasional, atau Kebudayaan Terpimpin.
Pada kesempatan itu ditegaskan Kepala negera pula, bahwa UUD 1945 adalah Konstitusi1945, Konstitusi Proklamasi. Presiden selanjutnya menambahkan pula bahwa NRI (Negara Republik Indonesia) telah beralih menjadi Negara Sosialis Indonesia (NSI). Sejumlah surat khabar di Ibu-kota kemudian berkomentar agar teriakan: “Merdeka!” diganti saja menjadi: “Usdek!” Pidato Kepala Negara pada tanggal 17 Agustus 1960 lalu mengambil judul “Djalannya Revolusi Kita” dan ditetapkan menjadi pedoman pertama bangsa melaksanakan Manipol di tanah-air.
Pada bulan Agustus tahun 1959, dalam zaman Demokrasi Terpimpin, timbul lagi sanering ter-hadap uang Rupiah yang beredar, sembilan tahun setelah yang pertama. Uang kertas “Rp.1000,- bereda dipangkas nilainya menjadi tinggal Rp.1,-. Pemangkasan Rupiah ini merupakan pinjaman konsolidasi negara kepada rakyatnya yang akan dikembalikan kelak. Devaluasi Rupiah kedua yang menyisakan pendapatan pekerja berpenghasilan tetap tinggal hanya seperseribu dari sebe-lumnya, menyebabkan kehidupan rakyat dimana-mana kian sengsara. Meski awalnya terlihat harga barang dan jasa turun di pasaran, akan tetapi karena devaluasi akhir ini tidak disertai jami-nan mata uang Rupiah diperlukan, harga bahan kebutuhan pokok rakyat dan jasa kemudian melambung dengan cepat.
Pada bulan Oktober 1958 bantuan Covert Operation (Kegiatan Terselubung) pada PRRI/Per-mesta berdatangan dari: Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan para sekutu Perang Dunia ke-II lainnya. Negara-negara ini membantu perjuangan PRRI/Permesta bermaksud membendung me-luasnya pengaruh komunis yang mengajarkan Sistim Ekonomi Komando (SEK) yang bertolak belakang dengan Sistim Ekonomi Pasar (SEP) yang liberal kapialis yang sejak lama telah ber-kembang di kawasan Asia Tenggara. Komunisme juga mengajarkan perlu hadirnya pemerinta-han yang totaliter atas nama negara dalam negara dipimpin satu partai, bahkan oleh satu orang, yang menjalankan kekuasaan tanpa dapat dikritik, termasuk hadirnya partai opisisi. Pandangan politik demikian jelas bertolak belakang dengan prinsip liberal demokratis yang berkembang di banyak negara maju dan berkembang selama ini, dimana kekuasaan pemerintah berada di tangan partai yang terpilih demokratis dalam pemilu, dan dibolehkannya ada kritik terhadap yang sedang berkuasa, begitu kehadiran partai-partai yang beroposisi terhadap partai yang memerintah dalam negara merdeka.
Tak pelak lagi sekutu-sekutu Amerika Serikat dan Inggris di kawasan Asia Timur, mulai Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura, dikerahkan untuk menolong pem-berontakan PRRI/Permesta dengan beragam sumber daya: uang, senjata, personalia, dan latihan militer. Pelabuhan-pelabuhan: Dumai, Painan, lalu dimanfaatkan; termasuk danau Singkarak un-tuk disinggahi kapalterbang air Catalina. Covert Operation Sekutu dikendalikan dari Teluk Subic yang berada di Filipina, dan Singapura.
Pada tanggal 18 April 1959, lahir anak ayah ketujuh, putra, si Uncok, diberi nama si Arif Mulia. Kelahiran putra yang lama dinantikan membahagiakan keluarga, demikian juga kahanggi; ter-lebih di masyarakat Batak, karena anak laki-laki ialah yang dalam adat Batak disebut: “Sisuan Bulu” (si Penanam Bambu), yaitu anak kelak diharapkan mengurus kampung halaman yang di-tinggalkan orang-tuanya, juga meneruskan kekerabatan Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga), yakni keluarga besar marga Nasution dari Muara Botung. Pada tahun kelahiran si Arif Mulia, ayah dan ibu serta lainnya pulang ke Muara Botung dari Pematang Siantar untuk merayakan I-dul Fitri 1 Syawal 1378 H. Pertemuan dengan Ompung di Bona Bulu bertujuan selain melaksa-nakan adat Batak mangupa anak tubu (baru lahir), juga menyampaikan ucapan syukur karena ayah telah mendapat karunia anak laki-laki yang lama dinantikan.
Meski bangsa Indonesia telah merdeka satu dasawarsa lamanya, mempunyai anak yang baru lahir ketika itu menjadi persoalan tersendiri karena langkanya makanan dan kebutuhan bayi la-innya. Ketegangan pusat dan daerah kala itu, menambah beban kaum ibu mendapatkan makanan bayi sampai balita. Selain dari itu, bahan kebutuhan pokok, seperti: sandang dan pangan hanya dapat diperoleh lewat antrian panjang karena terbatasnya persediaan.
Dengan timbulnya pemberontakan PRRI, perjalanan pulang kampung dengan kendaraan dari Pematang Siantar harus mendapat pengawalan militer. Begitu pula saat kembali dari dari Muara Botung, kendaraan yang membawa ayah sekeluarga harus kembali masuk konvoi (pengawalan) militer agar selamat sampai ke tujuan.
Hubungan Indonesa Amerika kian memburuk menelusuri waktu, dan politik luar negeri Uni-Sovyet terhadap negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, menjalani perubahan besar. Hal ini tampak setelah wafatnya Josif Vissarinovich Stalin tahun 1953, lalu digantikan Perdana Menteri Malenkov, kemudian Khruschev. Uni-Sovyet tidak lagi memandang Indonesia sebagai pengikut setia Amerika Serikat dan para sekutunya dari blok Barat. Masa ini digunakan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang memerintah untuk memperbaiki hubungan bilateral dengan misi diplomatik. Sejalan kebijakan pemerintah yang baru, PKI beraliran Marxisme-Leninisme ketika itu mendapat peluang untuk mengembangkan pengaruh di tanah-air, yang pada masa sebelumnya hampir tidak mungkin ia dapatkan.
Dari tahun 1954 hingga tahun 1958, Indonesia kembali melancakan perjuangan pembebasan Irian Barat di Majelis Umum PBB, namun tidak membawa hasil. Indonesia menghentikan perju-angan diplomatik di Badan Dunia itu, dan mengubahnya jadi konfrontasi militer Trikora (Tiga Komando Rakyat) guna mengenyahkan Belanda dari Irian Barat (Papua). Pada tanggal 6 April 1956 Indonesia melakukan pembelian senjata dari negara-negara Eropa Timur, antara lain: Po-landia, Cekoslovakia, Yugoslavia, dan berupaya mengubah peta kekuatan militer di ujung Timur nusantara. Indonesia yang semula pembeli senjata setia Blok-Barat, lalu pindah ke Blok-Timur termasuk Uni-Sovyet (Rusia). Front Nasional untuk Pembebasan Irian Barat kemudian didirikan tahun 1958, dilanjutkan mobilisasi kekuatan masyarakat (sosial) di seluruh tanah-air untuk mem-bebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda.
Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, rakyat Indonesia dituntut untuk mengencangkan ikat pinggang dan menjalani hidup sederhana. Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno melancarkan juga permusuhan kepada negara-negara, yang menurut penilaiannya berhaluan ka-pitalis dan liberal demokratis. Pemerintah Indonesia menamakan negara-negara tersebut: The Old Established Forces, disingkat Odefos. Sebagai akibatnya export hasil bumi ke negara-negara tersebut, begitu juga import kebutuhan pokok rakyat dari negara-negara ini, mendapat gangguan yang membuat kelangkaan sandang pangan di dalam negeri. Sebaliknya hubungan dagang de-ngan negara-negara berhaluan sosialis dan komunis, yang menurut penilaian pemerintah Indo-nesia saat itu sebagai negara-negara: The New Emerging Forces, disingkat Nefos, tidak mem-bawa manfaat ekonomi, karena orang-orang sosialis dan komunis memang hidup sedehana di negara mereka masing-masing dan tidak banyak mengimport dari Indonesia. Kebijakan pemerintah mengganti hubungan diplomatik dari Blok-Barat ke Blok-Timur, tidak membawa per-baikan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat di tanah-air, hanya mengakrabkan hubungan persa-habatan antar bangsa dan budaya semata.
Dalam zaman Demokrasi Terpimpin, kaum intelektual, pemimpin masyarakat, para cendekiawan, mahasiswa, dan masyarakat lainya diharuskan mengikuti indoktrinasi yang dilaksanakan Departemen Penerangan RI, ketika itu dipimpin Haji Dr.Ruslan Abdulgani. Mereka diminta un-tuk menelaah dan mendalami isi buku TUBAPI (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi) yang dikeluarkan pemerintah lewat Departemen Penerangan, sebagai pengamalan Ideologi Pancasila yang digariskan pemerintah. Tubapi juga ditetapkan sebagai satu-satunya rujukan bangsa untuk menu-lis: karya ilmiah, skripsi, makalah, termasuk menyusun bahan ceramah atau pidato, dengan me-ngutip butir-butir ajaran politik yang digariskan pemerintah berlaku untuk Indonesia. Kemudian melarang para intelektual bangsa membaca buku-buku keluaran Amerika Serikat dan para sekutu Barat berpandangan demokrasi liberal yang kapitalis; karena dianggap pemerintah saat itu tidak sesuai dengan ajaran Pancasila yang menjadi ideologi Bangsa Indonesia, demikian juga kepribadian Bangsa Indonesia. Menteri Penerangan R.I. seorang haji yang membidani lahirnya TU-BAPI saat itu lalu diberi gelar: Haji Juru Bicara Usdek Manipol, disingkat Haji Jubir Usman. Be-ragam buku bahasa Inggris terbitan Uni-Sovyet dan negara-negara sosialis lainnya membanjiri toko-toko buku di seluruh nusanara menggantikan buku-buku terbitan negara-negara kapitalis dan liberal demokratis yang pada masa sebelumnya menjadi sumber ilmu pengetahuan. Datang pula membanjiri pasar buku tanah-air dari India terbuat dari kertas koran.
Dengan kepindahan ayah ke Pematang Siantar dari Bogor, anak-anak ibu harus pula meneruskan sekolah. Putri ayah sulung melanjutkan ke SR Katolik di jalan Marihat. Karena merasa tidak co-cok, lalu pindah ke SR VI di jalan Simarito, Timbangalung. Setelah SR ia meneruskan ke SMP Negeri II di jalan Kebun Rambung (Kartini Ujung). Dari SMP, putri sulung ayah melanjutkan ke SMA kampung Keristen, lalu pindah ke SMA Negeri I Pematang Siantar. Putri ayah kedua me-neruskan ke SR VI. Setelah lulus, melanjutkan ke SMP Taman Siswa di jalan Kartini, kemudian melanjutkan ke SMA I di jalan Pantoan. Putri ayah ketiga meneruskan pelajaran ke SR Latihan di jalan Sekolah. Putri ayah keempat juga meneruskan pelajaran ke SR Latihan. Putri ayah keli-ma masuk TK Taman Yohana di jalan Marhaen. Dari Muara Botung datang bergabung ke Pema-tang Siantar abang Lukman untuk melanjutkan ke SMA I, dan dari sana ke Unversitas Nomensen cabang Pematang Siantar.
Selama sekeluarga berdiam di Pematang Siantar, dua orang adik ayah dari Muara Botung turut bergabung, yakni: uda Ruslan dan uda Sultoni melanjutkan sekolah. Usai SMP Kotanopan uda Ruslan melanjutkan ke SMEA di Medan, sedangkan uda Sultoni dari SR Kotanopan, melanjut-kan ke SMP II di jalan Kartini Ujung. Dari SMP, uda akhir ini melanjutkan ke STM di Medan. Yang juga turut bergabung dari Muara Botung Fahruddin Nasution, kahanggi ayah dan Abdul Hakim Lubis mora ayah merantau sekaligus mencari kerja. Ada pula kakak Nurcahaya dan kakak Masdalifah datang bergabung, saat itu uak Sutan Batara masih tinggal di Muara Botung. Ada lagi kakak Hasbi dari Tobang yang ikut ke Pematang Siantar dari kampung untuk kursus menjahit. Selain dari itu, ada pula Tulang Amran Harahap datang dari Pargarutan Gunung Ma-naon bergabung di Pematang Siantar.
Selama berdiam di Pematang Siantar, ibu memanfaatkan halaman rumah di jalan Marhaen untuk bercocok tanam dan beternak ayam itik. Banyak hasil tanaman dan ternak yang diproleh ketika itu turut menopang ekonomi rumah tangga yang tergolong sulit saat itu. Meski anak-anak ayah masih bersekolah semua, tertua masih duduk di kelas akhir SMA, namun ibu dan ayah tidak se-gan menjadi wakil orangtua pegawai Brigade Planologi Kehutanan yang melangsungkan per-nikahan. Kebanyakan orangtua para pegawai Brigade Planologi Kehutanan di Pematang Siantar berdiam di luar pulau Sumatera, karena itu ayah dan ibu kerap diminta untuk menjadi orangtua pengganti yang hadir, mulai saat meminang sampai dengan penyelenggaraan pernikahan di ru-mah dalam adat setempat.
Demikianlah, selama berdiam di Pematang Siantar, ayah dan ibu telah menjadi wakil orang tua pegawai kantor Brigade Planologi Kehutanan dari: abang Karim Lasoma dari Gorontalo, Sula-wesi Utara, yang mempersunting Latifah Hanum, boru Regar dari Baringin; abang Muhamad Fa-dil dari Kalimantan, yang menikah dengan Ida, boru Harahap dari Siharangkarang; dan abang Karim Omar Dallah dari Palembang yang menikah dengan putri Tapanuli Selatan. Di ibukota Tanah Simalungun itu lahir pula anak ayah kedelapan, putri, tanggal 2 September 1961, dan di-namakan si Tety. Kelahiran putri ayah akhir ini menjelang turunnya Surat Keputusan yang menyatakan bahwa ayah akan kembali dipindahkan di Bogor.
Kabinet Kerja II
Kabinet Kerja I lalu digantikan oleh Kabinet Kerja II, berlangsung dari tanggal 18 Februari 1960 hingga 6 Maret 1962, juga bersifat Presidentil. Adapun program kerjanya ialah sebagai berikut:
1. Menyediakan sandang pangan untuk rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya,
2. Melaksanakan pengamanan rakyat dan negara,
3. Meneruskan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik untuk
merebut Irian Barat.
Beragam peristiwa penting muncul dalam masa kerja kabinet ini adalah: pada tanggal 24 Juni 1960 berhasil dibentuk DPR-GR (DPR-Gotong Royong); antara tanggal 10 Nopember hingga tanggal….Desember 1960, berlangsung Sidang Umum MPRS (MPR Sementara) yang mela-hirkan “Manifesto Politik Republik Indonesia” dan menjadi “Garis-garis Besar Haluan Negara”, sekaligus “Garis-garis Besar Politik Pembangunan Nasional Semesta Tahap Pertama 1961-1969”; Sidang Umum juga mengangkat Presiden Sukarno menjadi “Pemimpin Besar Revolusi Bangsa Indonesia”; sekaligus “Mandataris MPRS”.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dilancarkan kembali setelah beragam usaha dilakukan lewat PBB tidak membawa hasil. Pada tahun 1960 Presiden Sukarno menyampaikan pidato di PBB berjudul “To Build The World Anew” (Membangun Kembali Dunia) guna merombak organisasi Badan Dunia saat itu. Pada tanggal 17 Agustus 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda, dan negeri Kincir Angin itu lalu mengirim kapal induk Karel Doorman miliknya menuju perairan Papua.
Pada tanggal 4 Maret 1961, Republik Indonesia menandatangani perjanjian pembelian senjata besar-besaran dengan Uni-Sovyet dengan berhutang untuk memperkuat jajaran angkatan perang. Di Jakarta dibentuk KOTI (Komando Operasi Tertinggi) berpusat di Istana, guna merebut Irian Barat (Papua), langsung dibawah komando Kepala Negara. Dan, pada tanggal 14 Agustus 1961 semua gerakan kepanduan yang ada di tanah-air, semula bernama Padvinderij di zaman Hindia Belanda silam sampai gerakan kepanduan setelah Indonesia merdeka, kemudian dilebur jadi sa-tu, lalu oleh Presiden Sukarno diberi nama baru: “Pramuka”.
Bogor Kedua
Terhitung tanggal 1 September 1961, pada ketika Menteri Pertanian R.I. dijabat Sadjarwo Tjondronegoro S.H., ayah diangkat menjadi Kepala Djawatan Kehutanan Republik Indonesia berke-dudukan di Bogor. Kepindahan ayah untuk kedua kalin ke Bogor tidak segera disertai ibu, karena putri bungsu ibu masih belum cukup tiga bulan untuk diizinkan naik pesawatterbang. Ibu masih harus tinggal di Pematang Siantar menanti izin dokter membawa bayi dari Medan ke Jakarta dengan pesawatterbang. Karena itu yang berangkat lebih dahulu bersama ayah ke Bogor anak-anak pertama dan kedua, guna mengurus kepindahan ke SMA di tempat yang baru. Berbeda saat mengikuti Akademi Kehutanan silam, kali ini ayah mendapat Rumah Dinas di jalan Belitung no.15, Baranangsiang, tidak jauh dari Kebon Raya. Akan tetapi karena rumah itu masih didiami Bapak Sutarmo yang akan digantikan, maka ayah bersama kedua putrinya terpaksa untuk be-berapa saat tinggal di Hotel Salak.
Dalam mengurus sekolah di Bogor, anak ayah yang sulung diterima di SMA Nergeri II-Pasti, duduk di kelas III, tetapi masuk sore. Anak ibu kedua diterima di sekolah bernama SMA Negeri I-Sosial, duduk di kelas I, namun masuk pagi. Kedua sekolah SMA ini menempat gedung yang sama di Bogor dan terletak di jalan Ir.Haji Djuanda menghadap ke Kebun Raya.
Setelah anak ayah yang bungsu genap berumur tiga bulan, ibu dengan kelima anak lain lalu me-nyusul ke Bogor untuk bergabung dengan ayah yang sudah lebih dahulu tiba disana. Tidak lama setelah kedatangan ibu, pengurusan sekolah anak di Bogor diteruskan dengan anak-anak: ketiga, keempat, dan kelima. Yang ketiga dan keempat diterima di SMP II jalan Gedung Sawah duduk di kelas I, sedangkan anak ayah kelima diterima SD Regina Pacis di jalan Ir Haji Juanda. Adapun anak ayah keenam baru berumur dua tahun sementara ketujuh tiga bulan sehingga masih perlu tinggal di rumah bersama ibu.
Adapun masyarakat kehutanan yang tingga di jalan Bangka dan jalan Belitung Baranangsiang Bogor ketika itu, adalah sebagai berikut:
1. Soekowijono 11. Jap Kong Djoen
2. Ir.Hasan Basjaroedin Nasoetion 12. Soejoto
3. Wakidjo 13. Priono
4. Karsoedjono 14. Basatoea Siregar
5. Waldemar Simandjoentak 15. Hoetajoeloe
6. Soetamsi 16. Soeyoto (kecil)
7. Banjaran Sari 17. Lorima
8. Ir.Soeherman 18. Mairoekoe
9. Ir.Wisatja 19. Ki Soeroyo
10. Hardono 20. Soekamto
Selain dari itu terdapat juga kaum kerabat dari Tapanuli Selatan dan handai tolan lain yang mencari nafkah di tanah perantauan dan bermukim di kota-kota bawah ini:
a. Bogor.
1. Tulang Sutan Diangkola, marga Harahap dari Pijorkoling, Padang Sidempuan
2. Uak Djatinaja Lubis dari Pakantan.
3. Oom dr Diapari Siregar dari Bunga Bondar.
4. Tulang Mara Sutan Harahap dari Pargarutan Gunung Manaon / Tante Lumongga
Daulae.
5. Tulang Zainuddin Harahap dari Pargarutan Gunung Manaon.
6. Oom Dr. Hadrian Siregar dari Bunga Bondar.
7. Ny. Drh Anwar Nasution dari Pidoli.
8. Uak Radja Livat Lubis dari Pakantan.
9. Uak Bachtiar Ananda Siregar dari Gunung Tua.
10. Ompung Firman Harahap dari Pargarutan Julu.
11. Tulang Hasbullah Harahap dari Pargarutan Julu.
12. Tulang Gindo Harahap dari Pargarutan Julu;
13. Tulang Kamin Harahap dari Pargarutan Julu.
14. Oom Dahlan Lubis dari Muara Soma.
15. Uak Kaharudin Lubis dari Pakantan.
16. Abang Partomuan Rakun Lubis dari Pakantan.
17. Oom Umar Lubis dari Mandailing / Tante Upik Nasution.
18. Oom Burhanuddin Pane dari Lancat, Sipirok.
19. Oom Sanusi Pane dari Lancat.
20. Uak Patuan Sorimuda Siregar dari Baringin, Sipirok.
21. Tulang Monang Lubis dari Tamiang.
22. Tulang Kolonel Zulkifli Lubis dari Tamiang.
23. Tulang Talmin Lubis dari Tamiang.
24. Abang Drh. Abdul Muis Nasution, dari Sayumahincat / Kakak Dewani Siregar.
25.
26.
27.
b. Jakarta:
1. Ompung Efendi Siregar dari Huraba / Boru Daulae.
2. Ompung Adenan Harahap dari Batuna Dua, Padang Sidempuan / Boru Regar.
3. Amangboru Amron Lubis dari Tamiang.
4. Oom Basjarudin Nasution dari Botung.
5. Oom Gunung Tua Siregar dari Gunung Tua.
6. Amangboru Patuan Malaon, marga Lubis dari Pakantan.
7. Lubis / Tante Orni.
8. Oom Bachter Lubis dari Muara Soma.
9. Oom Muchtar Lubis dari Muara Soma.
10. Oom Jenderal Dr.Abdul Haris Nasution dari Hutapungkut.
11. Oom Jusuf Malik, marga Batubara dari Hutapungkut.
12. Oom Malik Selawat dari Deli (Medan), Sumatera Utara.
13. Oom Saleh Siregar dari Sipirok. (Istrinya kakak beradik dengan Malik Selawat).
14. Oom Parada Harahap dari Pargarutan.
15. Tulang Djohar Harahap dari Pargarutan./ Ompung Siti Ana Siregar di Rawasari.
16. Uak Intan Pilihan dari Pargarutan, istri Uak Bahrum Siregar dari Sipirok.
c. Bandung:
1. Tulang ….. Harahap dari Batuna Dua dari Jalan Cipaganti / Boru Simatupang.
2. Amangboru Samin Pohan dari Parausorat./ Kakak Longga Siregar Sipenggeng.
3. Abang Burhanuddin Pane dari Lancat.
4. Oom Burhanuddin Nasution dari…….
5. Ompung Burhanuddin Harahap dari Batuna Dua.
6.
7.
8.
9.
10.
Dalam masa kembali berdiam di Bogor kedua kalinya, keadaan tanah-air diwarnai kian meningkatnya konfrontasi Indonesia Belanda untuk membebaskan Irian Barat (Papua). Kepindahan keluarga yang kedua kali ke Bogor juga memperlihatkan banyak perubahan kepada ibu, terlebih saat ayah menjabat Kepala Djawatan Kehutanan. Dorongan berorganisasi dan keinginan melakukan kegiatan sosial berjangkauan luas terbentang dihadapan ibu. Ibu kemudian terjun kedalam PWK (Persatuan Wanita Kehutanan) dan lngsung menjadi ketuanya.
Ibu selanjutnya aktif mendampingi Kepala Jawatan Kehutanan berkunjung berbagai daerah di nusantara, kendati si Tety masih bayi dan si Ucok baru dua tahun. Ketujuh anak bersaudara ke-rap ditinggal di jalan Belitung no.15 Bogor, saat ibu harus mendampingi ayah melakukan perja-lanan dinas; dititipkan saja kepada tetangga keluarga kehutanan Bogor. Jabatan ibu sebagai ketua PWK mengharuskannya bepergian degan ayah kemana-mana selama ayah menjabat Kepala Ja-watan Kehutanan. Kota Bogor di tahun enam puluhan aman untuk berdiam, meski di jalan Belitung 15, Baranagsiang, ketiika itu termasuk daerah pinggiran. Hampir semua orang kehutanan di Bogor yang tengah bertugas ke luar kota menitipkan begitu saja anak-anak mereka kepada ke-luarga-keluarga kehutanan di Bogor. Belum pernah terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan selama ini ketika anak-anak para pejabat kehutanan ditinggal dalam perjalanan dinas, terkecuali rasa sepi oleh ketidak hadiran orang tua yang bepergian menjalankan tugas keluar kota, walau gerombolan DI-TII di Jawa Barat masih dikhabarkan berkeliaran di surat kabar ketika itu.
Pada tanggal 1 – 6 September 1961, di Beograd, ibukota Yugoslavia, dikhabarkan berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Non-Blok yang diprakarsai sejumlah negara: Indonesia, Yugoslavia, India, Mesir dan Afganistan. Kemudian pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando Rakyat, disingkat Trikora, dari Yogyakarta. Adapun muatan Tikora itu ialah:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua bikinan Belanda,
2. Kibarkan sang merah putih di Irian Barat,
3. Bersiaplah untuk mobilisasi guna mempertahankan kemerdekaan tanah-air.
Pada tanggal 2 Januari 1962, Komando Mandala untuk Pembebasan Irian Barat berkedudukan di Makassar lalu dibentuk dan dipimpin Jenderal Soeharto. Pada tanggal 15 Januari 1962 pecah per-tempuran laut antara Angkatan Laut Republik Indonesia melawan Angkatan Laut Belanda di laut Arafuru. PKI yang mendapat banyak kesempatan berperan dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, tidak lupa mengorganisir kunjungan tokoh-tokoh negara Blok-Timur untuk berkunjung ke Indonesia, antara lain dari: Hongaria dan Polandia. Mereka datang untuk melihat konfrontasi Indonesia-Belanda dari dekat di ujung Timur kepulauan nusantara.
Selain menyiagakan ketiga angkatan perang saat itu, Indonesia juga melakukan mobilisasi umum dan latihan militer pada warganegara di dalam negeri, khususnya kaum pemuda. Resimen maha-siswa lalu dibentuk di kota-kota besar, dan latihan militer pun diberikan, sehingga banyak waktu perkuliahan tersita saat itu. Latihan militer berkembang dari baris-berbaris hingga latihan tempur di sejumlah medan di luar kota. Selain dari itu, ada pula anggota resimen mahasiswa yang dike-rahkan mencacar warga guna menghindarkan penyebaran wabah, dan lainnya.
Mobilisasi umum lalu berkembang juga ke pegawai negeri sipil Republik Indonesia tersebar dalam departemen dari pusat sampai daerah. Tidak hanya kaum pria yang terlibat latihan militer, tidak terkecuali juga kaum wanita dikerahkan dari pusat sampai daerah, sebagaimana praktek di negara-negara sosialis dan komunis dari Blok-Timur yang populer di Indonesia ketika itu. Maka ibu yang telah berumur diatas 40 tahun, tidak luput ambil bagian dalam latihan militer. Sebagai komandan dengan lantang meneriakkan aba-aba baris berbaris kepada peleton wanita Djawatan Kehutanan di kota Bogor yang dipimpinnya. Peleton kaum ibu inipun terpaksa menukar hari-hari kesibukan rumah tangga kegiatan baris-berbaris militer di halaman kantor Djawatan Kehutanan Bogor yang menghadap ke Kebon Raya.
Pada tahun 1961 Amerika Serikat melantik Presiden baru, Dwight D. Eisenhour lalu digantikan John F. Kennedy. Presiden negeri Paman Sam baru ini mengemban misi politik luar negeri yang baru pula, berpaling dari apa yang dilakukan pendahulunya. Pada bulan Februari tahun berikut-nya, ia mengutus sang adik Jaksa Agung Robert Kennedy mengunjungi Indonesia, lalu Negeri Belanda, guna mengajak kedua negara berseteru berunding kembali. Pada bulan September 1961, persoalan Irian Barat lalu menjadi agenda pokok perbincangan Sidang Umum PBB.
Pada tanggal 12 April 1961, umat manusia dikejutkan pula oleh keberhasilan Uni-Sovyet me-ngirim antariksawan Yuri Alekseyevich Gagarin meninggalkan bumi meraih ketinggian orbit sa-telit dalam pesawat angkasa Vostok II. Ia memerlukan waktu 1 jam 29 menit mengitari bumi, dan menjadi orang pertama di dunia yang menyaksikan matahari terbit dan tenggelam belasan kali dalam sehari.
Kabinet Kerja III
Sebagaimana dua Kabinet Kerja pendahulunya, Kabinet Kerja III, memerintah antara tanggal 6 Maret 1962 hingga tanggal 13 Nopember 1963, lagi-lagi bersifat Presidentil; adalah hasil pe-ngelompokan orang-orang dari dua Kabinet sebelumnya. Sedangkan program kerjanya tidak ber-beda samasekali, yakni:
1. Menyediakan sandang pangan untuk rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya,
2. Melaksanakan pengamanan rakyat dan negara,
3. Meneruskan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik untuk
membebaskan Irian Barat.
Dalam UUD 1945 tertera, bahwa: DPA, DPR dan MPR merupakan badan-badan negara yang berada diluar Pemerintah, dan para anggotanya tidak diperbolehkan duduk dalam Kabinet. Akan pi dalam Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) dengan kekuasaan berada di tangan Kepala Negara, Presiden Sukarno dengan mudah menempatkan Ketua MPRS, Ketua DPRGR dan Wakil Ketua DPA menjadi wakil-wakil Perdana Menteri. Lalu Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua MPRS dan Wakil ketua DPRGR diangka setingkat Menteri, dan didudukkan dalam Kabinet. Keputusan kontrversial dibuat Kepala Negara saat itu membuka peluang pada PKI masuk kedalam jajaran pemerintah yang berwenang membuat keputusan politik.
Pada tahun 1962, pengaruh Uni-Sovyet pada Indonesia telah sangat besar ketimbangn awal dibu-kanya hubungan diplomatik oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada tahun 1957. Dan ban-tuan yang didatangkan negeri Beruang Merah itu telah pula melampaui yang pernah diterima Indonesia dari negeri Paman Sam, baik ekonomi demikian juga perlengkapan perang; guna me-ngimbangi kekuatan militer Belanda di Irian Barat didukung Amerika Serikat dan para sekutu-nya, atara lain: “Jeep Rusia” keluaran pabrik GAZ, menjadi pesaing “Jeep Wilis” dari Amerika Serikat, kian banyak berkeliaran di jalan-jalan ibukota.
Pada tanggal 22 Oktober 1962 Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy mengung-kapkan foto udara diambil pesawat mata-mata U2 Amerika Serikat, yang memperlihatkan pem-bangunan instalasi peluru kendali Uni-Sovyet di Kuba. Negeri Paman Sam itu kemudian mem-blokir wilayah laut dan udara seputar kepulauan Antilla Besar yang terletak di laut Karibia, dan mengeluarkan ultimatum 6 hari pada Perdana Menteri Uni-Sovyet Nikita Khruschev memberi tanggapan; atau dihancurkan, menimbulkan krisis Kuba. Perang Dunia ke-III telah mengintai di-ambang pintu. Meski Uni-Sovyet ketika itu membantah instalasi peluru kendali ditujukan ke jan-tung Blok Barat, akan tetapi setelah blokade berlangsung dua pekan negara Beruang Merah ke-mudia mengalah, lalu berjanji akan menarik instalasi peluru kendali yang telah terpasang di Kuba. Kendati Presiden Fidel Castro menolak dilakukannya pemeriksaan darat oleh Amerika Serikat atas pembongkaran instalasi peluru kendali milik Uni-Sovyet di pulau itu, namun negeri Paman Sam terus mengawasi pelaksanaanya berbulan lamanya di laut Karibia dari udara.
Keamanan dalam negeri Negara Republik Indonesia menampakkan kemajuan dengan tertang-kapnya tokoh DITII Karto Suwiryo di Jawa Barat pada tanggal 4 Juni 1962.
Perseteruan Indonesia dengan Belanda atas Irian Barat semkin meruncing, menyebabkan PBB menurunkan Ellsworth Bunker, seorang diplomat Amerika Serikat mendesak kedua fihak yang berseteru kembali berunding. Kali ini perundingan berlangsung New York pada tanggal 16 A-gustus 1962 antara Menlu Dr. Subandrio dengan Duta Besar Belanda Dr. H.J. van Royen yang ditengahi Pejabat Sekjen PBB U Thant. Perundingan yang alot berhasil melahirkan kesepakatan segi-tiga: Belanda, PBB, dan Indonesia. Di tanah-air, tanggal 19 Nopember 1962 Presiden Sukarno mengumumkan pencabutan dekrit “Negara dalam keadaan bahaya” yang berhubungan dengan pembebasan Iran Barat. Perjanjian New York lalu menelurkan resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 September 1962 yang melahirkan kesepakatan dibawah ini:
1.Pada tanggal 1 Oktober 1962, Bendera PBB dikibarkan berdampingan dengan Bendera Belanda di Irian Barat. Sejak saat itu pemerintahan di Papua dijalankan UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority atau Badan Pelaksana Pemerintahan Sementara PBB) yang berkedudukan di Hollandia (Jayapura), Papua Barat.
2.Pada tanggal 31 Desember 1962 Dwi Warna dikibarkan mendampingi Bendera PBB sedangkan Sitiga Warna, atau Bendera Belanda, diturunkan.
3. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah UNTEA menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada pemerintah Negara Republik Indonesia, dan Bendera PBB di Hollandia diturunkan.
Sejumlah negara anggota PBB lalu mengutus para wakil mereka menjadi pejabat yang bertugas dalam UNTEA. Dari Indonesia, Departemen Dalam Negeri R.I. mengutus M. Diri Harahap yang kemudian menjadi Residen di Hollandia; dan yang akhir ini beralih menjadi: Jayapura.
Pada tangal 24 Agustus 1962, jam 14.30 WIB, siaran televisi hitam-putih untuk pertama muncul di ibukota Republik Indonesia, bertepatan dengan pembukaan pesta olehraga Asian Games IV dipancarkan langsung dari gelanggang olahraga Senayan. Pesawat penerima televisi digunakan masyarakat untuk menangkap siaran televisi saat itu berasal rakitan dalam negeri bikinan: Leppin, sebuah badan kerjasama antara Departemen Penerangan dengan Departemen Perindustrian Indonesia.
Banyak kejadian yang kemudian mewarnai suasana dalam negeri ketika itu, antara lain: pema-syarakatan Manipol Usdek; Manipol Usdek lalu dijadikan acuan untuk segala kegiatan kenega-raan; ada pula gerakan Nasakomisasi (Nasionalisme-Agama-Komunisme) yang perlu terus di-galakkan; penyelewengan terhadap UUD 1945 amat kentara, dan salah satu daripadanya ialah keputusan Sidang Umum MPRS tanggal 15 hingga 22 Mei 1963 yang menetapkan Presiden Su-karno/Mandataris MPRs menjadi Presiden seumur hidup. Padahal, untuk yang disebut akhir ini dalam UUD 1945 telah jelas tertulis: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama li-ma tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Tidak ada pasal yang memberi kewenangan pada seseorang untuk menjadi Presiden seumur hidup.
Gerakan anti Blok-Barat berikut antek-anteknya, yang oleh pemerintah Republik Indonesia ketika itu dicap sebagai imperialis kian keras disuarakan. Sebagai akibatnya Kedutaan Besar R.I. di Kuala Lumpur didemonstrasi massa. Massa di Indonesia kemudian membalas, dan Kedutaan Besar Persekutuan Tanah Melayu (ketika itu Malaysia dan Singapura) dan Kedutaan Besar Ing-gris Raya di Jakarta juga ikut didemonstrasi massa. Bahkan Kedutaan Besar Inggris Raya yang terletak di Bundaran Hotel Indonesia dibakar habis para demonstran pada saat itu.
Beragam langkah yang dilakukan pemerintah bercorak politik mercusuar meyebabkan uang Rupiah kian merosot nilainya terhadap Dollar Amerika. Daya beli masyarakat berpendapatan tetap, seperti: pegawai negeri maupun swasta, tidak terkecuali rakyat banyak terhadap bahan kebutuhan pokok: sandang, pangan, dan lain sebagainya terutama yang didatangkan dari luar negeri semakin lemah. Untuk mengatasi berbagai persoalan ekonomi yang semakin memburuk di tanah-air, pemerintah memperkenalkan Deklarasi Ekonomi, disingkat Dekon, dan disusul Pera-turan Pemerintah (PP) tertanggal 26 Mei 1963. Akan tetapi kedua langkah yang dibuat Presiden Sukarno ketika itu tidak membawa perbaikan diharapkan, dan ekonomi Indonesia di tanah-air terus memburuk, inflasi meningkat, dan rakyat semakin menderita kehidupannya menelusuri perjalanan waktu.
Pada tanggal 22 Nopember 1963 di Jakarta Indonesia, berlangsung Games of the New Emerging Forces pertama, disingkat Ganefo I, diikuti oleh 48 negara: Asia, Afrika, dan Amerika Latin, un-tuk menandingi Olimpiade Internasional. Menurut rencana, Ganefo I akan disusul dengan Gane-fo II dan begitu seteruaya, karena pemerintah Republik Indonesia saat itu menganggap Olimpia-de Internasional hanya memperhatikan negara-negara kaya yang oleh pemerintah Indonesia keti-ka itu dicap sebagai negara-negara imperialis dan neokolonialis.
Seruan “Go to Hell with your Aid” lalu dilontarkan pemerintah Indonesia kepada negara-negara berhaluan ekonomi liberal dan kapitalis. Sebaliknya seruan “Berdiri diatas kaki sendiri, disingkat berdikari” diserukan kepada seluruh anak bangsa. Kedua langkah ini merugikan Indonesia, karena Sumber Daya Manusia (SDM) dalam negeri menjadi terisolasi dari kemajuan sosial dan ilmu pengetahuan serta teknologi dari dunia luar, begitu pula budayanya. Juga menjadi terhalang beragam kerjasama antar negara/bangsa maju dibidang-bidang: sosial, ekonomi, dan budaya relatif maju dan berkembang di berbagai bidang seperti dari Eropa dan Amerika Utara yang telah dinikmati negeri-negeri sekawasan: Malaysia, Thailand, Singapura, Taiwan dan Korea Selatan. Kelima negara ini dengan cepat memberantas buta huruf, lalu lewat pendidikan dan pelatihan SDM mengembangkan ekonomi negeri yang mensejahterakan rakyatnya. Sejumlah negeri ini bahkan memperihatkan pada dunia mutu SDM tinggi yang dapat mengalahkan keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) yang terdapat di dalam negeri.
Untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan pemerintah memperbaiki ekonomi yang mensejah-terakan kehidupan rakyat yang telah dijanjikan dalam revolusi fisik tahun 1945 silam, dikuman-dangkanlah seruan: “revolusi Indonesia belum selesai”; juga dalam pidato-pidato kenegaraan se-terusnya presiden Sukarno tidak lupa mengingatkan rakyat akan adanya pertentangan antara kubu “New Emerging Forces”, disingkat “Nefos”, dimana Indonesia bersama negara sosialis, komunis dan Non-Blok bernaung, melawan kubu “Old Established Forces”, disingkat “Oldefos”, yakni negara-negara yang menurut penilaian Indonesia saat itu liberal dan kapitalis serta neoko-lonialis. “Mana dadamu Oldefos, ini dadaku Nefos”, menjadi materi dialog konfrontatif yang terusmenerus dikumandangkan Kepala Negara dalam pidato-pidato yang berapi-api meminta simpati anak-anak bangsa di Indonesia, juga menagih kesediaan rakyat untuk tetap terus me-ngencangkan ikat pinggang mendukung kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia ketika itu.
Apabila dalam masa perjuangan kemerdekaan periode 1945 hingga 1950, kelangkaan pangan, sandang, dan lainnya, disebabkan blokade Belanda terhadap kapal-kapal dagang yang bergerak keluar masuk perairan nusantara, maka kelangkaan yang sama timbul satu dekade sesudahnya lebih dikarenakan kebijakan pemerintah Indonesia tengah terpenjara dalam logika politik Nefos melawan Oldefos. Kelangkaan akhir ini lebih dikarenakan Indonesia tidak ingin berdagang menjjual hasil bumi kepada negara-negara berlabel Odefos, istilah lain dari negara-negara Blok-Barat berhaluan liberal dan demokratis, dan hanya bersedia melakukan kegiatan ekonomi de-ngan negara-negara Nefos, alias negara-negara Blok-Timur yang berhaluan sosialis, komunis dan Non-Blok yang oleh pemerintah Indonesia yang berlabel new emerging forces itu.
Inilah logika politik pemerintah Indonesia di zaman “Demokrasi Terpimpin” dengan “Deklarasi Ekonomi” berikut selogan “berdikari”, yang menimbulkan dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat, menjadikan bangsa Indonesia tertinggal dari sejumlah bangsa sekawasan sedikitnya satu generasi dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk: mana-gemen, ekonomi, pemerintahan, kemasyarakatan, yang telah berkembang di dunia pasca Perang Dunia ke-II. Karena itu langkah percepatan perlu diambil guna melenyapkan ketertinggalan anak-anak bangsa dari sejumlah bidang dikemukakan dari sejumlah negara sekawasan.
Pada tanggal … …, di Jakarta berlangsung “Conference of the New Emerging Forces”, disingkat Conefo I, dihadiri 36 negara Asia-Afrika termasuk RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan RPA (Republik Persatuan Arab). Conefo dirancang untuk menandingi sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat. PBB kecil gagasan pemerintah Indonesia ketika itu dirancang bermarkas di Jakarta. Conefo I akan disusul pula dengan Conefo II dan seterusnya, sebagaimana halnya sidang-sidang umum PBB bermarkas di kota dagang terbesar Amerika Serikat yang kesohor itu.
Hubungan Indonesia dengan negara-negara sosialis dan komunis kian mesra menelusuri waktu, ini ditandai kunjungan sejumlah tokoh negara-negara Blok-Timur ketika itu, antara lain: Presiden Antonin Novotny dari Chekoslowakia, Presiden Liu Shao Chi dari RRC, Presiden Dr. Heinrich Lübke dari Jerman Timur. Juga bertandang ke Indonesia saat itu Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja, tidak terkecuali Presiden Woroshilov dari Uni-Sovyet. Kunjungan tokoh-tokoh Blok-Timur yang tergolong Nefos menurut penilaian pemerintah Indonesia ketika itu, melontarkan gagasan: “poros Jakarta – Pnom Penh – Beijing – Pyong Yang”, yang terkenal dalam kan-cah perpolitikan Indonesia ketika itu.
Pada tanggal 22 Nopember 1963 Presiden J. F. Kennedy dari Amerika Serikat tertembak di Dallas, negara bagian Texas, saat berkendaraan dengan atap terbuka keliling kota. Jiwanya tidak terselamatkan, menyebabkan Wakil Presiden Lyndon Baines Johnson naik ke tampuk kekuasaan di negeri Paman Sam itu.
Selama ayah berdiam di jalan Belitung no.15, terbetik khabar tulang Gulbachri mahasiswa UGM di Yogyakarta jatuh sakit. Ia kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, karena ada bujing tinggal disana, sehingga ada keluarga yang akan menjenguk. Tulang dikha-barkan nenderita leukemia yang yang belum dapat disembuhkan saat itu. Yah dan ibu bergantian pergi ke Bandung dari Bogor untuk menengok tulang di rumah sakit sambil menemui bujing di rumahnya. Penyakit tulang rupanya semakin berat, dan tanggal 22 Maret 1963 tulang meninggal dunia. Jenazahnya dibawa ke Bogor lalu dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kebon Pedes, Bogor. Tulang merupakan kerabat dari Pargarutan Gunung Manaon pertama yang disemayamkan di TPU itu.
Dari Medan, keluarga Om Soepardi kemudia pindah ke Padang, lalu dari sana ke Jakarta dan tinggal di jalan Teuku Umar, berseberangan dengan kediaman Jenderal Abdul Haris Nasution. Kepindahan keluarga Om Soepardi tidak disertai anak-anaknya, karena yang laki-laki sedang kuliah di Fakultas Hukum di USU Medan sedangkan adiknya di Universitas Airlangga Surabaya. Setelah Nilawati selesai SMA di Bogor, putri kedua ayah lalu melanjutkan ke UI Jakarta, dan Bou dan Om Supardi dengan senang hati menerima puri ayah ini tinggal bersana mereka di jalan Teuku Umar.
Pada tahun 1963 ayah berangkat ke Konferensi Internasional World Wild Foundation, disingkat WWF, di Nairobi, Afrika untuk mewakili Republik Indonesia. Karena Indonesia ketika itu se-dang berkonfrontasi dengan Belanda untuk pembebasan Irian Barat, ayah harus menenpuh perjalanan pulang pergi lewat negara ketiga. Pada tahun yang sama, ayah juga melaksanakan perjalanan luar negeri dalam rangka kerjasama bilateral Lingkungan Hidup Indonesia-Jepang. Perjalanan luar negeri ketiga juga berlangsung tahun yang sama menghadiri Konferensi Kehu-tanan Internasional di…..
Pada tahun 1964, ayah, ibu, Arif, dan Tety pulang ke Muara Botung dari Bogor lewat Medan. Dari Medan ikut bergabung Uda Ridwan dan Nanguda (Surya Lubis) meramaikan pertemuan kahanggi di Bona Bulu ketika itu.
Kabinet Kerja IV
Sebagaimana dua kabinet sebelumnya, KabinetKerja IV berlangsung antara 13 Nopember 1963 hingga 27 Agustus 1964 masih bersifat Presidentil, masih tediri daril pengelompokan para anggota kabinet sebelumnya. Adapun program kerja Kabinet ini, ialah:
1. Sandang pangan,
2. Pengganyangan Malaysia,
3. Melanjutkan pembangunan.
Tiga tahun setelah ayah pindah ke Bogor untuk yang kedua, terhitung tanggal 1 September 1964, ayah diangkat menjadi Kepala Direktorat Kehutanan merangkap Pembantu Khusus Men-teri untuk pembinaan hutan. Setelah peristiwa G-30-S, terhitung tanggal 1.Nopember 1965 ayah memperoleh tugas tambahan, yakni sebagai Pejabat Direktur Lembaga Inventori Kehutanan.
Pada tanggal 31 Agustus 1966 ayah menjadi Kepala Direktorat Pembinaan Hutan, dan sejak tanggal 1 Oktober 1969 mencapai golngan Pegawai Utama Madya, golongan IVd. Pada tanggal 26 September 1967, ayah menjadi wakil Menteri Pertanian guna menghadiri konferensi National Zoological Park di Washington DC, Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, ayah kembali melawat ke negeri Paan Sam mengikuti seminar National Park Administration di Uni-versitas Michigan. Karena masa dinas ayah di lingkungan Departemen Pertanian akan segera berakhir dan memasuki usia pensiun, maka oleh Menteri Pertanian ayah diusulkan hijrah ke Departemen Pendidikan dan Pengajaran, karena pada departemen tersebut usia pensiun Staf Pengajar dapat mencapai 65 tahun.
Kabinet Dwikora
Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan NKRI, perseteruan Indonesia dengan negara-negara Oldefos, yakni negara-negara beraliran liberal dan kapitalis serta imperialis, ternyata tidak bera-khir; sebaliknya hubungan Indonesia dengan negara-negara Blok-Timur, yang menurut Indonesia ketika itu tergolong Nefos, beraliran sosialis dan komunis dan totaliter, semakin mesra.
Pada tanggal 16 September 1963 diproklamirkan berdirinya Negara Federasi Malaysia. Pengu-muman berdirinya negara baru ini disambut demonstrasi di Indonesia dan Philipina. Hubungan Indonesia dengan Malaysia dan Inggris lalu genting, menimbulkan konfrontasi antara Indonesia dengan bekas negara Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia dan Singapura). Kerajaan yang di-pimpin seorang Raja bergelar: Yang Dipertuan Agung dengan Perdana Menterinya: Tengku Ab-dul Rachman Al Haj beraliran “Liberal Demokratis” berada dalam keadaan tidak harmonis de-ngan Indonesia, ketika itu dipimpin oleh duet Presiden Sukarno dengan Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio beraliran “Sosialis dengan Demokrasi Terpimpin”.
Pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Sukarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat, disingkat Dwikora, berisikan perintah:
1.Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia,
2.Bantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Sabah, dan Serawak serta Brunai, untuk
memerdekakan diri, dan
3.Bubarkan negara Malaysia.
Pemerintah Indonesia menganggap “Persekutuan Tanah Melayu” telah berubah menjadi “Ke-rajaan Malaysia”, sebuah boneka Inggris dan Amerika Serikat di Asia Tenggara ketika itu.
Di diseluruh tanah-air ketika itu dimana-mana dihimpun para pemuda sukarelawan yang bersedia dikirim ke semenanjung Tanah Melayu dan Sarawak di Kalimantan Utara untuk mengganyang negara yang oleh pemerintah Indonesia ketika itu dituduh boneka imperialis. Sukarelawan terdiri dari pasukan pilihan yang ditempatkan di wilayah perbatasan sekitar Selat Malaka dan perbatasan dengan Kalimantan Utara. Kebanyakan aktivis ketka itu digerakkan PKI tampaknya ber-tujuan memanfaatkan momentum untuk merebut tampuk kekuasaan bilamana saatnya tiba. Perlu diketahui, PKI ketika itu sedang berganti haluan dari Marxisme-Leninisme (model Uni-Sovyet) menjadi Marxisme-Maoisme (model Cina), karena para pemimpin partai ini sedang beralih generasi dari tua menjadi muda. Juga menyimak keadaan masyarakat Indonesia yang didominasi kaum tani jelas lebih relevan dengan perjuangan kaum tani di Cina ketimbang perjuangan kaum buruh di Uni-Sovyet silam.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia berlangsung 3 tahun lamanya dan sangat melemahkan Indonesia di segala bidang. Banyak sukarelawan dikirim ke medan tempur di perbatasan gugur sia-sia melakukan tugas. Mereka harus berhadapan dengan pasukan bantuan didatangkan dari: Inggris, Kanada, Selandia Baru, dan Australia yang terlatih dan bersenjata lengkap lagi moderen pemenang Perang Dunia ke-II; tidak seimbang dengan persenjataan para sukarelawan yang diki-rim pemerintah Indonesia. Banyak yang tertangkap di Malaysia dan Singapura, dipenjarakan, lalu diadili, dan dihukum mati.
Pada tahun 1964 Presiden Diosdaldo Makapagal dari Filipina berkunjung ke Indonesia disambut pemerintah Indnesia dalam rangka menggalang persatuan diantara sesama negara Nefos: Asia, Afrika dan Amerika Latin guna melawan negara-negara Odefos.
Dalam sebuah acara Lembaga Pertahanan Nasional diselenggarakan di Bandung tanggal 11 Mei 1965, Presiden Sukarno mengatakan dengan jelas, bahwa musuh kita bukan datang dari Utara (Cina), akan tetapi dari Barat (Ingris dan Amerika). Pada bulan April tahun yang sama Perdana Menteri Cina Cho En Lay berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan Presiden Sukarno. Ia lalu mengusulkan pembentukan Angkatan ke-5 di Indonesia, terdiri dari kaum buruh dan kaum tani yang dipersenjatai. Dinamakan angkatan kelima, karena akan berada dalam urutan terakhir sesudah: 1.Angkatan Darat, 2.Angkatan Laut, 3.Angkatan Udara, dan 4. Angkatan Kepolisian. Pada tanggal 30 Agustus 1965 massa berdemonstrasi didepan kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta menuntut duta besar Amerika Serikat Marshall Green “go home”. Para demonstran pendukung Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra, lalu melakukan pembakaran piringan-piringan hitam lagu the Beatles, begitu pula buku-buku ilmu pengetahuan terbitan Barat. Sastra Manifesto Kebudayaan, disingkat Manikebu, dan kebudayaan lain termasuk yang datang dari Amerika Serikat dan sekutunya ditolak dan dilarang beredar di tanah-air.
Berawal surat Duta Besar Inggris Gilchrist di Jakarta ditujukan kepada Menteri Luar Inggris di negaranya lalu jatuh ke tangan Dr. Subandrio Menteri Luar Negeri Republik Indonesia saat itu. Surat tentang kedaan di Indonesia yang menceritrakan kerjasama Inggris dan Amerika Serikat di Indonesia, memuat untaian kata: “our local army friend”. Mempercayai keaslian surat, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia lalu menyampaikannya kepada Kepala Negara. Pada tanggal 26 Mei 1965 Presiden memanggil Pimpinan TNI lalu membacakan isi surat. A. Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat ketika itu mengatakan, bahwa tidak ada hubungan Perwira TNI dengan Inggris dan Amerika Serikat. Ia juga membantah adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat yang dipimpinnya.
Pada malam tanggal 30 September 1965 di Jakarta, terjadi Gerakan 30 September, disingkat G30S, lalu menculik tujuh orang pimpinan Angkatan Darat Republik Indonesia, disiksa, dan di-bunuh, lalu dimasukkan kedalam sumur tua di Lubang Buaya guna menghilangkan jejak. Sekelompok perwira Angkatan Bersenjata simpatisan PKI aliran Marxisme/Maoisme di Jakarta, ditu-duh melakukan makar terhadap: Menko HANKAM/KASAB, Menteri Panglima Angkatan Darat sampai dengan para asistennya. Para korban penculikan dituduh menjadi anggota Dewan Jende-ral yang berusaha menggulingkan Presiden Sukarno. Akan tetapi Jenderal Abdul Haris Nasution yang termasuk dalam daftar penculikan, lolos dari perbuatan makar.
Dalam siaran RRI, Letkol Untung, Komandan Balatyon Cakrabirawa Pengawal Presiden, me-ngemukakan Kabinet Dwikora demisioner, dan negara berada dibawah Dewan Revolusi Indo-nesia (DRI) kini berada dibawah kepemimpinnya bersama empat orang wakil. Keesokan harinya Presiden Sukarno mengemukakan bahwa dirinya sehat walafiat, dan mengatakan masih meme-gang tampuk pemerintahan; bahwa segala yang telah terjadi adalah biasa dalam sebuah revolusi. Pernyataan Presiden Sukarno, sekaligus Perdana Menteri Demokrasi Terpimpin dan Pemimpin Besar Revolusi, berarti bahwa Revolusi Bangsa Indonesia yang telah menyengsarakan kehidupan rakyat, mulai saat itu telah pula memangsa anak-anaknya sendiri, sebagaimana revolusi-revolusi yang telah berlangsung di sejumlah negara Tirai Besi aliran Marx-isme/Leninisme dan Tirai Bambu aliran Marxisme/Maoisme yang diktatur proletar saat itu.
Standing order (perintah menanti) Angkatan Darat mengatakan, apabila Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani berhalangan, Panglima Kostrad yang dijabat Mayjen Suharto me-ngambil alih pimpinan, menyebabkan yang disebut terakhir bertindak melaksanakan penumpasan terhadap G30S. Lolosnya Jenderal Abdul Haris Nasution meruntuhkan moral Gerakan 30 Sep-tember, sehingga yang merasa terlibat segera mencari perlindungan kepada Kepala Negara. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Sukarno memerintahkan Mayjen Pranoto Reksosamudro seba-gai pelaksana harian menggantikan Letjen Ahmad Yani. Sebagai akibatnya timbul dualisme kepemimpinan di tubuh Angkatan Darat ketika itu. Panglima Angkatan Laut mengatakan tidak mendukung G30S, begitu juga Panglima Angkatan Udara setelah terlebih dahulu meralat ketera-ngan sebelumnya. Penyelesaian dualisme kepemimpinan dalam tubuh Angkatan Darat lalu terpu-lang kepada Kepala Negara.
Merasa tidak lagi aman berdiam di Istana Negara Jakarta, Presiden Sukarno yang tengah me-mimpin sidang Kabinet tanggal 11 Maret 1966 terburu-buru mengungsi ke Istana Bogor dengan helikopter, dan menyerahkan pimpinan sidang kepada Waperdam II, saat itu dijabat Dr. Leime-na. Tarik ulur kepemimpinan Angkatan Darat antara “standing order” dengan “perintah Presi-den” menggantikan Letjen Ahmad Yani merupakan agenda utama sidang ketika itu. Presiden Su-karno lalu mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1966, disingkat Supersemar, guna menertibkan kerusuhan Ibukota. Supersemar kemudian melahirkan lembaga negara baru bernama:“Panglima Komando Opersi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban”, disingkat “Pangkopkamtib”. Dan May-jen Suharto menerima Supersemar dari Kepala Negara lalu menjadi Pangkopkamtib pertama melaksanakan tugas penertiban Ibukota.
Tanggapan Kepala Negara pada keadaan Ibukota menimbulkan ketidak puasan masyarakat di-mana-mana, khususnya sikap presiden Sukarno terhadap para pimpinan PKI yang terlibat G30S, penganiayaan di Mesjid Jami Kanigoro kecamatan Kras Kediri, pembunuhan pelda Sujono di Perkebunan Negara Bandar Betsi, pembantaian di Lubang Buaya, dan lainnya. Kepala Negara yang meninggalkan istana dan berada di Halim Perdanakusuma ketika itu hanya memerintahkan kedua fihak yang bertikai menghentikan perseteruan; akan tetapi tidak bersedia membubarkan PKI yang telah melakukan makar. Padahal rakyat yang anti-komunis dimana-mana sedang menunggu keberpihakan Kepala Negara pada penegakan hukum yang adil.
Gerakan 30 September tahun 1965 telah menimbulkan malapetaka besar di tanah-air. Tidak ku-rang tiga juta orang anak-anak bangsa dikhabarkan telah terbunuh sia-sia oleh kewenangan yang mengizinkan aniaya dilakukan terhadap anak-anak bangsa yang dituduh komunis golongan A ke-tika itu. Memindahkan belasan ribu anak-anak bangsa lain terisolasi di Pulau Buru di Maluku, karena dituduh komunis golongan B. Dan jutaan warga negara Indonesia lain yang dituduh orang komunis golongan C yang mendapat perlakuan diskriminatif dalam masyarakat di tanah tumpah darahnya sendiri.
Pada tanggal 25 Oktober 1965, menteri PTIP (Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) ketika itu dijabat Dr.Syarif Tayeb, mengundang para tokoh masyarakat dan para mahasiswa anti-komu-nis datang kerumahnya untuk bertukar fikiran. Pertemuan ini melahirkan Kesatuan Aksi Maha-siswa Indonesia, disingkat KAMI, guna menyingkirkan Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa In-donesia, disingkat PPMI, Majelis Mahasiswa Indonesia, disingkat MMI, yang para pemimpinnya memihak PNI Ali-Surachman, disingkat PNI-ASU. KAMI lalu bergerak bersama ABRI memba-ngun kekuatan sosial bernama: Orde Baru. Langkah para mahasiswa ini disusul pula Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia, disingkat KAPPI, Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, disingkat KAPI, Kesatuan Aksi Guru Indonesia, disingkat KAGI, Kesatuan Aksi Buruh Indonesia, disingkat KABI, Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, disingkat KASI, Kesatuan Wanita Indonesia, disingkat KAWI, dan lainnya. Kesatuan-kesatuan aksi ini lalu bergabung menjadi Front Panca-sila yang berkedudukan di Jakarta.
Pada tanggal 28 Juli 1965 Ferry Awom dari Organisasi Papua Merdeka, disingkat OPM, di Ma-nokwari memproklamirkan kemerdekaan Papua Barat. Ia merekrut para pemuda untuk melakukan perang gerilya.
Adapun Mandacan ialah salah satu kelompok OPM yang sangat gigih dalam perjuangannya.
Pada tanggal 13 Desember 1965, Kabinet Dwikora pimpinan Presiden Sukarno kembali melaku-kan sanering mata uang Rupiah beredar, enam tahun setelah sanering kedua. Langkah moneter drastis ini kembali membuat Rp1000,- lama menjadi Rp.1,- baru. Karena jaminan terhadap uang Rupiah baru tidak lebih baik dari sebelumnya, pendapatan karyawan berpenghasilan tetap kembali terpangkas, menyebabkan kehidupan rakyat dimanamana semakin sengsara. Selain dari itu, terdapat pula pungutan 10% untuk tiap penukaran uang lama dengan uang baru untuk “Dana Revolusi”. Kini, tidak ada lagi janji pemerintah akan mengembalikan uang rakyat yang hangus oleh sanering yang semakin menyengsarakan masyarakat. Harga-harga bahan kebutuhan pokok rakyat langsung melambung, inflasi lalu menembus 650% menuju 1000%. Langkah moneter paling akhir ini langsung menyulut kemarahan mahasiswa Ibukota yang segera turun ke jalan-raya untuk berdemonstrasi.
Sebagai akibat rentetan sanering mata Rupiah: pertama 1/2, kedua 1/1000, dan ketiga 1/1000, maka Rupiah tahun 1965 nilainya menjadi tinggal 1/2.000.000 dari Rupiah tahun 1950, menyebabkan para karyawan, baik pegawai negeri demikian pula swasta, tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang mereka tanggungan. Ketiga langkah moneter Demokrasi Ter-pimpin, saat itu dipimpin oleh Presiden Sukarno telah menyebabkan perekonomian bangsa Indo-nesia hancur lebur sekaligus menyengsarakan hidup bangsa Indonesia, hanya satu setengah dasawarsa setelah kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan tanah Hindia Belanda tahun 1949 kepada RIS di Den Haag yang diterima Drs Mohammad Hatta.
Pada tanggal 10 Januari 1966, di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Salemba, Front Pancasila mengajukan Tri Tuntutan Rakyat, disingkat Tritura kepada pemerintah untuk dijawab dengan segera. Ada tiga tuntutan yang disampaikan oleh mahasiswa pada ketika itu:
1. Bubarkan PKI,
2. Rombak Kabinet Dwikora, dan
3. Turunkan harga-harga bahan kebutuhan hidup rakyat.
Tiga hari usai dibacakannya Tritura, Presiden Sukarno menunjukkan kemarahan dan penyesalan kepada para mahasiswa dengan sebutan: “goblok dan tolol”, “suka kawin”, “menteri gundik” dan “vestin” (vested interest) yang ditujukan kepada para menteri kabinet. Ibu Hartini yang ketika itu menjad ibunegara, tidak luput dari kecaman mahasiswa yang sedang marah. Mahasiswa lalu me-nuntut agar vestin dienyahkan karena menjadi musuh pembaharuan, begitu juga koreksi total terhadap perekonomian bangsa. Ketiga kata: Tritura, Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat), dan Tuhanura (Tuntutan Hati Nurani Rakyat) menjadi rangkaian kata yang sangat populer disuara-kan massa yang sedang berdemonstrasi ketika itu. Kepala Negara rupanya tidak menghiraukan tuntutan mahasiswa membuat kesatuan aksi lalu menyebar ke berbagai kota nusantara.
Pada tanggal 15 Januari 1966, berlangsung sidang Kabinet Dwikora dipimpin Presiden Sukarno di Bogor dihadiri oleh sejumlah tokoh KAMI. Presiden Sukarno berjanji akan menyelesaikan persoalan politik di tanah-air. Selain dari itu Presiden juga memberi kesempatan kepada siapa saja yang dapat memperbaiki ekonomi Indonesia yang telah hancur lebur dalam waktu singkat. Tuntutan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat terus menggema menelusuri waktu. Keadaan yang mencekam di ibukota Jakarta ketika itu, dilaporkan mingguan Newsweek dari Amerika Serikat dengan rangkaian kata: “sixty days that shook the world” (artinya: 60 hari yang mengguncang dunia).
Kabinet Dwikora yang memerintah saat itu berusaha keras menekan aktivitas dan gerakan beragam kesatuan aksi yang menjamur, dan Menteri Luar Negeri R.I. selaku Waperdam I Dr. Subandrio, semakin menunjukkan perlawanan dengan penyelenggaraan rapat akbar di Senayan. Ia bahkan mengatakan “bahwa tindakan teror harus dibalas dengan teror pula”. Ucapan ini lalu memicu bentrokan fisik antara pendukung bebagai kesatuan aksi dengan yang menentang mere-ka. Selain dari itu, Presiden Sukarno juga menganjurkan dibentuk “Barisan Sukarno”, dengan semboyan “Hidup matiku bersama Bung Karno”. Presiden Sukarno menunjuk Chaerul Saleh se-laku Waperdam III menjadi pimpinan tertinggi Barisan Sukarno. Langkah ofensif yang diambil Dr. Subandrio selaku Waperdam I dan Menteri Luar Negeri yang didukung Presiden Sukarno saat itu, ternyata tidak menyurutkan gerakan berbagai kesatuan aksi, bahkan sebaliknya semakin menyalakan dan menggelorakan semangat mereka untuk melakukan perlawanan.
Kabinet Dwikora Disempurnakan
Presiden Sukarno lalu mereshuffle Kabinet Dwikora, menjadikannya Kabinet Dwikora yang disempurnakan, lebih dikenal dengan nama Kabinet 100 Menteri. Dalam kabinet yang baru selain terdapat seratus orang menteri yang memimpin departemen, terdapat juga orang-orang yang dicurigai masyarakat terlibat dalam G30S. Menjelang pelantikan Kabinet Dwikora yang disem-purnakan tanggal 24 Februari 1966 di ibukota, beragam kesatuan aksi lalu kembali turun ke jalan-jalan raya Jakarta. Mereka memblokade seluruh jalan menuju Istana yang akan dilewati menteri, lalu mengempeskan ban mobil-mobil yang ada di jalan-jalan raya agar tidak lagi dapat bergerak.
Dengan demikian lahirlah “Angkatan 66” yang melakukan koreksi terhadap pemerintah yang te-ngah berkuasa. Para demonstran lalu bergerak memasuki kantor-kantor di ibukota yang para menterinya dicurigai terlibat G30S, seperti: Deplu (Departemen Luar negeri), dan lainnya. Lahir pula di tanah-air istilah politik “DPR jalanan”. Rumah kediaman Waperdam I Dr. Subandrio dan menteri-menteri yang dicurigai terlibat G30S tidak luput dari sasaran untuk dimasuki. Sejak dilangsungkannya reshuffel kabinet, Kabinet Dwikora Disemprnakan telah dimacetkan kekuatan fisiknya secara formal di lapangan oleh para demonstran yang mewakili rakyat. Banyak menteri kabinet saat itu terpaksa menginap di guest house Istana. Kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar sampai perguruan tinggi jadi terlantar di sejumlah kota. Diperlukan waktu berbulan lama-nya untuk memulihkan kembali kegiatan pendidikan dan pengajaran di tanah-air.
Untuk menemukan jalan keluar memperbaiki kembali perekonomian bangsa yang telah hancur, pada bulan Januari 1966 di Universitas Indonesia Jakarta berlangsung seminar KAMI. Pada tanggal 30 Januari 1967, KAMI mempelopori massa melakukan apel Siaga di depan gedung DPRGR un-tuk menolak dibacakannya Nawaksara, yakni pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno di-depan Parlemen. Pada tanggal 9 Februari 1966 KAMI mensponsori lagi pawai Ampera 4 km panjangnya di Bandung. Pada tanggal 26 Februari 1966, Presiden Sukarno memerintahkan untuk membubarkan KAMI. Kemudian pada tanggal 3 Maret 1966, Presiden Sukarno memerintahkan UI (Universitas Indonesia) ditutup, akan tetapi tuntutan gerakan Tritura dan demonstrasi yang mereka lakukan tetap terus berjalan.
Sebuah tembakan yang dilepaskan Pasukan Pengawal Presiden didepan Istana Merdeka me-ngenai Arief Rachman Hakim, seorang mahasiswa Universitas Indonesia dan menewaskannya. Di ibukota berlangsung pula pawai beragam motor besar yang menuntut dibubarkannya PKI, mendukung ABRI, dan diturunkannya harga bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat. Pada tanggal 8 Maret 1966 demonstrasi serupa berlangsung juga di kota Surabaya.
Demikianlah satu persatu hari-hari yang menegangkan berlalu di tanah-air ketika itu oleh dualisme kepemimpinan yang masih terus bertahta di ibukota: disatu fihak Presiden Sukarno tetap bersikeras tidak sudi membubarkan PKI, dan difihak berseberangan berbagai kesatuan aksi dan ABRI yang setia kepada pancasila menuntut agar PKI dibubarkan. Karena yang diinginkan rak-yat masih belum kunjung tiba, maka perjuangan kesatuan aksi kemudian ditujukan kepada pusat tirani, yaitu Presiden Sukarno yang menjadi benteng Orde Lama. Perlawanan kesatuan-kesatuan aksi mencapai puncaknya saat Kepala Negara tanggal 11 Maret 1966 memerintahkan Mayjen Suharto menertibkan keadaan. Perintah Presiden Sukarno pada tanggal 11 Maret 1966 itu lalu di-kenal dengan: “surat perintah sebelas Maret”, disingkat supesemar. Pada tanggal 12 Maret 1966 Mayjen Suharto kemudian mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia berikut man-tel-mantelnya di seluruh nusantara.
Konfrontasi Indonesia melawan Malaysia lalu berakhir pada tahun 1966, setelah Presiden Sukarno, benteng Orde Lama terguling dari kekuasaan, dengan timbulnya Gerakan 30 September di Jakarta pada tahun 1965.
Pada tanggal 16 Maret 1966 mahasiswa, pemuda, pelajar, menuntut DPRGR membersihkan Kabinet Dwikora Disempurnakan dari para oknum G30S. Pada tanggal 29 Maret 1966 KASI Ban-dung menyatakan perjuangan mahasiswa/pelajar merupakan koreksi “Angkatan 66” terhadap “Angkatan 45” yang telah menyeleweng dari tujuan revolusi bangsa Indonesia yang sebenarnya. Dan pada tanggal 27 April 1966 KASI Jakarta menolak DPA yang baru bentukan Presiden Su-karno. Keesokan harinya KAMI juga menolak pelantikan DPA yang baru dibentuk itu.
Pada tanggal 6 Mei 1966, di Universitas Indonesia Jakarta berlangsung Simposium Ekonomi dengan tema: “Menjelajah Trace Baru untuk Indonesia” dipimpin moderator Prof. Widjojo Niti-sastro. Pada bulan Juni 1966 KAMI, KAPPI, KAPI dan lainnya melaksanakan pawai besar di se-jumlah kota, yakni: Jakarta, Bogor, Bandung, untuk menolak SUMPRS. Pada bulan Desember 1966 berlangsung pawai besar yang mendukung pernyataan ABRI melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen.
Lalu timbul hasrat bangsa untuk kembali memulihkan lagi perekonomian Indonesia yang telah hancur lebur dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno dengan Sistim Demokrasi Terpimpin yang diciptakannya, berangkat dari:
1. seminar KAMI bulan Januari 1966 di Universitas Indonesia;
2. ketetapan MPRS No. XXIII/ 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembaruan Landasan Ke-
bijakan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
3. begitu pula seminar Angkatan Darat tanggal 11 Agustus 1966 di Bandung,
kemudian menelurkan Peraturan 3 Oktober 1966 yang terkenal. Ketiganya menjadi landasan bagi Kabinet Ampera untuk memulihkan dan menstabilkan kembali perekonomian bangsa yang telah porak poranda akibat kebijakan sebelumnya. Semboyan “Revolusi yang belum selesai” dari zaman pemerintah Demokrasi Terpimpin, kemudian diganti menjadi ”Revolusi damai” di era pe-merintahan Demokrasi Pancasila.
Kendati masih terus menuai: polemik, kritik, emosi politik, terhadap berbagai langkah dan ke-bijakan diambil untuk menyelamatkan perekonomian bangsa Indonesia ketika itu, Sistim Demokrasi Terpimpin dengan segala kebijakan yang terdapat didalamnya, dinamakan “Orde Lama” ditinggalkan, lalu digantikan dengan Sistim Demokrasi Pancasila berikut sejumlah kebi-jakan baru untuk dilaksanakan, dan dinamakan “Orde Baru”.
Zaman Demokrasi Pancasila
1. Masa Pemulihan Sosial Ekonomi 1965-1975
Dengan lahirnya Supersemar dualisme kekuasaan lalu lenyap, sehingga Mayjen Suharto dapat membubarkan PKI termasuk mantel-mantel organisasinya dari bumi Indonesia, dan melarang penyebaran ajaran komunis di Indonesia, kecuali untuk ilmu pengetahuan sosisl di lingkungan Pendidikan Tinggi, dan menangkap para Menteri yang terlibat G30S. Tindakan Pangkopkamtib ketika itu disambut gembira masyarakat, mulai: mahasiswa, pelajar, pemuda, hingga ABRI. Ke-mudian para mahasiswa, pemuda, pelajar, ABRI, RPKAD, dan Kavaleri melangsungkan pawai kemenangan di ibukota Jakarta.
Setelah keadaan di tanah-air tenang kembali, satu-satunya musuh yang perlu dihadapi negara dan bangsa Indonesia saat itu ialah memerangi inflasi guna memulihkan perekonomian bangsa. Dibawah pimpinan Suharto, selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera saat itu, Indonesia mengajukan lagi permohonan menjadi anggota PBB, sekaligus anggota badan-badan yang ber-naung dibawahnya, antara lain: IMF dan Bank Dunia. Missi ekonomi yang dipimpin Sultan Ha-mangkubuono ke IX lalu diutus ke Eropa dan Jepang, untuk menerangkan kebijakan pemerintah Indonesia yang baru, sekaligus memohon penundaan pelunasan hutang negara.
Pada ketika itu, Indonesia sudah tidak memiliki uang samasekali untuk membayar hutang kepada IMF berjumlah US$ 55.000.000.; dan hanya mampu menyerahkan tanda “kemauan baik, atau goodwill” sejumlah US$ 30,000. dengan janji, akan mencicil semua kekurangan kemudian. Lalu antara tanggal 19 sampai 20 September 1966, di Tokyo berlangsung pertemuan “Tokyo Club”, bertema “The Indonesia Case”. Pada saat itu delegasi Indonesia berjumpa langsung dengan wakil-wakil kreditor IMF dan Bank Dunia. Lalu ada lagi pertemuan “Paris Club” juga untuk me-nanggulangi hutang Indonesia. Dari Moskow datang pula utusan negara Beruang Merah mena-gih hutang berjumlah US$ 2,4 Milyard dipimpin Sergiev hutang lama Indonesia yang dipakai untuk membangun berbagai proyek yang kemudian ternyata sedikit manfaatnya karena lemahnya managemen perencanaan ketika itu, sehingga baik lokasi maupun ukuran pabrik yang dipilih tidak mencerminkan kelaikan ekonomi; diambil semata bedasarkan keputusan politik. Sebagai akibatnya proyek-proyek yang dibiayai oleh pinjaman itu tidak dapat membayar cicilan pelun-asan (debt service) diperlukan. Setelah berunding di Jakarta, utusan Uni-Sovyet itu bersedia menerima cara pelunasan hutang kesepakatan Paris Club.
Negeri Belanda mengambil inisiatif lalu mengusulkan IGGI (Inter-Governments Group on Indo-nesia) yang bersidang di Amsterdam, Negeri Belanda, untuk menolong Indonesia keluar dari ke-hancuran ekonomi dengan pinjaman bersyarat lunak. Pinjaman IGGI dari Blok-Barat ternyata le-bih ringan persyaratannya ketimbang yang diterima Indonesia dari Blok-Timur sebelumnya. Pin-man lain dari Blok-Barat lalu ramai-ramai datang ke Indonesia, antara lain: Inggris, Jerman Ba-rat, Kanada, Amerika Serikat, Nederland, Jepang, dan Bank Dunia, total berjumlah US$ 2,265 Milyard. Menurut Prof. Widjojo Nitisastro, pinjaman dengan persyaratan lunak yang diterima Indonesia dalam rangka IGGI, adalah contoh baik yang patut ditiru negara-negara berkembang lain. Dari pinjaman luar negeri model IGGI, Indonesia kemudian beralih ke model CGI (Con-sortium of Governments on Indonesia) yang bermarkas di Paris. Bantuan yang datang dari Aus-tralia ketika itu kebanyakan bentuk grant semata.
Dengan langkah ditiga bidang yang diambil Kabinet Ampera: keuangan, moneter, dan perdagangan, mengantarkan Indonesia pada tahun 1967 mengatasi defisit anggaran, dan pada tahun 1968 lenyap samasekali; lalu pada tahun 1969 pemerintah Indonesia dengan Sistim Demokrasi Pan-casila mulai berhasil mengisi tabungan.
Pada tahun 1967 Proyek Serbaguna Jatiluhur diresmikan, setelah melewati waktu pembangunan 10 tahun. Waduk bermuatan 9.000.000 meter kubik air untuk pengairan di Jawa Barat, juga menghasilkan tenaga listrik 6 x 31 MW disalurkan ke Jakarta dan Bandung lewat SUTT (saluran udara tegangan tinggi) bertegangan 150 kV. Proyek yang dikerjakan konsultan dan kontraktor Perancis ini baru menyelesaika satu dari tiga kaskada yang direncanakan terdapat di aliran su-ngai Citarum yang bersumber mata air di Gunung Wayang.
Guna menghindarkan dualisme kepemimpinan pasca G30S, karena Sukarno masih menyatakan diri sebagai Presiden R.I. yang syah meski telah meringkuk dalam penjara, Jenderal A.H. Nasu-tion selaku Ketua MPRS yang memimpin sidang MPRS tahun 1967, lalu mengangkat Mayjen Suharto menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia untuk menggantikan Sukarno.
Revolusi dimanapun muncul dan kapanpun berlangsung ibarat sekeping uang logam wajah gan-da, terdiri dari: revoltare dan revolvere. Yang pertama atau revoltare bertugas menumbangkan si-stim kemasyarakatan telah usang karena tidak lagi sesuai dengan zaman, sedangkan yang kedua atau revolvere bertugas membangun sistim kemasyarakatan baru yang lebih baik untuk meng-gantikan. Revolusi bangsa Indonesia baru mengerjakan revoltare, samasekali belum melakukan apa yang dinamakan revolvere. Sebagai akibatnya “Revolusi yang belum selesai” tidak hanya memangsa anak-anaknya sendiri, tetapi juga memangsa Pemimpin Besar Revolusi yang meng-gerakkannya sekali.
Setelah Indonesia merdeka 20 tahun lamanya, dari tahun 1945 hingga 1965, kaum pergerakan ternyata tidak berhasil mewujudkan Revolusi Bangsa Indonesia sebagai jembatan emas mengantarkan bangsa Indonesa meninggalkan kemiskinan untuk meraih kesejahteraan yang dijanjikan. Ini terbukti dari munculnya banyak keluhan anak bangsa dimana-mana merasakan kehidupan yang semakin susah ketika itu, lalu bertanya kepada diri dan orang lain: “kapan merdeka ini akan berakhir?”. Lalu muncul kerinduan anak bangsa pada zaman Belanda yang dikatakan “zaman normal”, terutama bagi mereka yang pernah mengalami hidup di zaman itu.
Maka dalam sidang umum MPRS tahun 1968, Suharto dengan resmi dikukuhkan menjadi Presiden Republik Indonesia kedua.
Adapun tujuan Kabinet Ampera dengan Sistim Demokrasi Pancasila untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan pemerintah Sistim Demokrasi Terpimpin, terlebih Kabinet 100 menteri, yang telah menimbulkan kekacauan administrasi aparatur negara, menyebabkan kesimpangsiuran we-wenang dan tanggungjawab; menyebabkan perekonomian bangsa hancur lebur yang menyengsarakan kehidupan bangsa. Dalam Sistim Demokrasi Terpimpin kekuasaan berada di tangan satu orang, yakni: Sukarno, baik sebagai Kepala Negara demikian juga Perdana Menteri, maupun Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Sebagai akibatnya, pengawasan yang dilakukan lembaga perwakilan rakyat tercantum dalam UUD 1945 tidak dapat berjalan; pemegang tampuk kekuasaan lalu menjadi liar, sewenang-wenang, dan menjelma jadi diktator.
Benar apa yang dikatakan Lord Acton dari Inggris yang mengemukakan: “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, artinya: kekuasaan cenderung menyeleweng, kekuasaan mutlak akan menyeleweng mutlak pula”. Telah terbukti bahwa pengemban kekuasaan Orde Lama tidak lagi dapat dikendalikan, lalu menyebabkan malapetaka kepada bangsa Indonesia di berbagai bidang: pemerintahan, perekonomian, kemasyarakatan, kebudayaan, dan nilai dalam masyarakat yang berlaku saat itu .
Dengan kepindahan Oom Supardi Medan ke Jakarta, hubungan bou Mariam dengan ayah sekeluarga yang berdiam di Bogor semakin akrab. Ini ditandai pertukaran kunjungan yang kian sering sehingga bou menjadi semakin dekat dengan ibu. R.A.Tuty Marini Puspowardoyo, ibunda Junus Efendi Habibie (J.E.Habibie) rupanya mengetahui keakraban bou Mariam dengan ibu di Bogor. Meski J.E. Habibie telah lama kenal dengan Mieke sejak dari Makassar, lalu di Surabaya selama koliah, begitu juga kedua orang tua, namun untuk menerima pinangan keluarga Habibie kepada Mieke, bou Mariam dan Oom Supardi masih membutuhkan pendapat ayah dan ibu di Bogor. Inilah yang membuat ibunda J.E.Habibie perlu datang ke rumah di jalan Belitung no.15 Bogor untuk bertemu ayah dan ibu. J.E. Habibie lalu melangsungkan pernikahan dengan Mieke pada tanggal 6 Juni 1965 di jalan Teuku Umar Jakarta.
Pada tanggal 3 Februari 1966, umat manusia dikejutkan oleh keberhasilan Uni-Sovyet mendarat-kan pesawat angkasa bernama Luna-IX di permukaan bulan, dan mengirim gambar televsi hi-tam-putih batuan bulan mengitari pesawat angkasa permukaan bulan.
Pada tahun 1969 anak-anak uak Abdul Rani Nasution dari Malaysia, masing-masing: abang Ali, abang Ahmad, abang Fahmi, abang Waras, kakak Zaitun, kakak Habsah, dan uak perempuan, berkunjung ke kampung asal Muara Botung. Dari Bogor, ibu dan ayah mengutus si Penta dan si Adek berangkat ke Muara Botung untuk menemani melepas rindu di kampung halaman.
Pada tanggal 6 Juni 1968 Kabinet Pembangunan dilantik untuk menggantikan Kabinet Ampera yang selama ini mempunyai tugas pokok memantau: keuangan negara, moneter, perdagangan, dan perhubungan. Pada tanggal 30 Desember 1968, Presiden Suharto mengumumkan “Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama”, disingkat “Repelita I”, sebagai bukti dimulainya pemba-ngunan di seluruh nusantara. Repelita I ini ialah bagian dari “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama”, disingkat RPJPTP periode 25 sampai 30 tahun kedepan untuk Indonesia ketika itu.
Pada tanggal 20 Juli 1969, umat manusia dikejutkan oleh keberhasilan misi angkasa luar Ame-rika Serikat Appolo XI mendaratkan manusia di permukaan bulan, satu-satunya benda langit mengitari bumi. Misi yang diluncurkan tanggal 16 Juli 1969 dari Cape Canaveral, Florida, dido-rong Roket Saturn V. Setelah mendarat di permukaan bulan, astronout Neil Armstrong lalu me-nuruni tangga Landing Module (Modul Pendarat) dan menginjakkan kaki di permukaan bulan dan berkata: “one small step of man, but a great leap of mankind (sebuah langkah kecil manusia, tetapi langkah besar bagi kemanusiaan”, lalu disusul Edwin Aldrin. Kejadian ini masih tidak mudah diterima akal sebahagian besar umat manusia di bumi ketika itu, termasuk anak bangsa di seluruh nusantara.
Setelah “Penentuan Pendapat Pakyat”, disingkat “Pepera” dilaksanakan tanggal 1 Desember 1969 di Irian Barat sejalan kesepakatan yang telah ditandatangani: Indonesia, Belanda, dan PBB silam, ternyata dimenangkan fihak Indonesia, maka perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan Irian Barat selesai. Tidak semua warga Papua Barat menerima keputusan pepera, karena ada sebagian yang berpendapat bahwa pemerintah Belanda telah berjanji akan memberi kemer-dekaan kepada daerah Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1971.
Setelah Irian Barat kembali kepangkuan NKRI, ayah sebagai Kepala Djawatan Kehutanan lalu berangkat ke Papua Barat bersama menteri Pertanian Republik Indonesia Sadjarwo Tjondro-negoro S.H. untuk melakukan timbang terima hutan tanah Papua dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia.
REPELITA PERTAMA
Kabinet Pembangunan I
Dari tanggal 23 hingga 24 Februari 1979 di pulau Bali berlangsung “Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Association of South East Asian Nations”, disingkat “ASEAN”. Konferensi bermaksud untuk merajut kembali kerukunan hidup negara-negara Asia Tenggara yang telah porak poranda akibat politik konfrontasi dilancarkan rezim Orde Lama silam, dan meninggalkan pertentangan antagonis antara kelompok negara Nefos melawan kelompok negara Oldefos dari Demokrasi Terpimpin bersama Dwikora yang dipimpin Presiden Sukarno bersama Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio. Dengan demikian dapat dibangun lagi persahabatan antarbangsa sekawasan Asia Tenggara kedepan untuk kemajuan: sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan budaya.
Pada tanggal 1 Juli 1971, ayah pindah dari Departemen Pertanian ke Departemen Pendidikan dan Pengajaran untuk menjadi Staf Pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB). Agar tidak melampaui kepangkatan Rektor yang memimpin lembaga Pendidkan Tinggi Negeri itu, ayah menerima pangkat Lektor Kepala golongan IVd, sekaligus menjadi Ketua Program Studi Politik/Ekonomi Manajemen Hutan di Fakultas Kehutanan. Adapun mata kuliah yang ayah berikan dalam Pro-gram Studi itu, ialah:
-Politik dan Perundang-undangan Kehutanan.
-Pelestarian Alam dan Pembinaan Margasatwa.
Setelah mengabdi sebagai Rimbawan di tanah-air puluhan tahun lamanya, ayah menyadari betapa penting tumbuhan terlebih keberadaan hutan di bumi. Lebih dari 400 juta tahun silam tanaman tiba di bumi, lalu disusul hewan menyusui 75 juta tahun, lalu kera menyerupai orang 10 juta tahun, dan manusia 300.000 tahun. Betapa lamanya hutan dan tanaman harus menyiapkan diri guna menerima kehadiran hewan dan manusia di planit in. Hutan menjadi sumber plasma nuftah menyediakan: pangan, obat-obatan, papan, dan lainnya yang sangat diperlukan mahluk bergerak. Karena itu pembalakan hutan, baik yang liar oleh masyarakat maupun industri kehu-tanan menjadi ancaman pada kehi-dupan mahluk di bumi karena, selain untuk keperluan disebutkan diatas hutan juga berfungsi membersihkan udara dengan memprodksi oksigen dibantu te-naga matahari lewat proses photosinthesis. Hutan tropis dunia yang terus menerus berkurang luasnya terdapat di: Indonesia, Afrika Tengah, dan Amerika Selatan kedepan perlu mendapat perhatian umat manusia.
Ayah lalu memasuki masa pensiun dari Departemen Pendidikan dan Pengajaran, tepatnya dari Institut Pertanian Bogor, terhitung tanggal…..tahun…….
Selama berdiam di Bogor untuk yang kedua, ayah selain berdinas di Departemen Pertanian dan Departemen Pendidikan dan Pengajaran, ayah bersama ibu juga banyak berkegiatan dalam lingkungan kekerabatan Dalihan Na Tolu masyarakat Batak dari Tapanuli Selatan, dan masyara-kat setempat lainnya.
Perjalanan Ibadah Haji
Tidak lama setelah menikahkan kedua putri, pada tahun 1973, ayah dan ibu berangkat menunai-kan Ibadah Haji ke Tanah Suci di Mekah dan Madinah. Dari rumah di jalan Belitung no.15, ayah dan ibu diantar rombongan keluarga sampai terminal bus Baranangsiang, dimana bus pengangkut jemaah ONH (Ongkos Naik Haji) asal Bogor menanti. Rombongan jemaah Haji asal Bogor lalu diantarkan ke Asrama Haji Pondok Gede tidak jauh dari Taman Mini. Adapun para jemaah yang berangkat bersama ayah dan ibu dari Bogor saat itu, ialah: Oom Supardi dan istrinya (bou Mariam) mertua J.E.Habibie yang datang dari Jakarta; Ompung Rinding Lubis dari Medan bersama istrinya; dan abang Samin Pohan dari jalan Wayang Bandung juga berikut istrinya. Mereka harus terlebih dahulu bermalam di Asrama Haji Pondok Gede sebelum diterbangkan ke Sudi Arabia dari lapangan terbang Halim Perdanakusuma. Perjalanan haji rombongan ONH ayah dari Asrama Haji Pondok Gede sampai tiba kembali di tanah-air, seluruhnya memerlukan waktu 42 hari lamanya.
Tahun 1973 Amerika Serikat meluncurkan Stasiun Angkasa bernama Skylab didorong roket Sa-turn V. Tidak seperti rekannya Stasiun Angkasa Salyut bikinan Uni-Sovyet yang banyak menemukan kesulitan teknis ketika diluncurkan dua tahun sebelumnya, Skylab menjadi tempat pemondokan astronaut di angkasa mengorbit bumi. Akan tetapi, oleh kegiatan noda matahari yang menerpa, orbitnya lalu merosot terlalu cepat. Lalu pada tanggal 11 Juli 1979, Skylab terjerumus kembali masuk kedalam atmosfir bumi, membuat bagian-bagian Skylab yang belum sempat terbakar habis saat menerobos atmosfir bumi kemudian berjatuhan di sekitar Australia dan samudra Hindia.
REPELITA KEDUA
Kabinet Pembangunan II
2. Masa Represi Sistematis 1974-1985
Tanggal 15 Januari 1974 mahasiswa Indonesia kembali beramai-ramai turun ke jalan-raya untuk berdemonstrasi menolak kunjungan Perdana Menteri Kakuei Tanaka dari Jepang. Negara Mata-hari Terbit saat itu dituduh sebagai lambang dominasi asing di Indonesia yang harus ditolak kedatangannya. Aksi long marsh dilakukan mahasiswa dari Kampus Universitas Indonesia Sa-lemba menuju Kampus Universitas Trisakti Grogol, dan mengajukan tiga butir tuntutan kepada pemerintah Orde Baru:
1. Memberantas korupsi,
2. Melakukan perubahan kebijakan ekonomi terhaap modal asing,
3. Membubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden Suharto.
Usai long marsh mahasiswa, massa yang tidak diketahui darimana berasal lalu menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan Pusat Perdagangan Gelodok. Mereka kemudian menjarah barang-barang, membakar toko dan mobil bikinan Jepang, memperkosa dan membunuh warga keturu-nan, meninbulkan kerusuhan yang dikenal dengan “Malapetaka Limabelas Januari”, disingkat “Malari”. Lalu muncul theori “killing ground” dialamatkan kepada mahasiswa yang dituduh telah merencanakan kerusuhan (vandalisme) sebelumnya saat itu; karena terdapat di lapangan bersamaan para perusuh yang menimbulkan kekacauan, pembakaran, dan pembunuhan. Peme-rintah lalu beralasan memberlakukan kembali UU Anti-subversi yang represif lalu menangkap, mengadili, dan menjebloskan para aktivis kedalam rumah tahanan dan penjara. Sejarah lalu berulang kembali: “Revolusi Damai” bikinan pemerintah Orde Baru memangsa anak-anaknya sendiri, yakni para mahasiswa aktivis yang sudah berjasa menumbangkan Orde Lama guna men-dirikan Orde Baru.
Pada tanggal 19 Desember 1974 , bertepatan hari Ulang Tahun Universitas Gajah Mada ke-25 di Yogyakarta, Presiden Suharto dalam pidato sambutannya memperlihatkan perhatian kepada ajaran pancasila. Menurut Kepala Negara saat itu, ideologi negara ini perlu dilaksanakan dengan murni dan konsekuen sejak Dekrit 5 Juli 1959 silam, akan tetapi dalam periode 1959-1965 terbukti menimbulkan penafsiran menyimpang. Ini terbukti dari upaya Presiden Sukarno menya-tukan tiga pandangan hidup berbangsa versi Orde Lama ketika itu, yakni: nasionalisme, agama, dan komunisme, lalu mencanangkan gagasan tunggalnya nasional-agama-komunis, disingkat “nasakom”. Gagasan ini membuka peluang kepada PKI mengembangkan ajaran Marxisme me-nurut kondisi yang ada di Indonesia.
Pada Dies Natalis ke-25 Universitas Indonesia tanggal 15 Februari 1975 di Jakarta, Presiden Suharto memperkenalkan gagasan “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”, disingkat “P4”. Badan Pekerja MPR kemudian dibentuk guna menanggapinya, dan sejumlah rapat Panitia Ad-Hoc lalu dilangsungkan. Kemudian lahir Tap MPR No.II/MPR/98 untuk P-4, yang disam-paikan pada Kepala Negara/Mandataris guna dilaksanakan. Dengan berlakunya ketetapan ini, semua lembaga negara termasuk suasta mulai lembaga pendidikan yang ada di tanah-air harus mengikuti penataran P-4. Penataran P-4 kemudian menjadi sarana pendidikan politik bangsa Indonesia yang digariskan pemerintah Orde Baru.
Pada tanggal 28 Nopember 1975, sembilan hari setelah Timor Timur memproklamirkan kemer-dekaannya dari Portugal, Indonesia lalu menyerbu wilayah itu guna menjadikannya propinsi NKRI ke 27 yang menimbulkan banyak korban. Ketenteraman di propinsi itu lalu bergolak, sehingga terpaksa UN International Forces for East Timor (pasukan Internasinal PBB untuk Timor Timur) perlu didatangkan untuk mengtasi keadaan. Pada Tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur mengumumkan diri sebagai negara merdeka yang berdaulat dan menjadi anggota PBB.
Dalam menyebarluaskan P-4 ke seluruh nusantara, di Indonesia lalu dibentuk “Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”, disingkat “BP-7”; sebuah Lembaga non-Departement berada langsung dibawah pimpinan Presiden Suharto. Selain BP-7 Pusat beralamat di Pejambon Jakarta, terdapat lagi cabang BP-7 untuk Daerah Tingkat I, dan cabang BP-7 Daerah Tingkat II., yang bertugas sebagai pelaksana lapangan penataran P-4 diseantero tanah-air.
Gagasan Ibu Negara Ny. Tien Suharto membangun “Taman Mini Indonesa Indah”, disingkat “TMII”, langsung mendapat penolakan mahasiswa di tanah-air, karena khawatir akan menjadi tempat timbulnya korupsi. Pemerintah Orde Baru lalu memberlakukan “Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Kegiatan Kampus”, disingkat “NKK/BKK” ketika itu. Mahasiswa lalu dilarang melakukan kegiatan politik di lingkungan kampus di seluruh Indonesia.
3. Peristiwa Tanjung Periok dan DOM Aceh 1985-1995
Sebagai dampak dari penguasaan “Badan Perencanaan Pembangunan Nasional”, disingkat: BP-PN, berlebihan atas “Badan Perencanaan Pembangunan Daerah”, disingkat BPPD, maka pada tanggal 4 Desember 1976 di Aceh Tengku Hasan Tiro mendeklarasikan “Gerakan Aceh Mer-deka”, disingkat “GAM”. Sejak saat itu GAM menyerbu kompleks kilang Mobil Oil di Lhok Seumawe. TNI, yang ketika itu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) lalu terlibat aktif dalam perang melawan GAM.
Pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Suharto saat itu lalu mengirim pasukan ke Aceh dari pulau Jawa, lalu menetapkan Aceh sebagai “Daerah Operasi Militer”, disingkat “DOM”. Ribuan “Komando Opersi Khusus”, disingkat Kopasus, diterjunkan di bumi Seulawah untuk menumpas gerakan separatis itu. Pada tahun 1990 jumlah pasukan pusat diterjunkan telah melampaui duabelas ribu orang, bersandi Operasi Jaring Merah. Ribuan rakyat tidak berdosa lalu menjadi korban DOM, kuburan massal lalu bermunculan dimana-mana di seluruh tanah Serambi Mekah itu. Puluhan ribu wanita menjadi janda, dan tidak terhitung jumlah anak-anak yang telah kehilangan orang tua yang sangat mereka cintai.
DOM yang diberlakukan lebih dari tiga dekade lamanya di Acek ketika itu, lalu berakhir dengan perdamaian yang ditengahi Presiden Finlandia dari Eropa. Setelah kesepakatan segitiga dicapai, Tengku Hasan Tiro selaku pemimpin GAM, lalu pulang ke tanah Rencong dari tempat pengasi-ngannya di luar negeri lalu disambut dan dieluelukan rakyat Aceh di bandara Blang Bintang.
Pada tahun 1977 ayah dan ibu berkunjung ke Jepang dalam rangka kerjasama kehutanan antara Indonesia dengan negara Matahari Terbit itu.
Dari Padang Sidempuan, terbetik khabar bahwa Ompung Hajjah Maimunah Siregar sedang sakit. Orang tua yang oleh cucu-cucunya dipanggil “Ompung Sidimpuan” tinggal di jalan Lubuk Raya no.2, Tanah Lapang, telah berumur 77 tahun. Ompung yang sempat menghadiri pernikahan putri-putri ibu di Bogor silam, generasi ketiga dirinya, berpulang ke Rachmatullah hari Rabu tanggal 16 Februari 1977 di Padang Sidempuan. Ia kemudian dimakamkan di Pargarutan, diba-ringkan dalam Bale berdampingan dengan Ompung Sutan Mulia. Ibu dan bujing Chadidjah be-rangkat ke Padang Sidempuan lewat Medan, dan masih dapat berjumpa dengan Ompung Maimunah di kediamannnya, saat itu dikhabarkan sedang sakit keras.
Pada tanggal …1978, ayah menerima khabar bahwa Uda Mursan Nasution, adik kandung lang-sung dibawah ayah meninggal dunia di Medan. Ayah bersama ibu berangkat ke Medan untuk melayat adiknya itu sekaligus menemui keluarga berduka yang ditinggalkan.
Pada tanggal 21 September 1979 muncul televisi berwarna pertama di tanah-air, di Ibukota ne-gara, bertepatan berlangsungnya pembukaan SEA (South East Asia) Games ke-VIII dilang-sungkan di Jakarta.
Pada bulan Desember 1979, Uni-Sovyet menyerbu Afganistan untuk menjadikannya sebuah ne-gara satelit negara Blok-Timur. Presiden Carter dari Amerika Serikat lalu mendukung para pejuang Afganistan yang melakukan perlawanan dari Pakistan untuk menggagalkan.
Pada tahun 1979 ayah dan ibu kembali berkunjung ke Medan untuk meresmikan rumah yang dibangun di jalan Gelugur By-Pass.
Pada tahun 1979, Revolusi yang dipimpin Ayatollah Rohullah Khomeini dari luar negerinya ber-hasil menggulingkan Syah Iran dari singgsana di Teheran, Iran, menimbulkan keberangan Ame-rika Serikat dan sekutunya Raja yang tengah bertakhta di tanah Persia ketika itu. Syah Iran terpaksa hengkang meninggalkan tanah-airnya hijrah ke luar negeri orang untuk selamanya.
Pada tanggal 31 Agustus 1957, Malaysia memperoleh kemerdekaan dari Inggris cara damai, dan dengan gemilang berhasil menyelesaikan program ekonomi yang mensejahterakan rakyatnya. Sejak dari tahun 1980 negeri tanah Melayu anggota ASEAN itu, kemudian menjadi tujuan wisata kerja (labour tourism), ratusan ribu tenaga kerja asal: Indonesia, Filipina, Vietnam, Srilangka, dan Bengladesh, yang mengadu nasib untuk jadi: pembantu rumah tangga, pekerja bangunan, buruh kilang, dan tenaga perkebunan. Para pengadu nasib dari tanah seberang itu kemudian mengubah wajah negeri para Sultan, Datuk, dan Encik itu menjadi segelintir negara Asia dengan ekonomi terkemuka dunia.
Pada tahun 1981 Ronald Wilson Reagen terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat yang baru. Ia berhasil mengalahkan Jimmy Carter dalam kampanye mengatasi maslah sandra Amerika Serikat di Iran. Meski menjadi orang tertua yang pernah memerintah di Amerika Serikat saat terpilih menjadi Presiden, akan tetapi rakyat di negeri Paman Sam itu tetap memilihnya kembali untuk masa jabatan kedua tahun 1984. Ia lalu digantikan Bill Clinton tahun 1989.
REPELITA KETIGA
Kabinet Pembangunan III
Dalam musim Haji tahun 1982, antara tanggal 19 Agustus hingga 1 Oktober ayah dan ibu kem-bali mendaftarkan diri untuk berangkat ke Tanah Suci yang kedua. Kali ini ikut serta putra ayah Arif Mulia Nasution (si Uncok) dan adik kandung ibu bujing Chadidjah Harahap. Meski ayah mendapat gangguan kesehatan dalam perjalanan, namun keseluruhan perjalanan ibadah haji kedua berjalan lancar. Setibanya kembali di tanah-air ayah harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Islam Jakarta. Keesokan harinya ayah telah diperkenankan pulang ke rumah di jalan Belitung no.15 Bogor. Beberapa hari kemudian, oleh keluhan kembali dirasakan, ayah lalu men-jalani perawatan ulang di Rumah Sakit Islam Jakarta guna memulihkan kesehatan.
Ayah berpulang ke Rahmatullah
Pada tanggal 18 Januari 1983, jam 8.00 WIB, ayahanda tercinta: Ir. Hasan Basjarudin Nasution berpulang ke Rachmatullah di Rumah Sakit Islam Jakarta dengan tenang didampingi ibu. Inna-lillahi Wa Inna Ilaihi Rojoun. Kahanggi, anakboru, mora, kerabat, sejawat, dan handai tolan yang mendapat khabar duka, mulai: Bogor, Jakarta, Bandung, Medan, Padang Sidempuan, sampai kampung halaman di Muara Botung, lalu berduka merasa kehilangan. Khabar duka lalu disiarkan lewat RRI agar cepat sampai kepada kaum, rekan kerja, handai tolan, dan kenalan, yang me-ngenal baik almarhum di berbagai kota nusantara sepanjang hayatnya. Di rumah duka berdata-ngan para pelayat: kahanggi, kerabat, pejabat, kenalan, handai tolan, rekan sekerja, semuanya menyampaikan ucapan belasungkawa yang diterma ibu, putra dan putri ditinggalkan, dengan permintaan agar sabar, tabah, dan bertawakkal kepada Ilahi Rabbi menerima keadaan.
Setelah segala urusan berhubungan dengan Rumah Sakit Islam diselesaikan, mendiang ayah lalu diberangkatkan ke Rumah Duka di jalan Belitung no.15 Baranangsiang, Bogor. Bayak pelayat datang mengunjungi Rumah Duka di Bogor, menyampaikan rasa belasungkawa yang dalam ke-pada ibu, putera, dan puteri yang tengah berduka. Selama ayah dirawat di rumah sakit Islam Jakarta, kahanggi marga Nasution berdatangan dari Medan begitu pula anakborunya. Menjelang sholat ashar, setelah segala sesuatu yang berhubungan dengan fardhu kifayah syariat Islam dilaksanakan, diawali azan dikumandangkan menantu Hafitdz Darwis Siregar S.H., jenazah ayah tercinta lalu diberangkatkan dari Rumah Duka ke TPU (Tempat Pemakaman Umum) Desa Kebon Pedes guna dimakamkan. TPU Kebon Pedes terletak di Kelurahan Kebon Pedes, Keca-matan Tanah Sareal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tiga malam berturut-turut berlangsung tah-lil membaca Surat Yasin di rumah duka guna memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu Wata-ala, agar kepada almarhum ayah diberi tempat lapang dalam kubur, diampuni dosa yang pernah dilakukan selama hayatnya termasuk kepada kedua orangtua dan leluhur di kampung halaman silam, dan tempat baik di alam barzah.
Peringatan 40 Hari Ayah Wafat
Pada tanggal 1 Maret 1883, berlangsung peringatan 40 hari wafatnya ayah: Ir. Hasan Basjarudin Nasution, gelar Sutan Borotan Pandapotan di rumah duka di jalan Belitung No.15 Baranang-siang, Bogor. Kahanggi, anakboru, mora dan sanak saudara serta kaum kerabat berdatangan untuk membacakan “Surat Yasin” memanjatkan doa untuk almarhum. Ustadz yang memimpin pembacaan ayat-ayat suci diambil dari Al-Quran ul Karim juga memberi ceramah berhubungan dengan perjalanan anak manusia yang telah meninggalkan alam fana untuk bersua dengan Sang Khalik.
Ayah dan ibu mendidik putera dan puteri
Ayah dan ibu, menyelesaikan pendidikan putra dan putri setelah keluarga kembali tinggal di Bogor untuk kedua kalinya. Puteri ayah sulung, Rusmini S.R. Nasution usai SMA tahun 1963, lalu melanjutkan ke ke IPB, dan memilih Fakultas Peternakan. Awalnya semua perkuliahan berjalan lancar, akan tetapi setelah muncul G30S, menuju akhir tahun 1965 dan sepanjang tahun 1966 perkuliahan terpaksa berhenti, karena banyak anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dari IPB turut mendukung Orde Baru saat itu. Para mahasiswa dengan beragam kendaraan berbon-dong-bondong menuju ke Jakarta berdemonstrasi berhari lamanya, siang dan malam, untuk am-bil bagian menumbangkan pemerintah Orde Lama pimpinan Presiden Sukarno. Perkuliahan IPB baru kembali pulih setelah gejolak sosial di tanah-air reda tahun 1967, menyebabkan puteri sulung ayah ambil bagian dalam wisuda IPB tanggal …..tahun 1970.
Puteri ayah kedua, Nilawati Nasution, usai SMA Bogor meneruskan pendidkan ke Universitas Indonesia Jakarta, dan memilih Fakultas Hukum. Awalnya tinggal bersama keluarga Oom Su-pardi di jalan Teuku Umar tidak terlalu jauh dari UI di Salemba. Akan tetapi ketika pada malam perajurit-perajurit TNI simpatisan PKI menyerang kediaman Jenderal A.H.Nasution, puteri kedua ayah sedang berada di rumah, sehingga mendengar langsung rentetan tembakan yang dilepaskan perajurit-perajurit subuh hari, karena rumah Jenderal A.H.Nasution tepat bersebera-ngan dengan kediaman Oom Supardi di jalan Teuku Umar, Menteng. Dalam suasana yang sedang mencekam, agar dapat meneruskan kuliah, puteri ayah kedua lalu pindah ke rumah Ompung Rawasari di Jakarta Timur, lalu dari sana ke rumah bujing Hadidjah Harahap di Rawa-mangun. Setelah selesai perkuliahan, ia diwisuda tanggal 27 Desember 1972. Putri kedua ayah kemudian bekerja di BPPT, dan sempat mengambil S2 di Universitas Indonesia menjadi Ahli Perundang-Undangan.
Puteri ayah ketiga, Fatmasari Nasution, awalnya meneruskan ke SMP I setelah ayah sekeluarga kembali tinggal di Bogor, lalu melanjutkan ke SMA. Ia kemudian pindah ke SMA-Kesatria di jalan Percetakan Negara Jakarta untuk menyelesaikan SMA dan tinggal bersama bujing di Rawa-mangun. Ia kemudian melanjutkan ke Universitas Indonesia dan memilih Fakultas Hukum Ex-tension. Perkuliahan di FHUI lalu terhenti sampai tingkat sarjana muda setelah terjadi G30S. Ka-rena tidak berminat lagi meneruskan, lalu memilih mengikuti berbagai kursus kewanitaan di Bandung bersama adik sepupu si Armada.
Putri ayah keempat, Penta Riris Nasution, setelah kembali tinggal di Bogor melanjutkan ke SMP I di jalan Gedung Sawah,lalu melanjutkan ke SMA, dan dari sana ke IPB memilih Fakultas Perikanan. Karena IPB telah berjalan normal semenjak tahun 1967, putri ayah ini tidak mendapat kesulitan apapun dalam menyelesaikan studinya tepat waktu, dan diwisuda tanggal……..tahun 19 .
Puteri ayah kelima, Nurhayati Nasution, setelah menyelesaikan SMA, lalu melanjutkan ke UNPAD (Universitas Pajajaran) Bandung, memilih Fakultas Kedokteran. Ia berhasil menyele-saikan pelajaran sampai sarjana muda. Karena tidak berbakat menjadi dokter, lalu tahun 1978 mengundurkan diri. Kemudian ia mengikuti Pitman School di London, Inggris, selama dua tahun, dan sekembalinya di tanah-air mendapat pekerjaan di ELNUSA, anak perusahaan P.N.Pertamina.
Putera ayah keenam, Arif Mulia Nasution, awalnya ikut TK Mexindo di Taman Malabar Bogor tahun 1965. Dari sana ke SD Teladan di Jalan Bangka selesai tahun 1972. Ia lalu meneruskan ke SMP Negeri III di jalan Taman Malabar selesai tahun 1975, kemudian SMA II Negeri di jalan Ir. Haji Djuanda tammat tahun 1978. Dari SMA ia melanjutkan ke Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, akan tetapi tidak sampai selesai. Lalu pindah ke Sekolah Tinggi Perkebunan (STIPER) di kota yang sama dan meraih Sarjana Teknik Kehutanan, lalu diwisuda tanggal ….tahun 19.
Puteri ayah ketujuh, Tety Rahmasari Nasution, sebagaimana putera ayah keenam juga turut ke sekolah yang sama sampai SMA. Lalu melanjutkan ke IPB, dan memilih Fakultas Pertanian. Ia tidak mengalami kesulitan apa-apa di Institut Pertanian itu, lalu diwisuda tanggal ….tahun 19 . Ia juga mengikuti kursus melancarkan Bahasa Inggris di Australia selama satu tahun.
Ibu dan Ayah menikahkan putera dan puteri
Ayah dan ibu menikahkan putra dan putri setelah keluarga kembali tinggal di Bogor. Anak ayah yang sulung: Ir.Rusmini Sri Rahaju Nasution, menikah dengan Ir. Rusli Harahap dari Hanopan, Sipirok, Tapanuli Selatan tanggal 2 Desember 1972. Awalnya mereka tinggal di jalan Sumber Bhakti no.9 Tomang, Jakarta Barat. Lalu pindah ke jalan Aren no.2 di Rawamangun, kemudian jalan Batu Intan Baiduri no. 9, Pulomas Jakarta Timur. Kini menetap di jalan Batu Pancawarna 1/2A, Pulomas, Jakarta Timur.
Anak ayah kedua: Nilawati Nasution S.H., menikah dengan Darwis Siregar S.H. dari Baringin, Sipirok Tapanuli Selatan tanggal 11 Mei 1973. Mereka awalnya tinggal di jalan Pinang 32, Rawamangun, lalu pindah ke jalan Intan no. 20, Pulomas, Jakarta Timur. :
Anak ayah ketiga, putri: Fatmasari Nasution, menikah dengan Ir. Amrul Hutasuhut dari Sipirok Tapanuli Selatan, tanggal 19 Nopember 1981, dan berdiam di jalan Belitung no.15 Bogor. Keturunannya:
Anak ayah keempat: Ir. Penta Riris Nasution, menikah dengan drs. Akinaga Sinaga MPA dari Pakkat, Tapanuli Utara tanggal 2 Desember 1982, dan tinggal di jalan Intan no.17, Pulomas, Jakarta Timur.
Anak ayah kelima: Nurhayati Nasution menikah dengan drs. Irfan Lubis dari Habincaran, Kotanopan, Mandailing, tanggal 29 Juni 1986. Awalnya mereka berdiam di Sibolga dimana sang suami ketika itu bekerja. Dari sana pindah ke Jakarta dan tinggal di jalan Wadas II, no.19 Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi.
Anak ayah keenam: Ir.Arif Mulia Nasution menikah dengan Ita boru dari Jawa Tengah tanggal 28 Oktober 2001. Mereka kemudian dibawa pulang ke Muara Botung untuk dipabotohon dengan kaum kerabat di kampung. Kini mereka tinggal di Taman Galaxy, jalan Permata 284/285 Blok D, Bekasi.
Anak ibu ketujuh, putri: Ir. Tety Rachmasari Nasution menikah dengan Ir. Akmal Gani beasal dari Bogor, Jawa Barat pada tanggal 3 Februari 1990. Awalnya mereka beriam di jalan Belitung no.15 Bogor bersama ibu, kemudian pindah ke jalan Wadas II no. 17 Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi; dan bertetangga dengan putri ibu yang kelima.
Ibu Ayah Bersama Para Cucu
Dari anak pertama, putri, ayah mendapat cucu laki-laki pertama: Arifilmiansyah Parlindungan Harahap (Arif), lahir tanggal 11 Juli 1974. Lainnya juga seorang cucu laki-laki: Budiadiliansyah Pardomuan Harahap (Budi), lahir tanggal 30 Maret 1976, dan cucu perempuan: Altinai Molu-nasari Harahap (Inai), lahir tanggal 23 Juni 1978. Semuanya lahir di Jakarta.
Dari anak kedua, putri, ayah mendapat cucu perempuan pertama: Nurhasanah Titik Darnila Siregar (Titik), lahir tanggal 11 Maret 1974 di Jakarta. Lainnya seorang cucu laki-laki: Muhamad Kodri Siregar (Odi), lahir tanggal 4 Oktober 1975 di Jakarta.
Dari anak ketiga, putri ayah mendapat seorang cucu puteri: Adhalina Anggiasari Hutasuhut (Anggi), lahir tanggal 28 September 1982 di Jakarta.
Dari anak keempat, putri, ayah mendapat tiga orang cucu, semuanya perempuan, masing-masing: Indira Konora Sinaga (Noya), lahir tanggal 11 Maret 1980; Mira Kemalasari Sinaga (Mira), lahir tanggal 1 April 1985; dan Tamara Nuramalia Sinaga (Tara), lahir tanggal 2 Oktober 1986. Semu-anya lahir di Jakarta.
Dari anak kelima, putri ayah mendapat dua orang cucu, semuanya perempuan: Shameira Rizkia Lubis (Ira), lahir tanggal 23 Mei 1987 di Sibolga, dan Annisa Saskia Lubis (Ica), lahir tanggal 4 Januari 1991 di Bogor.
Dari anak keenam, putera, ayah mendapat seorang cucu, puteri bernama: Lendy Nooramina Na-sution (Lendi), lahir pada tanggal 17 April 2003 di Jakarta.
Dari anak ketujuh, putri, ayah mendapat tiga orang cucu putera dan puteri, masing-masing: Mirza Akmarizal Gazali (Mirza), lahir tanggal 11 Mei 1993; Tatiana Anindia Ramadhani (Tati), lahir tanggal 7 Maret 1995; dan Kevin Abdulazis Gazali (Kevin), lahir tanggal 22 Juni 1999. Semuanya lahir di Jakarta.
Sumber Tulisan
1. Daftar Riwayat Hidup ayah H. Ir. Hasan Basyarudin Nasution disusun di Bogor pada
tanggal 14 Juni 1980.
2. Penuturan ibunda Ny. Hj. Hasan Basyarudin Nasution, dan kumpulan tanya-jawab yang
disampaikan oleh putera dan puterinya dalam beragam kesempatan.
3. Kumpulan kenangan putera dan puteri ayah H. Hasan Basyarudin Nasution dalam kehidu-
pan keluarga dari kecil sampai dewasa dan berumah tangga.
4. Mr. Palti-Radja Siregar. Hukum Warisan Adat Batak, disusun Januari 1958.
5. H. Porkas Daulae. Sedikit Tentang Marga Batak. Sebuah Studi. Cetakan Pertama. Lembaga Kebudayaan Rakyat. Sumatera Utara, Medan. 1960.
6. Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda 66. Pantja Windu Kebangkitan Perjuangan
Pemuda Indonesia. Maret 1970, diterbitkan Departemen Penerangan R.I.
7. H.M.D Harahap S.H. Perang Gerilya Tapanuli Selatan. Front Sipirok. Cetakan Pertama.
Penerbit P.T Azan Mahani, Jakarta 1986.
8. Baginda Hanopan Harahap. Pengalaman Masa Perang Jepang “Dai Toa Senso” 1942-1945
Dalam Gotong Royong ‘Kingrohoshitai’. Diterbikan Sendiri. Desember 1992.
9. Time-Life Books. Live at War. Special Edition. First Printing. Dai Nippon Printing Co. Ltd
Hong Kong. 1985.
10. Drs. E.K.Siahaan. Monografi Kebudayaan Angkola-Mandailing. Proyek Pengembangan
Permuseuman Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Medan. 1982.
11. Jenderal Dr. Abdul Haris Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jilid 1 s/d 11.
Cetakan Kedua. Disjarah-AD, Penerbit Angkasa, Bandung. 1977.
12. Encyclopaedia Britannica, London, Great Britain. 1957.
13. Encyclopaedia International, Grolier, USA. 1963.
14. Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. 1982.
15. Ensiklopedi Nasional Indonesia, P.T.Cipta Adi Pustaka, Jakarta. 1990.
16. Nazwir Abu Nain. Siapa Dalang G30S 1965 PKI atau Tentara. Antara Fakta dan Pemutar-
balikan Sejarah. Cetakan Pertama. Penerbit Studio Press, Jakarta. 2001.
17. Hadi Soebadio. Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Terbitan
Pertama. Penerbit P.T.Gramedia Pustaka Utama. 2002.
18. Lee Kuan Yew. Memoirs From Third World To First. The Singapore Story: 1965-2000
Time Media Private Limited of the Times Publishing GroupTimes Centre, New Industrial
Road Singapore 536196.
19. PDAT Tempo. Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai. Perjalanan Hidup A.H.
Nasution Percetakan Temprint Jakarta. 1998.
20. Antonie C.A. Dake. Sukarno File. Cetakan Keempat. Berkas-berkas Soekarno 1965-1967.
Kronologi Suatu Keruntuhan. Penerbit Aksara Kaunia 2006.
21. Badan Penerbit Y.D.B.K. M.I. Jakarta. Cetakan Pertama. Presiden Suharto Bapak
Pembagunan Indonesia, Evaluasi Pembangunan Pemerintahan Orde Baru., P.T. Harapan
Bandung 1983.
22. Rosanna Kelly. Russia. A Motovun Group Book, Second Printing, Flint River Press Ltd.,
143-149 Great River Portland Street, London WIN 5FB, U.K. 1996.
23. Majalah Tempo, Edisi 23-29 Juli 2007 dan Edisi 13-18 Agustus 2007.
24. J.E.Habibie. Dari Pare-Pare Sampai ke Court St. James. Penerbit Yayasan AA&RA
Habibie Jakarta 2004.
Penulis:
H. Ir. Arif Mulia Nasution
Bekasi: Jalan Permata 284/285 Blok D, Taman Galaxy.
Tel: 8242-8978. HP: 0818750338
Bogor: Jalan Belitung no. 15, Baranangsiang.
Tel: 0251-8323151.